Berita Jateng
Kegigihan Eksan Berdayakan Petani Bikin Dewi Sri Kembali ke Klaten
Masih segar dalam ingatan guru SD Islam Al Uswah Desa Sribit, Kecamatan Delanggu, Klaten ini aroma dan rasa nasi yang dimakan saat masa kecil dahulu
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: muslimah
Pernah sempat berjaya, namun seiring berjalannya waktu, beras Rojolele yang terbilang mahal, membuat petani kesulitan menjual hasil panen. Rojolele juga butuh waktu enam bulan hingga panen tiba.
Belum lagi berbagai macam proses perawatan tanaman agar panen maksimal dirasa memberatkan petani. Hingga akhirnya, tidak ada yang mau menanamnya lagi. Produksi Rojolele tidak ada lagi hingga hanya tersisa karung beras yang bertuliskan 'Rojolele'.
Selama varietas Rojolele 'hilang' dari tanah Delanggu, petani setempat lebih memilih varietas unggulan lain yang memiliki masa tanam lebih cepat, pulen, serta kualitas lain yang mendekati beras 'Sang Raja' (sebutan lain Rojolele). Lalu muncul berbagai varietas semisal IR, Memberamo, Ciherang, Mentik Wangi, Situbagendit, dan sebagainya.
"Kami dan beberapa petani lokal prihatin atas kondisi ini. Desa kami dianugerahi Sang Pencipta sumber daya alam melimpah dengan aliran air juga melimpah. Kami juga ditinggali nama besar yakni Rojolele Delanggu sejak dulu. Sehingga, kami berinisiatif ingin menanam kembali Rojolele dan mengembalikan kejayaannya," kata pendiri Sanggar Rojolele, Delanggu, Eksan Hartanto.
Klaten dijuluki gudang seribu mata air dan kabupaten penyangga pangan Jawa Tengah. Banyaknya mata air atau umbul di daerah ini membuat daerah ini terkenal dengan hasil pertanian terutama beras.
Tidak kaget Klaten diberikan kekayaan berupa air melimpah, banyak yang menyebut aliran air dari lereng dua gunung Merapi dan Merbabu mengarah ke arah timur yakni Delanggu. Merugi jika masyarakat tidak memanfaatkannya dengan baik.
Desak Pemkab Klaten
Eksan yang ingin Rojolele berjaya kembali di kampung halaman pun bertemu dengan Pemerintah Kabupaten Klaten. Dari sejumlah pertemuan tercetus melakukan pemuliaan dan konsevasi terhadap varietas padi Rojolele.
Pada 2013, Pemerintah Kabupaten Klaten pun menindaklanjuti pertemuan dengan para petani Delanggu. Pemerintah meminta Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) memuliakan varietas padi Rojolele melalui teknologi mutasi radiasi nuklir.
Kelemahan padi Rojolele sejak dulu yakni umur tanam lama mencapai 155 hari atau 5-6 bulanan, tinggi tanaman mencapai 1,5 meter lebih sehingga rentan patah leher dan tidak tahan terhadap penyakit.
"Sebelum berkolaborasi dengan Batan, varietas Rojolele usia tanamnya lama. Tinggi padi rawan ambruk. Setelah uji coba di Batan melalui sinar gamma, melalui proses lama dan berhasil, tercipta varietas unggul Rojolele dengan usia panen lebih singkat yakni 105 hari dan tinggi tidak lebih dari satu meter," jelasnya.
Meskipun sudah melewati proses rekayasa genetika, di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Batan, keunggulan beras ini masih terjaga. Bulir padi tetap memiliki bulu seperti kumis lele, beras wangi, pulen, dan enam, sama dengan varietas asli.
Sebelum dilakukan tanam perdana di Delanggu, uji coba tanam varietas ini sudah dilakukan di lahan demplot atau pecontohan di Desa Gempol, Kecamatan Karanganom, Klaten.
Perbaikan varietas Rojolele dilakukan dengan radiasi sinar gamma pada dosis 200 grey. Setelah melalui berbagai tahapan uji yang disyaratkan Kementerian Pertanian (Kementan) selama kurun waktu enam tahun, sehingga dihasilkan dua jenis baru varietas unggulan dari turunan induk Rojolele, yakni Rojolele Srinar dan Srinuk.
"Berdasarkan penuturan dari peneliti Batan, varietas induk memiliki 1.000 hasil turunan DNA yang diproses melalui sinar gamma nuklir. Lalu ada yang paling unggul yakni Srinar dan Srinuk. Dua jenis ini, setelah uji coba tanam, yang paling tahan penyakit dan keunggulan lain seperti masa tanam lebih cepat dengan tidak meninggalkan ciri khas rasa," ucap Eksan.