Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Resensi Buku

Resensi Buku Antologi Puisi Boeng Karya Anak-anak Muda Kudus: Perlu Lebih Merenung

Antologi puisi Boeng, yang digagas anak-anak muda di Kudus, sejak awal memang sudah menarik. Dibuat oleh anak-anak muda berisi 127 puisi.

Penulis: - | Editor: moh anhar
Google
Cover buku Boeng, Antologi Puisi Kebangkitan Kaum Muda 

Cuma satu puisi, "Darah yang Tertinggal di Dinding Sejarah Fort Marlborough" karya Aditya Galih Erlangga yang menawarkan tipografi seperti prosa.

Satu puisi lainnya, "Perkabungan Terakhir" karya Nila Sinta Fitriyani, yang agak "bermain" tipografi, dengan sebagian baitnya menjorok ke dalam.

Lewat permainan tipografi ini, agaknya, penyair ingin memberi kesan tentang tingkatan kesedihan.

Oya, ada satu puisi yang menggunakan tipografi rata tengah. Penampakan puisi "Surga Bermuara" karya Reno Septia Budi Laksono mencitrakan bentuk nisan. Wujud puisi itu selaras dengan pesan yang terkandung di dalamnya, tentang akhirat sebagai ujung perjalanan manusia.

Tipografi semacam itu serta merta mengingatkan saya pada puisi "Di" karya Noorca Massardi, yang membentuk imaji pohon cemara, atau puisi "Viva Pancasila" karya penyair cum perupa, Jeihan Sukmantoro.

Bagaimana dengan diksi?

Diksi merujuk pada pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga mendapatkan efek tertentu seperti yang diharapkan.

Dalam soal diksi, dengan agak berat harus saya katakan, saya tidak menemukan "tawaran" yang menantang.

Pilihan kata dalam hampir semua puisi, terutama dari penyair (yang dilabeli) muda, terasa biasa-biasa saja.

Tidak cukup berhasil menggambarkan imajinasi penyair, alih-alih merangsang imajinasi pembaca.

Malah, saya masih menemukan diksi "lawasan", semacam asa atau mentari. Juga penulisan 'tuk alih-alih untuk atau 'kan ketimbang akan.

Entah dengan alasan apa.

Baca juga: Ini Daftar Lengkap Formasi CPNS 2021 Kejaksaan Agung RI, 27 Jabatan untuk Lulusan SMA, D3 hingga S2

Baca juga: Petugas Gabungan Sidak Mal di Solo, Pastikan Gerai Tutup kecuali Toko Obat, Sembako, dan Makanan

Setelah diksi, majas menjadi hal kedua yang mengusik perhatian saya.

Saya merasakan, pemanfaatan majas sebagai sarana untuk meninggikan dan meningkatkan efek ungkapan, dalam Boeng belum hadir secara optimal.

Memang ada satu-dua penyair yang bermain-main dengan majas, terutama majas-majas perbandingan—entah simile, metafora, atau personifikasi—untuk mempercantik sekaligus memperkuat pesan dalam puisinya, tetapi yang jauh lebih banyak penyair yang "membiarkan" puisinya hadir tanpa polesan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved