Resensi Buku
Resensi Buku Antologi Puisi Boeng Karya Anak-anak Muda Kudus: Perlu Lebih Merenung
Antologi puisi Boeng, yang digagas anak-anak muda di Kudus, sejak awal memang sudah menarik. Dibuat oleh anak-anak muda berisi 127 puisi.
Penulis: - | Editor: moh anhar
Dari sisi teknis perbukuan, puisi-puisi dalam Boeng disusun secara manasuka. Arbitrer.
Lazimnya antologi puisi bersama disusun secara alfabetis, urut abjad, sesuai nama penyair.
Hal itu, rasanya, memudahkan pembaca dalam menekuri sebuah antologi keroyokan.
Untuk Boeng, saya kerepotan mencari alasan penyusunan antologi puisi ini.
Baca juga: Dukung PPKM Darurat, Saidno: Seluruh Wisata di Kabupaten Tegal Ditutup Demi Keselamatan Bersama.
Baca juga: BP2MI Jateng Segera Berikan Vaksinasi Covid-19 kepada Ribuan Pekerja Migran Indonesia
Apakah diurutkan sesuai nama penulis? Tidak. Apakah berdasarkan tema puisi? Tidak juga.
Apakah berdasar "kebagusan" atau "kekuatan" puisi?
Mungkin saja.
Akan tetapi, jika menyusuri puisi-puisi para penyair muda di dalamnya, sejak "Tak Mereka dengar Suaraku" (Fadhil Iltizam Ghufron) hingga "Amuk Wisanggeni" (Eka Retno DP), rasanya alasan itu terbantahkan.
Dari sisi tema, puisi-puisi dalam Boeng melintas bebas, mulai dari hal-hal yang berkait dengan kedirian penyair, semangat pemuda, kerusakan lingkungan, atau tema-tema yang lebih kontekstual, semacam pandemi Covid-19.
Ada juga penyair yang mengeksplorasi khasanah tradisi lisan sebagai gagasan puisinya.
Bagaimana para penyair mengungkapkan dan mengemas puisi?
Selintas kilas, Boeng ini terlihat merak ati.
Puisi-puisi yang hadir tampak bersih, sedikit sekali kekeliruan ketik yang mengganggu.
Dari sisi tipografi—struktur fisik puisi—keseluruhan puisi dalam Boeng tampil kompak.
Semua ditulis dengan tipografi konvensional, berpola rata kiri atau align left.
Baca juga: Belajar Daring Lagi, Bupati Kudus HM Hartopo Tekankan Para Guru Bisa lebih Kreatif Mengajar
Baca juga: Jane Shalimar Meninggal Dunia, Sejumlah Politisi Ucapkan Bela Sungkawa