OPINI
OPINI Hadi Susiono Panduk : Hakikat Pengorbanan
RUMUS Allah dan rumus manusia tidak sama. Memang! Allah adalah Sang Pencipta (Khalik). Sedangkan manusia
Oleh Hadi Susiono Panduk
Alumni Ponpes Sabilillah dan Undip Semarang
RUMUS Allah dan rumus manusia tidak sama. Memang! Allah adalah Sang Pencipta (Khalik). Sedangkan manusia—begitu juga benda lainnya—adalah yang dicipta (Makhluk). Ketidaksamaan juga terjadi pada hal mencinta. Ketika Allah cinta dan sayang kepada hamba-Nya, maka tak segan-segan Allah memberikan ujian, cobaan, dan musibah.
Kontras, jika manusia cinta dan sayang kepada manusia lain, maka pujian, sanjungan, dan tepuk tangan akan deras mengalir.
Cobaan Allah kepada hamba-Nya, terdapat misalnya pada Surat Al-Baqarah Ayat 155, di mana Allah akan mencoba dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Tetapi, pasti disertai bonus kabar gembira dari Allah setelahnya.
Manusia sekelas nabi pun tidak luput dari ujian. Adalah Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS), siang malam selama ratusan tahun berdoa kepada Allah agar dikaruniai seorang anak saleh. Pada akhirnya, doa pun dikabulkan dengan terlahirnya Ismail AS. Beliau tumbuh begitu cerdas, saleh dan penuh keakraban dengan ayahanda serta ibunda, Siti Hajar.
Hingga ujian ekstrim itu pun diterima—menyembelih putra kesayangan, Ismail AS. ‘’Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu.” Perasaan berkecamuk dan gamang pun datang, antara melakukan perintah dan takut kehilangan sang putra tercinta. Di sinilah keimanan Nabi Ibrahim teruji dan disambut dengan ketaatan Ismail AS.
"Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar,". Potret perintah Allah ini dapat kita temui ketika berselancar dalam Kitab Allah Surat Ash-Shaffat ayat 102-105.
Banyak pelajaran yang hendak Allah sampaikan kepada umat manusia dalam peristiwa penyembelihan Nabi Ismail ini, bahwa sesungguhnya ketakwaan dan ketaatan serta kepasrahan Nabi Ibrahim pasti akan diuji, di sisi lain, kesabaran dan kesalehan Nabi Ismail juga akan mendapatkan kabar gembira.
Apa kabar gembira terhadap keduanya? Digantinya Nabi Ismail dengan seekor sembelihan yang besar (QS. Ash-Ash-Shaffat: 107). Berlaku rumus yakni bahwa Allah tidak akan mengingkari janji-Nya (QS. Ali Imron: 9). Janji Allah tentang kabar gembira setelah ujian, cobaan, dan musibah yang menimpa manusia termasuk kepada sang Kholilullah tersebut.
Manifestasi Kurban
Pengorbanan Nabi Ibrahim atas putranya—yang kemudian digantikan oleh Allah dengan seekor domba besar—diabadikan dan dilanjutkan oleh syariat Nabi Muhammad SAW pada abad ke-2 Hijriyah di mana pada abad tersebut juga disyariatkan Salat Idul Fitri dan Idul Adha serta Zakat Mal/benda (Majmuk Imam Nawawi 7:383).
Kendati berkurban dihukumi sunnah muakkad (tindakan yang sangat dianjurkan untuk dilakukan karena ada pahala di dalamnya) oleh mayoritas ulama termasuk madzhab Syafii, namun hikmah yang terkandung dalam menjalankan kurban sangatlah luas dan dahsyat.
Bahkan Imam Muhammad bin Abdurrahman Al-Bukhori seperti dikutip dalam kitab Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah menjelaskan bahwa hikmah disyariatkannya kurban adalah mensyukuri atas nikmat hidup, menghidupkan sunah Nabi Ibrahim, sang kekasih Allah ketika beliau mendapatkan perintah menyembelih putra kesayangannya, Ismail pada Hari Nahar. Menurutnya, hendaknya seorang mukmin juga mengedepankan kecintaan dan ketaatan kepada Allah mengalahkan kecintaan terhadap anak, hawa nafsu dan syahwat.
Dalam pandangan beliau dapat diperjelas bahwa kurban penyembelihan binatang akan sangat bermanfaat dagingnya untuk diberikan kepada orang-orang fakir dan juga bahwa Allah menciptakan binatang ternak sungguh bermanfaat bagi manusia seperti halnya dimakan dagingnya.
Hikmah kurban juga lebih jauh dari itu, bahwa rasa cinta terhadap Allah harus istikamah. Bagaimana kita mencintai Allah? Mencintai Allah artinya mencintai agama Islam. Bagaimana cara mencintai agama Islam? Menjalankan apa yang disyariatkan Nabi Muhammad SWT.
Mencintai Allah
Kecintaan terhadap anak-anak janganlah mengalahkan kecintaan terhadap Allah. Hal tersebut juga tertandas dalam Surat Ali Imran ayat 14.
"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternah dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik,"
Menuruti hawa nafsu dan syahwat juga persoalan yang harus sebisa mungkin dikekang oleh seorang mukmin. Setiap manusia memiliki nafsu. Tugas manusia adalah mengendalikan nafsu-nafsu jahat—ammarah bissu’ dan lawwamah—menjadi nafsu mutmainnah, mardhiyyah dan kamilah. Bukankah perang yang maha dahsyat adalah perang melawan hawa nafsu? Seperti disabdakan Rasulullah SAW kepada para sahabat setelah kemenangan besar atas perang Badar yang heroik itu?
Pada kehidupan modern, apalagi pada saat pandemi Covid-19 melakukan perintah kurban sangat relevan dan sangat dianjurkan, tentunya dengan penerapan protokol kesehatan dengan sangat ketat. Mereka yang berkurban, baik unta, sapi/kerbau ataupun kambing adalah pahlawan bagi orang fakir-miskin. Mengonsumsi daging pilihan dengan protein kelas tinggi bagi orang miskin adalah kegembiraan dan rasa syukur yang luar biasa.
Kepekaan dan Empati
Ada kepekaan dan empati komunal yang ditunjukkan oleh mereka yang berkurban terhadap kaum papa. Bagi kaum berpunya, daging mungkin bukanlah barang mewah karena bisa saja setiap hari makan daging.
Malahan, bagi kaum ini, daging adalah makanan yang terkadang dihindari karena mereka terganggu dengan berbagai penyakit yang disebabkan mengonsumsi daging. Jika bukan karena kepatuhan terhadap perintah Allah dan empati terhadap kaum papa, makalah sulit bagi mereka untuk berkurban. Tidak terbayangkan jika 10 persen masyarakat muslim di Indonesia melakukan kurban, maka ‘swasembada’ daging akan tercipta. Kebutuhan akan daging di masyarakat miskin akan terpenuhi. Maka, ada baiknya ke depan gerakan berkurban seyogyanya diinisiasi dan dibudayakan.
Berkurban adalah menyembelih dan mengalirkan darah hewan ternak. Secara makna filosofis, menyembelih hawa nafsu dan syahwat yang membahayakan baik bagi diri sendiri, ataupun bagi orang lain.
Bayangkan jika nafsu serakah seseorang yang tidak terkontrol, jika dia seorang pejabat publik, maka dia akan menyalahgunakan wewenang yang mestinya dipakai untuk kemaslahatan manusia. Jadi, tidaklah salah bila dikatakan Hari Raya Kurban kita sembelih hawa nafsu dan syahwat kita. Tentunya, setelah menyembelih kambing, atau pun sapi/kerbau (meskipun dengan diawaki tujuh orang).
Berkurban sejatinya adalah sebuah tahapan untuk berkorban. Jika jiwa berkurban kita sudah terpatri, maka kita akan terbiasa manakala ada panggilan berkorban bagi agama Allah. Jihad fi sabilillah- Jihad di jalan Allah dalam arti luas. Seperti firman Allah dalam Surat At-Taubat ayat 41.
"Wajaahiduu Biamwaalikum Waanfusikum Fii Sabiilillaah," (Dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah). Bukan hanya harta tetapi nyawa juga diberikan untuk membela agama bahkan nusa dan bangsa demi menjalankan perintah dari Allah SWT. Pendek kata, kurban mengajarkan kita berkorban. Wallahu ‘Alamu Bishawaab. (*)
Baca juga: Tertinggi di Dunia, Kematian Pasien Covid-19 di Indonesia Kemarin Capai 1.280 Orang
Baca juga: Hotline Semarang : Jika Kami Merasa Tak Aman di Perjalanan Terganggu Lapor ke Mana?
Baca juga: Fokus : Kebijakan (Tidak) Populer
Baca juga: Beberapa Aturan Baru dalam PPKM Darurat yang Diperpanjang Hingga 25 Juli