Berita Nasional
BERITA LENGKAP : Pasal Penghinaan Kepala Negara di RUU KUHP Masih Jadi Polemik
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) terbaru masih menjadi bahasan dalam rapat antara Komisi III DPR
"Saya paham, untuk selamatkan Bapak Presiden Jokowi yang orang suka-sukanya menghina, omong di medsos, saya pun (melihat-Red) betul juga ini (pasal penghinaan presiden-Red), saya setuju itu. Saya setuju karena waktu itu Pak Jokowi dikuyo-kuyo di medsos, maka perlu pasal ini dihidupkan, karena itu saya mendukung itu," ucapnya.
Adapun, anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra, Habiburokhman mengusulkan agar sebaiknya pasal penghinaan presiden dialihkan ke ranah perdata, bukan ranah pidana. "Ini terkait dengan substansi, saya ini pegel juga selalu ditanyakan pasal 218 RUU KUHP, penghinaan presiden. Saya sendiri dari dulu, dari mahasiswa paling benci ini pasal," ujarnya, dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Menkumham, Rabu (9/6).
Politikus Gerindra itu mengungkapkan, pasal penghinaan presiden ini sebaiknya dibawa ke ranah perdata, sehingga tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan dalam menangani perkara tersebut. Karena, kedua institusi itu berada di rumpun eksekutif, sehingga dapat digunakan untuk melawan orang yang berseberangan dengan kekuasaan.
"Saya rasa kalau saya ditanya, baiknya ini dialihkan ke ranah perdata saja. Jadi penyelesaiannya ke arah perdata, sehingga tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang berperan rumpun eksekutif," imbuhnya.
"Selama ini masih dalam ranah pidana, tujuan bahwa pasal ini digunakan untuk melawan atau menghabiskan orang yang berseberangan dengan kekuasaan akan terus timbul seobjektif apapun proses peradilannya. "Karena apa? Karena kepolisian dan kejaksaan itu masuk dalam rumpun eksekutif, jadi kaitannya itu," tandasnya.
Sementara, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyesalkan dan menolak masuknya delik penghinaan presiden dan DPR dalam RUU-KUHP. “Pasal penghinaan presiden dan DPR dalam RUU-KUHP mencederai esensi demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat. Pasal tersebut punya potensi menjadi pasal karet yang menghambat diskursus publik yang sehat,” kata Ketua DPP PSI, Tsamara Amany, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/6).
Menurut dia, PSI tak melihat relevansi pasal-pasal semacam itu diterapkan di era demokrasi saat ini. Indonesia justru akan mundur puluhan tahun jika menerapkannya. Tsamara pun meminta DPR mengkaji ulang dan menghapus pasal-pasal ini dari RUU KUHP.
“Kalau dalam konteks pasal penghinaan presiden, Pak Jokowi dari dulu biasa difitnah, tapi beliau selalu menjawab dengan kerja. Kritik seharusnya dibalas dengan kerja, bukan ancaman penjara. Itu pula yang seharusnya dilakukan DPR. Kalau ada yang mengkritik DPR, tunjukkan dengan perbaikan kinerja,” kata mahasiswa S2 New York University tersebut. (Tribunnews/Vincentius Jyestha Candraditya/Facundo Chrysnha Pradipha/Taufik Ismail/Chaerul Umam)
Baca juga: Penerimaan Peserta Didik TK-SMP Kota Semarang Dimulai, Ada Syarat Calon Pendaftar
Baca juga: Fakta Baru Tiga Bocah SMP Cabuli 5 Bocah SD di Tegal, Salah Satu Pelaku Pernah Jadi Korban
Baca juga: Program Rumah Khusus 67 KK Dukuh Simonet Pekalongan Diharap Terealisasi Tahun Ini
Baca juga: 2 Gadis Kakak Beradik Disiksa Paman dan Bibi, Si Kakak Dikubur Hidup-Hidup di Kebun Karet