Berita Jateng
Kegigihan Eksan Berdayakan Petani Bikin Dewi Sri Kembali ke Klaten
Masih segar dalam ingatan guru SD Islam Al Uswah Desa Sribit, Kecamatan Delanggu, Klaten ini aroma dan rasa nasi yang dimakan saat masa kecil dahulu
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: muslimah
Menurutnya, ada sejumlah persoalan Pertanian di Desa Delanggu, antara lain penurunan regenerasi petani. Menurut data tahun 2015 dari kurang lebih 1.500 KK di Desa Delanggu, warga yang menggeluti profesi petani hanya 60 KK.
Dari 60 KK mayoritas usianya berada di atas 50 tahun. Regenerasi petani menurun karena profesi petani tidak atau belum menyejahterakan para petani dari sisi ekonomi dan sosial. Para petani hilang taji di kampung agraris nan makmur.
"Sayang, kita dikasih ketersediaan sumber daya alam melimpah dengan sawah terhampar, nama besar, tapi tidak ada regenerasi petani. Bahkan, 90 persen petani di sini 90 persen di antaranya merupakan petani penggarap, bukan pemilik lahan, pemiliknya merupakan warga luar," ujar Eksan.
90 persen petani di Delanggu adalah petani penggarap dengan sistem bagi hasil dengan pemilik lahan 50:50 dan membebankan seluruh biaya produksi kepada petani. Hal ini diperparah dengan sistem jual-beli yang dimonopoli oleh tengkulak dan penebas.
Petani tidak mempunyai nilai tawar dalam menentukan harga jual hasil panen. Peningkatan produksi panen tidak berbanding lurus dengan peningkatan
Dengan menanam Rojolele, ia ingin ada peningkatan kesejahteraan para petani. Pihaknya tengah memikirkan proses pasca-produksi terutama untuk pemasaran. Pemasaran merupakan bagian penting untuk memastikan keberlanjutan produksi Rojolele di Delanggu.
Pemasaran Rojolele tidak bisa disamakan dengan varietas beras lain pada umumnya. Ini tidak bisa masuk ke pasar sembarangan. Rojolele bisa disebut beras premium plus plus, yakni tambahan ada nilai historis di samping kualitas.
"Kalau masuk ke pasar pada umumnya, harga Rojolele hancur, tidak jauh dengan beras yang dijual pasaran. Harus ada kalangan atau pasar khusus yang mau menerima Rojolele. Bisa masuk di supermarket dengan beras kualitas premium," ucapnya.
Eksan menuturkan untuk produksi, dia memberikan kepercayaan pada para petani. Namun, mereka terhambat pada pasca-produksi dengan sumber daya manusia terbatas. Karena itu, untuk pasca-produksi dia dan para pemuda yang akan mengambil alih peranan.
Branding, organizing, pemasaran, promosi dan sebagainya akan secara masif dilakukan. Juga sebagai upaya mengembalikan pola pikir masyarakat yang terlanjur berpikir bahwa beras Rojolele di pasaran hanya bungkusnya, tidak dengan isinya.
Tantangan lain, kata dia, yakni para petani belum terbiasa dengan hasil riset serta peralatan yang akan diaplikasikan dalam proses tanam Rojolele 'reborn' ini. Misalnya, untuk mengukur keasaman tanah (PH) dia harus menggunakan alat ukur PH. Kemudian, mengukur kelembaban cuaca yang berimplikasi terhadap tanaman dan hama.
Selain itu, pasca-produksi, pihaknya belum memiliki peralatan produksi panen, seperti mesin slep dan sebagainya. Sanggar Rojolele tidak akan meminta dengan mengemis- ngemis bantuan, namun jika ada pihak yang akan bermitra, pintu akan terbuka setiap saat.
"Kalau soal harga, kami patok Rp 15 ribu perkilogram. Untuk yang organik Rp 23 ribu. Tapi yang kami tanam saat ini bukan organik, karena lahan masih tercampur dengan pestisida pada masa tanam dulu. Tapi kami arahnya ke sana (organik). Sehingga membentuk pertanian yang berkelanjutan," imbuhnya.
Organik dan e-Commerce
Padi Rojolele sempat menjadi tanaman langka setelah hilang dari sawah- sawah di Indonesia. Di kampung halamannya, Delanggu, Klaten, sulit ditemukan petani yang menanam padi Rojolele.
Meski berharga tinggi, petani enggan menanamnya karena sejumlah alasan: usia padi yang panjang, rentan hama, morfologi tanaman yang memiliki ketinggian di atas rata- rata sehingga rentan patah leher di usia 40-50 hari.
Karena rasanya enak, pulen, dan wangi, Rojolele pun saat itu hanya menjadi beras Delanggu yang melegenda. Hingga akhirnya Batan mentransformasi benih varietas Rojolele dengan sejumlah perbaikan: berusia pendek, tanaman tidak tinggi, dengan kualitas masih sama dengan varietas induk asli.
Untuk memenuhi unsur pembangunan keberlanjutan di lahan pertanian. Sanggar Rojolele memberikan edukasi kepada warga petani penggarap sawah khusus Rojolele terkait sawah organik.
Bukan masalah yang mudah untuk memberikan pengertian pada para petani yang rata- rata berusia setengah abad lebih.
Pendiri Sanggar Rojolele, Eksan mengatakan petani belum terbiasa menggunakan pupuk dan pestisida organik. Seumur hidup mereka berkecimpung di dunia pertanian hanya terbiasa menggunakan bahan kimia.
