Berita Pati
Bangun Support System Jadi Aspek Terpenting dalam Penyembuhan Trauma Anak Korban Kekerasan Seksual
Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia masih tergolong tinggi. Korban anak kelompok usia 13-17 tahun mendominasi, yakni mencapai 33
Penulis: Mazka Hauzan Naufal | Editor: moh anhar
TRIBUNJATENG.COM, PATI - Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia masih tergolong tinggi.
Berdasarkan data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) yang diakses pada Jumat (24/9/2021), Kementerian PPA mencatat 12.547 kasus.
Dari jumlah tersebut, korban anak kelompok usia 13-17 tahun mendominasi, yakni mencapai 33 persen.
Baca juga: Pemkot Semarang Undi Lapak Pasar Johar, Besok Pedagang Sudah Boleh Langsung Menempati
Baca juga: Fokus : Branding Pasar Johar
Baca juga: Bupati Purbalingga Tiwi Lepas Atlet dan Official untuk Mengikuti PON XX dan Peparnas XVI di Papua
Baca juga: Kekancan Mukti Bersih-Bersih Pantai Tirang Semarang
Adapun korban anak dari kelompok usia 6-12 tahun prosentasenya 17,7 persen.
Sementara, korban anak usia 0-5 tahun 7,1 persen.
Bentuk kekerasan terhadap anak di antaranya ialah kekerasan seksual.
Kekerasan jenis ini kerap menimbulkan trauma mendalam pada anak.
Aspek yang tergolong penting dan tidak bisa dilepaskan dari penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak ialah mengenai pemulihan trauma (trauma healing) yang dialami anak sebagai korban.
Psikolog Klinis di Keluarga Sehat Hospital (KSH) Pati, Patrisia Dinta Pupsita Sari, mengatakan bahwa proses penyembuhan trauma anak yang menjadi korban kekerasan seksual memiliki beberapa aspek penting.
Dua di antaranya ialah membangun support system dan membatasi paparan media.
“Kalau orang terdekat terlibat, proses penyembuhan akan lebih cepat daripada yang sekadar lepas ke psikolog tanpa dukungan support system,” ujar dia ketika ditemui di ruang praktiknya, Sabtu (11/9/2021).
Dinta tidak menampik bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak kerap kali justru melibatkan orang terdekat korban.
Namun, menurutnya, support system tetap bisa dibangun.
“Sebab pendekatan dari orang terdekat jadi fondasi (proses penyembuhan). Misalkan pelakunya orang terdekat si anak, cari orang yang juga dekat, tapi tidak ikut jadi pelaku,” tutur dia.
Baca juga: Cara Mudah NW Tegal Dapatkan Uang Tunai: Gadaikan Mobil Rental
Baca juga: Reaksi Nagita Slavina Baca Komentar Metizen Seusai Rafathar Jadi Trending Twitter
Dinta menjelaskan, membangun support system, artinya menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak.
Menyediakan orang yang bisa menjalin komunikasi dari hati ke hati dengan si anak.
“Ajak anak beraktivitas yang digemari. Misal dia senang sepak bola, ajak ke lapangan main sepak bola.
Kalau suka kemah, ajak camping bareng,” kata dia.
Dinta mengatakan, dirinya sendiri pernah mendampingi penyembuhan seorang anak berusia tujuh tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh paman si anak sendiri.
“Waktu itu saya bilang harus ada dukungan keluarga, kalau mau cepat harus kerja sama. Bukan hanya keluarga, melainkan juga guru. Karena si anak waktu itu usia sekolah. Guru juga perlu diajak berkomunikasi untuk menyembuhkan bareng,” ucap dia.
Ia menyebut, ketika itu ia menggunakan pendekatan play therapy untuk menyembuhkan trauma korban.
“Karena ketika menangani orang dewasa, mungkin dengan gampang dia bisa cerita ke psikolog. Kalau pasien anak, dia cerita takut-takut. Kemudian bahasanya kadang berbeda, bahasa anak. Dengan ada gambar, permainan, penyelesaian juga dengan cara bermain yang dia senang,” jelas dia.
Dinta menambahkan, dalam proses penyembuhan trauma, paparan media terhadap anak juga harus dikurangi.
“Karena ketika anak sedang healing, kemudian muncul berita yang mirip-mirip dengan yang dia alami, kemungkinan trauma akan muncul lagi,” kata dia.
Menurut Dinta, lama penyembuhan trauma bagi anak berbeda-beda.
Gejala trauma yang mereka tunjukkan pun biasanya berbeda, mengikuti rentang usia.
Baca juga: Menghadapi Arema FC Malang, Konsistensi Permainan PSIS Semarang Dinantikan
Baca juga: Pemkot Semarang Undi Lapak Pasar Johar, Besok Pedagang Sudah Boleh Langsung Menempati
“Anak yang kurang dari 5 tahun biasanya tidak mau lepas dari orang yang dia merasa nyaman. Kemudian sering nangis. Kalau usia 7 tahunan, dia biasanya ada gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan belajar. Kemudian kalau usia remaja 7-12 tahunan, biasanya ada gangguan tidur, mimpi buruk, suka menyendiri. Adapun usia remaja akhir biasanya jadi moody, mudah marah dan mudah tersinggung,” papar Dinta.
“Yang jelas proses healing lebih mudah jika melibatkan orang terdekat. Orang tua atau orang dekat lainnya harus pintar-pintar merangkul si anak untuk memberi rasa aman dan nyaman. Jadi begitu datang ke psikolog, dikasih cara penanganannya, proses penyembuhan bisa dilakukan juga di rumah,” tandas dia. (*)