Berita Semarang
BEM KM Unnes Dukung Permendikbud 30, Polemik Frasa 'Tanpa Persetujuan Korban' Bukan Legalisasi Zina
BEM KM Unnes) mendukung Peraturan Menteri Nomor 30 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: moh anhar
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Badan Esekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (BEM KM Unnes) mendukung Peraturan Menteri Nomor 30 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
BEM KM Unnes menilai beleid ini merupakan langkah progresif yang dilakukan pemerintah di tengah maraknya kasus kekerasan seksual di bangku perkuliahan.
"Kampus yang seharusnya menjadi laboratorium dan percontohan dalam penegakkan dan pemenuhan hak asasi, justru hari ini menjadi tempat yang tidak aman dengan semakin menjamurnya kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anti-Kekerasan Seksual BEM KM Unnes, Siti Nur Dzakiyyatul Khasanah, Senin (15/11/2021).
Baca juga: Momen Operasi Zebra Candi, Kapolres Salatiga Ingatkan Bengkel Tidak Layani Modifikasi Knalpot Brong
Baca juga: Lomba Desain Batik Blora Dan Iket Samin Munculkan 9 Finalis, Kreativitas Motif dan Warna Diuji Juri
Baca juga: Bupati Dico Pastikan Tanggul Laut, Dari Kelurahan Bandengan sampai Karangsari Kendal, Dimulai 2022
Hasil survei yang dihimpun BEM Unnes 2021 menunjukan dari 133 responden, 59 diantaranya mengaku pernah mengalami kekerasan seksual di kampus dengan rincian 93,38 persen korban perempuan dan 6,02 persen korban laki-laki.
Selain itu, yang paling banyak berstats mahasiswa aktif dengan persentase 92,48 persen disusul karyawan sebanyak 4,51 persen, dosen 0,75 persen dan alumni 2,26 persen.
Perjuangan BEM Unnes yang menginginkan adanya aturan terkait pencegahan tindakan kekerasan seksual di kampus sudah dilakukan jauh-jauh hari.
"Permendikbud ini memang produk hasil desakan mahasiswa, BEM, warga sipil, dan ormas. Tapi satu unsur yang cukup menonjol memang dari mahasiswa dan BEM. Sebelum adanya Permendikbud ini, kami sempat mendatangi Komnas Perempuan untuk mendapatkan dukungan adanya aturan ini," jelasnya.
Pada Oktober 2021 kemarin, pihaknya sempat mengadakan audiensi bersama Komnas Perempuan dilanjutkan dengan penyerahan kertas kebijakan atau policy brief terkait Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Tinggi.
"Hasilnya, Komnas Perempuan mendukung kita untuk mengajukan policy brief dengan beberapa masukan. Komnas Perempuan juga mendukung Kemendikbud agar Permendikbud hadir. Komnas mendukung gerakan yang kita lakukan," ucapnya.
Terkait polemik atau kontroversi yang muncul belakangan ini, Kiya, panggilan akrabnya, mengatakan kegaduhan yang terjadi bukan semata terkait redaksional yang memuat adanya frasa 'tanpa persetujuan korban', tetapi juga kurang pemahaman.
Adanya frasa pada Permendikbud tersebut bukan berarti pemerintah hendak menciptakan kampus merdeka dengan seks bebas.
Menurutnya, frasa tersebut bisa dipahami sebagai tolok ukur atau penanda adanya kekerasan seksual atau tidak.
Segala kekerasan dilakukan dengan paksaan yang tidak disetujui korban.
"Artinya, 'tanpa ada persetujuan', itu masuk ranah kekerasan seksual. Tetapi jika frasa itu tidak ada, termasuk dalam ranah UU perzinaan. Jadi redaksional yang ada dalam Permendikbud diatur untuk fokus unsur kekerasan, tidak mengatur perzinaan. Tapi itu bukan berarti aturan ini melegalkan perzinaan atau seks bebas," tegasnya.
Baca juga: PSIS Semarang Solidkan Trio David, Hari Nur, dan Bruno Jelang Laga Lawan Persikabo Bogor
Baca juga: Hindari Benturan dengan Ormas, Polisi Mediasi Penertiban Karaoke Liar di Bekas Terminal Penggaron
Baca juga: Kisah Dukun Bayi Semarang Kenang Jadi Petugas Pemulasaraan Jenazah Covid-19: Pernah Dibilang Gendeng
Ia menandaskan, frasa 'tanpa persetujuan korban' harus tetap ada karena sebagai tolok ukur bahwa upaya kekerasan dilakukan dengan adanya unsur pemaksaan tanpa persetujuan korban.
Pola pemahamannya bukan lawan kata atau kontradiksi. Bukan karena ada frasa 'tanpa persetujuan korban', lalu karena ada persetujuan korban, seks bebas bisa dilakukan. (*)