Tentunya kimia tidak baik untuk kesuburan tanah dalam jangka panjang. Tanah menjadi jenuh hingga akhirnya produksi panen berkurang, ini pastinya merugikan para petani.
"Kami arahkan ke pertanian organik. Namun pelan- pelan, tidak instan, karena mereka terbiasa menggunakan bahan kimia. Sementara ini, kami menggunakan semi organik karena tanah yang ada masih ada bahan kimia, tapi kami sudah mulai menggunakan pupuk kandang," jelasnya.
Penggunaan pupuk kandang untuk menanam Rojolele juga mengurangi penggunaan pupuk kimia yang saat ini mahal dan langka di pasaran. Ketergantungan akan penggunaan pupuk dan pestisida kimia mulai dilakukan untuk melindungi lingkungan dan hasil panen lebih sehat.
Ganjar Mengapresiasi
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengapresiasi semangat masyarakat Delanggu, Kabupaten Klaten yang ingin menanam kembali padi Rojolele. Pasalnya, beras tersebut sempat ditinggalkan petani Delanggu dikarenakan masa tanam yang lama.
"Ini ada semangat dari kelompok masyarakat di Klaten. Kalau dulu Delanggu terkenal sebagai penghasil beras Rojolele yang pulen, wangi, enak dan mahal, sekarang lama-lama bergeser. Para petani mulai menanam padi jenis lain yang usia panennya lebih pendek," kata Ganjar saat melihat penanamann perdana beras Rojolele Srinar dan Srinuk di Delanggu pada November 2020 dinukil dari siaran tertulis.
Ia menanggapi positif adanya hasil penelitian Rojolele Srinuk, dengan masa tanam pendek yakni hanya 3,5 bulan. Ganjar meminta para petani tetap semangat untuk mengelola varietas baru Rojolele ini. Selain itu, Ia juga berharap petani mau beralih ke pertanian organik.
"Mudah-mudahan hasilnya baik. Kalau nanti panen, maka Rojolele Delanggu bisa kembali. Ini judulnya Muleh Maneh (kembali lagi). Syukur-syukur dikelola secara organik, jadi pupuk kimia dan pestisida kimianya dikurangi. Kalau itu bisa dilakukan, maka hasilnya akan semakin bagus," tuturnya.
Di sisi lain, mantan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Provinsi Jawa Tengah, Suryo Banendro, mengapresiasi pemerintah Klaten dan para pemuda dari Sanggar Rojolele yang menerapkan pertanian organik untuk menanam Rojolele.
Menurutnya, tanah dibuat 'hijau' telebih dahulu dengan pupuk organik. Mikroorganisme dalam bahan organik melakukan dekomposer dan mendegradasi bahan kimia yang ada di dalam tanah sawah. Dengan begitu bisa mengembalikan kesuburan tanah. Dengan organik, tanah jadi gembur, banyak cacing dan mengembalikan biomassa.
"Sudah banyak saat ini petani yang memiliki hamparan tanah luas dengan menggunakan metode organik. Hasilnya, memuaskan. Ongkos produksi pun lebih murah karena organik bisa menggunakan pupuk kandang, jerami, dan sebagainya," terang Suryo.
Di samping itu, ia juga berterimakasih kepada Batan yang telah memukul lonceng memulai kejayaan Rojolele kembali di tanah Klaten. Ia bercerita ketika masih muda sekitar 1986 di wilayah Klaten dan sekitarnya seperti Delanggu dan Sawit Boyolali banyak tumbuh Rojolele.
Suryo mengakui varietas asli Rojolele tidak tahan dengan hama wereng cokelat, tumbuhan tinggi, dan anakan atau tunas barunya sedikit yang hanya 5-7. Begitu juga dengan masa tanamnya hingga panen petani membutuhkan wkatu lama 5-6 bulanan.
Dengan usia tanam lama, para petani lebih memilih menanam padi varietas lain yang hanya memiliki usia tanam setengah dari usia Rojolele. Anakannya pun lebih banyak yakni di atas 15. Ini tentunya memberikan efek para petani beralih ke varietas lain seperti IR, inpari, dan sebagainya.
Namun, dengan rasa enak, wangi, dan pulen, kata dia, mestinya ada sejumlah kalangan yang merindukan Rojolele asli hadir kembali. Kerinduan itu terobati ketika Batan berhasil memperbaiki genetika atau DNA sehingga ada perubahan dalam karakteristik Rojolele yang baru ini.
"Ada masyarakat petani yang ingin menanam kembali. Nguri- nguri varietas lokal Delanggu Klaten ini. Dengan pemuliaan tanaman yang dilakukan Batan dengan teknologi nuklir, tanaman berusia pendek, anakan pun lebih banyak. Ini diklaim bisa memproduksi rata- rata 8 ton perhektare," kata Suryo.
Ia juga berharap balai benih atau dinas pertanian setempat bisa membagikan benih Rojolele ke masyarakat sehingga proses tanam menjadi masif. Jika begitu, kata dia, harus ada pengkhususan dalam pemasaran karena ini merupakan beras super premium yang harus dijual dengan harga berbeda dari beras lainnya.
Dengan kata lain, beras ini bisa dijual menggunakan jalur khusus semisal menggunakan e-commerce atau secara online. Sehingga kalangan terbatas dari berbagai daerah lain yang ingin mencicipi beras Rojolele bisa mendapatkannya dengan mudah. (mam)