OPINI
OPINI Hadi Susiono Panduk : Hakikat Pengorbanan
RUMUS Allah dan rumus manusia tidak sama. Memang! Allah adalah Sang Pencipta (Khalik). Sedangkan manusia
Hikmah kurban juga lebih jauh dari itu, bahwa rasa cinta terhadap Allah harus istikamah. Bagaimana kita mencintai Allah? Mencintai Allah artinya mencintai agama Islam. Bagaimana cara mencintai agama Islam? Menjalankan apa yang disyariatkan Nabi Muhammad SWT.
Mencintai Allah
Kecintaan terhadap anak-anak janganlah mengalahkan kecintaan terhadap Allah. Hal tersebut juga tertandas dalam Surat Ali Imran ayat 14.
"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternah dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik,"
Menuruti hawa nafsu dan syahwat juga persoalan yang harus sebisa mungkin dikekang oleh seorang mukmin. Setiap manusia memiliki nafsu. Tugas manusia adalah mengendalikan nafsu-nafsu jahat—ammarah bissu’ dan lawwamah—menjadi nafsu mutmainnah, mardhiyyah dan kamilah. Bukankah perang yang maha dahsyat adalah perang melawan hawa nafsu? Seperti disabdakan Rasulullah SAW kepada para sahabat setelah kemenangan besar atas perang Badar yang heroik itu?
Pada kehidupan modern, apalagi pada saat pandemi Covid-19 melakukan perintah kurban sangat relevan dan sangat dianjurkan, tentunya dengan penerapan protokol kesehatan dengan sangat ketat. Mereka yang berkurban, baik unta, sapi/kerbau ataupun kambing adalah pahlawan bagi orang fakir-miskin. Mengonsumsi daging pilihan dengan protein kelas tinggi bagi orang miskin adalah kegembiraan dan rasa syukur yang luar biasa.
Kepekaan dan Empati
Ada kepekaan dan empati komunal yang ditunjukkan oleh mereka yang berkurban terhadap kaum papa. Bagi kaum berpunya, daging mungkin bukanlah barang mewah karena bisa saja setiap hari makan daging.
Malahan, bagi kaum ini, daging adalah makanan yang terkadang dihindari karena mereka terganggu dengan berbagai penyakit yang disebabkan mengonsumsi daging. Jika bukan karena kepatuhan terhadap perintah Allah dan empati terhadap kaum papa, makalah sulit bagi mereka untuk berkurban. Tidak terbayangkan jika 10 persen masyarakat muslim di Indonesia melakukan kurban, maka ‘swasembada’ daging akan tercipta. Kebutuhan akan daging di masyarakat miskin akan terpenuhi. Maka, ada baiknya ke depan gerakan berkurban seyogyanya diinisiasi dan dibudayakan.
Berkurban adalah menyembelih dan mengalirkan darah hewan ternak. Secara makna filosofis, menyembelih hawa nafsu dan syahwat yang membahayakan baik bagi diri sendiri, ataupun bagi orang lain.
Bayangkan jika nafsu serakah seseorang yang tidak terkontrol, jika dia seorang pejabat publik, maka dia akan menyalahgunakan wewenang yang mestinya dipakai untuk kemaslahatan manusia. Jadi, tidaklah salah bila dikatakan Hari Raya Kurban kita sembelih hawa nafsu dan syahwat kita. Tentunya, setelah menyembelih kambing, atau pun sapi/kerbau (meskipun dengan diawaki tujuh orang).
Berkurban sejatinya adalah sebuah tahapan untuk berkorban. Jika jiwa berkurban kita sudah terpatri, maka kita akan terbiasa manakala ada panggilan berkorban bagi agama Allah. Jihad fi sabilillah- Jihad di jalan Allah dalam arti luas. Seperti firman Allah dalam Surat At-Taubat ayat 41.
"Wajaahiduu Biamwaalikum Waanfusikum Fii Sabiilillaah," (Dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah). Bukan hanya harta tetapi nyawa juga diberikan untuk membela agama bahkan nusa dan bangsa demi menjalankan perintah dari Allah SWT. Pendek kata, kurban mengajarkan kita berkorban. Wallahu ‘Alamu Bishawaab. (*)
Baca juga: Tertinggi di Dunia, Kematian Pasien Covid-19 di Indonesia Kemarin Capai 1.280 Orang
Baca juga: Hotline Semarang : Jika Kami Merasa Tak Aman di Perjalanan Terganggu Lapor ke Mana?
Baca juga: Fokus : Kebijakan (Tidak) Populer
Baca juga: Beberapa Aturan Baru dalam PPKM Darurat yang Diperpanjang Hingga 25 Juli