Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

OPINI

OPINI DR Bramastia MPd : Sisdiknas Minus Pancasila

KELUARNYA Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) menuai polemik dan banjir kritik berbagai kalangan.

LALUAHMAD.COM
lambang garuda pancasila. 

Oleh : DR. Bramastia, MPd

Dosen Magister Pendidikan Sains UNS Surakarta

KELUARNYA Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) menuai polemik dan banjir kritik berbagai kalangan. PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo serta diundangkan Menkumham RI justru menimbulkan kegaduhan dunia pendidikan karena dianggap keluar dari pakem. Berbagai pro kontra silih bergantimensikapi kelahiran PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP.

Hilangnya Pancasila sebagai mata kuliah wajib di perguruan tinggi dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Banjir kritik deras mengalir pasca hilangnya kata “Pancasila” sebagai Mata Kuliah Wajib bagi Perguruan Tinggi sebagaimana PP Nomor 57 Tahun 2021. Apalagi di tengah gencar agenda pemerintah mengajak rakyat meneguhkan Pancasila, memerangi terorisme dan radikalisme, kenapa Pancasila sebagai mata kuliah wajib hilang entah kemana?

Revisi Sisdiknas

Dalih Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang metamorfosis menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Ristek atau Kemendikbud-Ristek) bahwa PP Nomor 57 tahun 2021 tentang SNP merupakan mandat serta turunan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan cara pandang “kacamata kuda” dalam mengelola pendidikan nasional.

Seolah kurikulum pendidikan nasional pada PP Nomor 57 tahun 2021 tentang SNP hanya mengikuti UU Sisdiknas tanpa mempertimbangkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Pengakuan Mendikbud-Ristek bahwa PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP di susun merujuk pada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan substansi kurikulum wajib yang tertulis persis dengan UU Sisdiknas merupakan satu telaah dangkal memandang pendidikan. Rasanya tak cukup dengan mempertegas bahwa Pancasila selalu dan akan tetap diwajibkan dalam kurikulum pendidikan sekaligus mengajukan revisi PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP mengenai substansi kurikulum wajib.

Mendikbud-Ristek tak paham bahwa pendidikan nasional memiliki rujukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Apabila Mendikbud-Ristek konsisten bahwa PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP disusun dengan merujuk pada UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan ingin Pancasila ada dan wajib di kurikulum pendidikan, mengapa tidak merevisi UU Sisdiknas?

Atau pahamkah alasan kenapa pelajaran “Pancasila” tidak muncul secara vulgar dalam UU Nomor 20 tentang Sisdiknas? Bukan langsung dengan menyimpulkan mata kuliah Pancasila tetap menjadi mata kuliah wajib pada jenjang pendidikan tinggi dan serta merta mengajukan revisi PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang SNP mengenai substansi kurikulum wajib. Dialektika pendidikan Pancasila seharusnya dibangun apabila ingin melahirkan ideologisasi Pancasila dalam dunia pendidikan nasional Indonesia.

Minus Pancasila

Dalam dunia pendidikan, kelahiran atas UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas membawa dampak besar dalam reformasi pendidikan nasional sendiri. Utamanya bidang pendidikan kewarganegaraan, dan umumnya dalam kurikulum pendidikan formal sekolah dasar hingga menengah, reformasi tidak hanya terbatas dalam substansi kajian, metode, dan sistem penilaian. Agenda pembaharuan pada pendidikan nasional telah bergeser kepada paradigma pembentukan warga negara yang demokratis, sebagaimana idealitas universal dari misi pendidikan nasional sendiri.

Sebaliknya, bahwa studi tentang kebijakan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pengkajian politik pendidikan itu sendiri. Wong (1995:21) menyebutkan bahwa politik pendidikan sebagai lapangan kajian keilmuan memiliki akar intelektualnya dalam ilmu politik. Dengan demikian, perhatian utama politik pendidikan akan mempergunakan pada domain-domain ilmu politik, seperti kekuasaan (power), pengaruh (influence), konflik (pertikaian) dan alokasi nilai otoritatif (authoritative allocation of values).

Sejarah mencatat bahwa jalan reformasi pendidikan nasional terbuka lebar pasca Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan amandemen, baik saat ketiga tahun 2001 dan saat keempat tahun 2002. Sebagai lembaga tertinggi negara yang melahirkan produk hukum, saat itu MPR membuka jalan refomasi pendidikan secara menyeluruh. Bahkan perdebatan pada sidang MPR 1999 dirumuskan dalam dokumen GBHN 1999 yang tegas menuntut reformasi bidang pendidikan melalui pembaharuan kurikulum dan instrumen pendidikan lainnya.

Kemauan politik

Penulis mencermati bahwa proses politik reformasi kebijakan pendidikan nasional dalam pembahasan RUU Sisdiknas tahun 2003 yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berjalan panas saat itu. Proses awal dalam RUU Sisdiknas 2003 menjadi bukti bagaimana kebijakan pendidikan lahir dari kemauan politik lewat usulan dan inisiatif wakil rakyat kita di Senayan. Realitas politik yang terkini pun memberikan gambaran bahwa ada kehendak kuat mereformasi sistem pendidikan nasional di era reformasi.

Alhasil, saat itu dalam UU Sisdiknas 2003 tidak ada lagi nama mata pelajaran Pendidikan Pancasila, tetapi hanya ada Pendidikan Kewarganegaraan. Keberadaan UU Sisdiknas 2003 memang tak lagi mencantumkan Pendidikan Pancasila dalam kurikulum pendidikan nasional. Dalih utamanya karena penamaan “Pancasila” di belakang kata “pendidikan” akan menurunkan posisi atas Pancasila sebagai dasar negara. Karena kata “Pancasila” sebenarnya tak boleh direduksi menjadi berbagai pelabelan, seperti halnya demokrasi Pancasila maupun ekonomi Pancasila.

Pemegang kebijakan pendidikan perlu paham bahwa bangsa Indonesia memiliki dasar kehidupan berbangsa bernegaranya ialah Pancasila. Sehingga pendidikan sebagai upaya pembentukan warga negara yang mendasarkan diri pada Pancasila sebagai dasar negara. Reformasi pendidikan tidak lepas dari kepentingan politik nasional dan sistem politik sangat kuat mempengaruhi arah politik pendidikan. Kondisi dulu dan saat ini harus dipahami pemegang kebijakan pendidikan supaya tidak larut dan terjebak situasi politik yang mendegradasi pendidikan nasional.

Sejarah pun juga mencatat bahwa amandemen Pasal 31 UUD 1945 secara tegas memposisikan aturan pokok tentang kebijakan pendidikan nasional. Konstitusi dalam UUD 1945 sebagai dokumen rujukan hukum tertinggi juga dengan terang benderang menegaskan peran negara dan warga negara di bidang pendidikan. Ideologisasi Pancasila dalam dunia pendidikan tidak bisa selesai melalui slogan, tetapi butuh penjabaran dan uraian detail yang mampu menginternalisasi pribadi manusia Indonesia yang berwatak Pancasilais sejati. (*)

Baca juga: Hotline Semarang : Benarkah Ada Pembebasan Biaya Pemakaman di Kota Semarang?

Baca juga: 5 Contoh Surat Lamaran Kerja Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Langsung Diterima HR

Baca juga: Fokus : Makam Gratis

Baca juga: Wanita Tewas Ditikam Pacar Sesama Jenis Setelah Minum Miras Berdua di Kamar Kos

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved