Opini

Minyak Goreng Naik Lagi

Intip goreng buatan Mokhlas, berbeda dengan yang dijual di daerah Kaliwungu Kendal atau Solo dan Boyolali.

Editor: rustam aji
Minyak Goreng Naik Lagi
Dok. pribadi
Khafid Sirotudin

Khafid Sirotudin*)

TRIBUNJATENG.COM - KEMARIN siang kami ketemu Mokhlas di depan rumahnya, pembuat peyek rebon dan intip goreng, tetangga satu RW beda RT.

"Piye mas wis mulai nggorengi maneh (gimana mas sudah mulai berproduksi lagi)?", tanya kami.

"Nembe rampung nggoreng pak, tapi dereng wonten sik dibungkusi (baru selesai menggoreng pak, tapi belum ada yang dipacking)", jawabnya.

Alhamdulillah, peyek rebon dan intip goreng kesukaan keluarga kami sudah diproduksi lagi. "regane mundak ora mas (harganya menjadi naik tidak mas?" tanya kami selanjutnya.

"Mboten wantun mundakke, tasih tetep. Idhep-idhep ngobahke awak tinimbang nganggur (tidak berani menaikkan harga, masih tetap. Itung-itung menggerakkan badan daripada menganggur)", jawabnya.

"Ya wis koyo biasane, mengko diterke omah 10 pack, 5 peyek 5 intip (ya sudah seperti biasa, nanti diantar ke rumah 10 pack, 5 peyek 5 intip goreng)", pinta kami.

Sudah lebih 15 tahun, Mokhlas dan Zin adiknya memproduksi peyek rebon dan intip goreng. Meneruskan usaha ibunya yang sudah renta. 1 pack peyek rebon berisi 12 bungkus kecil, harganya Rp 11.000.

Dan intip goreng dipacking per bungkus Rp 4.000. Bahan baku intip mentah didapatkan dari pengepul di desa-desa sekitar kecamatan Weleri dan Rowosari.

Intip mentah berasal dari masyarakat desa yang 'ngliwet sego' (menanak nasi) secara tradisional.

Tidak memakai peralatan modern semacam magic com atau magic jar.

Intip goreng buatan Mokhlas, berbeda dengan yang dijual di daerah Kaliwungu Kendal atau Solo dan Boyolali. Disana tampilan intip goreng terlihat lebih menarik dengan ukuran dan bentuk hampir sama.

Karena sengaja dicetak dengan satu peralataan khusus yang memanfaatkan sisa nasi dari warung, rumah makan atau restoran.

Tiada pilihan bagi Mokhlas dan ribuan industri rumah tangga skala mikro untuk tetap berproduksi meski harga minyak goreng naik tinggi.

Mau beralih kerja di sektor lain tidaklah mudah. Apalagi di masa pandemi Covid-19 yang belum berhenti.

Bagi pelaku usaha mikro pangan olahan kelas rumahan di kampung, menganggur bukan pilihan yang tepat.

Mereka harus tetap bekerja meski dengan hasil "bak-bok" (tidak untung dan tidak rugi). Istilah mereka "sik penting saged nunut maem (yang penting bisa ikut makan)".

Harga Minyak Naik Lagi

Selepas maghriban kami membeli susu bear brand di kios mbak Yanti, berjarak 5 kios dari toko kami.

Sudah hampir 15 tahun kami bertetangga toko di kompleks Pasar Hasil Bumi Weleri.

Di kota Weleri, setidaknya terdapat 10 tempat yang menjual sembako secara grosiran. Tempat kulakan para bakul dan pemilik warung, resto dan angkringan.

"Ngersakke menopo mas kaji (membutuhkan apa mas kaji?" sapanya.

"Susu bear brand 5 kaleng mawon", jawab kami.

Sambil menunggu barang diambilkan karyawan, "regi minyak sakniki pinten mbak? (harga minyak goreng sekarang berapa mbak)" tanya kami sambil memegang 1 plastik minyak goreng suatu merk.

"Regine malah tambah mundak sakniki, nganti mboten wantun kulakan kathah. Adol rong tangki ngge kulakan angsale sak tangki (harganya sekarang malah semakin naik, sampai2 tidak berani order barang banyak. Jual minyak 2 tangki, untuk membeli lagi dapatnya hanya 1 tangki)", jawabnya.

"Jan-jane wonten menopo mas kaji.

Dereng nate kejadian kados sakniki (sebenarnya ada masalah apa mas kaji, belum pernah ada kejadian seperti sekarang)" tanyanya lebih lanjut.

"Mboten mangertos sik sakbenere mbak, tirose tiyang Jakarta mergo bahan bakune longko (tidak tahu yang sebenarnya mbak, kata orang Jakarta bahan bakunya langka)" jawab kami.

Sesampai di rumah kami coba mengkalkulasi dari pembicaraan singkat dengan mbak Yanti. Satu truk tangki minyak goreng curah berisi 13 ton.

Dengan harga beli Rp 9.000 per kilogram, maka Rp 117 juta nilainya. Jika sekarang harga minyak goreng curah Rp 18.000/kg, maka dana yang harus dibayarkan menjadi Rp 234 juta, naik 100 persen.

Kios atau toko kulakan sembako semacam milik mbak Yanti di Weleri, rata-rata mengambil keuntungan Rp 300- 500 per kg. Jika sepekan biasa menjual 1-2 tangki minyak goreng curah, maka berapa kerugian yang harus ditanggung.

Minyak goreng bagi toko sembako, ibarat semen bagi toko bangunan. Tidak bisa mengambil untung banyak. Tidak menjual minyak goreng pelanggan lari.

Tetapi semakin banyak menjual di saat seperti ini, semakin besar kerugian yang harus ditanggung.

Nampaknya harga minyak goreng yang naik tajam sejak bulan Oktober lalu belum ada tanda- tanda akan menurun.

Perlu Kebijakan Tepat

Sebagaimana disampaikan pemerintah melalui Dirjen Perdagangan Dalam Negeri pada tanggal 24/11/2021, terdapat 3 faktor penyebab naiknya harga minyak goreng.

Pertama, adanya penurunan pasokan bahan baku Crude Palm Oil (CPO). Kedua, adanya krisis energi di Eropa. Dan ketiga, banyaknya produsen minyak goreng di Indonesia yang belum terafiliasi dengan kebun sawit penghasil CPO.

Belum pernah terjadi kenaikan harga yang menggila seperti sekarang. Kalau ada kenaikan harga minyak goreng, biasanya menjelang idul fitri atau liburan natal dan tahun baru.

Lebih disebabkan adanya kenaikan permintaan di pasar. Itupun terjadi kenaikan secara wajar dan sudah berpuluh puluh tahun lamanya. Paling banyak Rp 500-1.000 per kilogram serta berlangsung hanya 2-3 pekan.

Kami mencoba membuat analisa 'enteng-entengan' (ringan) memakai nalar publik yang awam terhadap fenomena naiknya harga minyak goreng yang sangat tidak wajar.

Pertama, terhadap faktor menurunnya pasokan CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Luas lahan perkebunan sawit Indonesia 15.000.000. hektar lebih. Membentang dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan merambah Papua berbatasan dengan negara tetangga PNG. Dan menjadi perkebunan sawit terluas di dunia.

Jika saja terjadi penurunan produksi CPO, apa ya benar menjadikan penyebab utama tidak tercukupinya kebutuhan bahan baku industri minyak goreng di Indonesia. Tidak adakah koordinasi yang baik antara Kemendag cq Dirjen PDN dengan Kementan cq Dirjen Perkebunan dan Kementrian Perindustrian.

Kedua, adanya krisis energi di Eropa. Seperti diketahui bahwa CPO selain sebagai bahan baku minyak goreng, juga menjadi bahan baku biodiesel sebagai pengganti BBM berbasis fosil (Solar, Dexlite, dll).

Jika terlalu banyak CPO yang dijual ke Eropa, lantas sejauh mana jiwa nasionalisme para pemilik perkebunan sawit. Mereka menanam sawit di tanah air kita. Mereka mendapat konsesi lahan jutaan hektar untuk membangun imperium bisnis sawit di Indonesia. Sementara jutaan rakyat pelaku usaha mikro yang membutuhkan minyak goreng sulit bernafas hanya untuk sekedar mempertahankan hidup yang jauh dari kecukupan pangan, papan dan sandang.

Kami coba googling data shahih atas 10-20 perusahaan perkebunan sawit yang menguasai lahan sawit terbesar di seluruh nusantara. Ternyata sebagian besar berkantor pusat di Singapura. Bahkan sebagian melakukan listing saham publik pada pasar saham disana. Sebuah oligarkhi ekonomi yang nyaris sempurna.

Ketiga, soal banyaknya produsen minyak goreng yang belum terafiliasi dengan kebun sawit penghasil CPO.

Pemerintah dengan kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki, kami yakin mampu mengatur dan memaksa para pelaku bisnis minyak goreng. Dari hulu sampai hilir.

Sejak dari pengaturan konsesi lahan sawit, memberi ijin operasional industri berbahan baku CPO hingga memberikan fasilitas serta mengantisipasi tata perdagangan dan distribusi produk di dalam negeri.

Gunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk menegakkan keadilan ekonomi di negeri ini.

Utamakan kepentingan bangsa, negara dan rakyat Indonesia ketimbang kepentingan rakyat dan bangsa asing. Kedepankan kepentingan masyarakat banyak daripada kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok.

Semoga Allah Tuhan yang Maha Esa memberikan rahmat kepada para pemimpin negeri ini.
Kembalilah ke jalan yang benar untuk bersama-sama membangun NKRI berdasarkan Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah.
Wallahu'alam

Weleri, 14 Desember 2021
*). Pemerhati Pangan, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Jawa Tengah.

Sumber: Tribun Jateng
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved