Smart Women
Makin Termotivasi saat Ditantang, Bintari Bikin Inovasi Bakmi Jawa Kemasan Kering
Menjadi pengusaha yang memberikan lapangan pekerjaan pada orang lain merupakan impian Raden Nganten Bintari Saptanti (44) semenjak remaja.
Penulis: M Nafiul Haris | Editor: moh anhar
TRIBUNJATENG.COM - Menjadi pengusaha yang memberikan lapangan pekerjaan pada orang lain merupakan impian Raden Nganten Bintari Saptanti (44) semenjak remaja.
Akhirnya, di tahun 2018 keinginannya memiliki usaha sendiri pun terwujud.
Berbekal pelatihan membuat olahan mi selama satu hari di PT Sriboga, Bintari membuka usaha bakmi yang diberi nama Bakmie Jogja Sundoro.
Bintari mengatakan, pemilihan usaha makanan bakmi Jogja karena dia berasal dari Yogyakarta, sebelum pindah di Kota Semarang.
Baca juga: Serunya Sepedaan Keliling Kota Semarang Pakai Baju Pantai, Berakhir Nyebur di Kolam Renang
Baca juga: Libur Nataru Berakhir, Arus Lalu Lintas di Gerbang Tol Kalikangkung Meningkat 37 Persen
Kemudian, alasan lain lantaran anaknya hobi mengonsumsi mi instan, yang dianggapnya kurang baik untuk kesehatan.
“Saya asli Yogya dan masih keturunan keenam dari Hamengkubuwono II, yang nama kecilnya Raden Mas Sundoro, lantas saya jadikan merek. Kemudian, dari coba-coba itu malah berkembang, dari kami jual basah, menjadi kering, dan mi jawa pertama di Indonesia yang dijual bentuk kemasan kayak mi instan,” ungkapnya.
Bintari menambahkan, mulanya inovasi menjual mi Jogja dalam bentuk kemasan kering karena ingin mempercepat proses pemasakan di kedainya.

“Jika dimasak mi dalam keadaan masih basah membutuhkan waktu cukup lama. Tidak hanya itu, apabila koki yang memasak berbeda, rasanya menjadi lain,” katanya.
Dia menyatakan, dari kejadian itu sempat membuatnya ragu-ragu membuka cabang baru sampai akhirnya mi kemasan kering semula untuk memenuhi kebutuhan kedai malah banyak diminati konsumen.
Dari sana lanjutnya, dia berpikir untuk menjual mi Jawa dalam bentuk kemasan siap masak lengkap dengan bumbunya.
“Dulu mi Jawa atau Jogja ini kami kemas bentuk frozen, tetapi maksimal bertahan hanya tujuh bulan jika disimpan di freezer atau kulkas karena tidak ada pengawetnya. Pengembangan selanjutnya dikemas mi kering tanpa proses penggorengan. Kami, juga jamin tidak ada pengawet serta bebas gula sehingga aman untuk penderita diabetes, kanker, maupun penyandang autisme,” katanya.
Pola pemasaran
Bintari mengungkapkan, jauh sebelum itu perjalanan mengembangkan usahanya itu dikonsep tradisional dengan pola pemasaran membuka outlet gerobak memanfaatkan halaman toko modern atau swalayan.
Dia telah menyiapkan 50 outlet baru.
Namun, berjalan setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia, sejumlah pertokoan dipaksa tutup dan makan di tempat dilarang sehingga usahanya itu sempat stagnan.
Kemudian, mau tidak mau Bintari yang semula gagap teknologi, bahkan tidak memiliki email, belajar secara autodidak untuk memasarkan produknya melalui media sosial. Tanpa disangka, usahanya itu pun membuahkan hasil, bahkan permintaan dari konsumen mengalami peningkatan, terutama dari luar Jawa.
“Tapi dari situ masalah belum selesai. Saya harus mengurus berbagai macam perizinan, jika usaha ini mau bertahan. Sebab, dahulu hanya izin PIRT, itu tidak cukup, harus ada izin BPOM dan sebagainya, yang semua itu merupakan hal baru bagi saya,” katanya.
Atas banyaknya persoalan itu, Bintari hampir memilih untuk berhenti. “Akan tetapi suami saya bilang, jika tidak lanjut, ruko yang kami sewa akan dibuat usaha lain. Saya ini tipikal jika diberi tantangan malah termotivasi,” ujarnya.
Semenjak itu kata dia, sejumlah perbaikan dari kemasaran pola pemasaran menjalin kerja sama dengan distributor usahanya itu pun berkembang pesat.
Baca juga: Rumah Dijual di Semarang Sekitarnya Minggu 2 Januari 2022
Baca juga: Bupati Andi Beri Perhatian Khusus pada Kesenian Tradisional di Jepara
Sampai sekarang, Bakmie Jogja Sundoro telah memiliki cabang resmi di Jakarta, Yogyakarta, dan Purwokerto. Kemudian pemasaran melalui pihak luar produk Bakmie Jogja Sundoro bisa diperoleh di sejumlah toko modern di Semarang, Surabaya, Bandung, dan Solo dengan dua varian, mi rebus dan kering.
Pelajaran dari Tekor Ratusan Juta Rupiah
Sebelum sukses membangun usaha Bakmie Jogja Sundoro, selama 13 tahun Raden Nganten Bintari Saptanti (44) lebih memilih bekerja ketimbang melanjutkan kuliah.
Hal itu dia lakukan sejak lulus SMA, pada 1997. Terlebih, Bintari merupakan anak pertama dari empat bersaudara.
Dia meyakini, adik-adiknya dinilai lebih membutuhkan biaya pendidikan.
Bintari mengatakan, sebelum terjun ke dunia kuliner dia bekerja sebagai karyawan salon, lalu membuat bisnis sendiri berupa jasa rias pengantin sembari menjadi make up artist di Pro TV.
Hanya saja, bisnis yang dibangunnya itu tidak membuahkan untung.
Yang ada, kata dia, uang berputar sebatas memenuhi kebutuhan.
Puncaknya dia merugi sekira Rp 400 juta sebab ada klien tidak membayar.
“Dulu saya niatnya bekerja di salon itu untuk belajar, terus membuat usaha tata rias pengantin untuk membantu suami malah merugi. Mereka ada yang tidak membayar, ada yang bayarnya kurang, sedang ketika itu konsepnya wedding organizer atau melayani paket komplet, termasuk undangan, foto, dan sebagainya. Kemudian, akhirnya tidak saya teruskan dan berganti bikin usaha mi Jogja,” kenangnya.
Ibu lima anak tersebut menyatakan, dari pengalamannya usaha di masa lalu tersebut kemudian dia mengevaluasi.
Dia menduga, manajemen keuangan yang kurang tertatalah yang membuatnya merugi.
Ketika itu, secara bisnis pada dasarnya merugi, tetapi dia masih menganggap untung karena tak memahami penghitungan bisnis yang baik.
Dia menjelaskan, kondisi yang dialaminya itu baru disadari setelah mengikuti training bisnis bersama Womenpreneur Community (WPC) Kota Semarang.
Tidak ingin usahanya yang sekarang mengalami hal serupa, Bintari kemudian mulai menghitung secara cermat antara modal, keuntungan, dan biaya operasional.
“Di Semarang tidak ada yang berbisnis mi Jogja. Ya sudah, alhamdulillah (Mie Jogja Sundoro) berkembang seperti sekarang ini. Waktu awal itu juga saat mengikuti inkubasi bisnis tahun 2018 bersama WPC, alhamdulillah produk saya meraih juara 3. Sejak itu semakin membuat saya percaya untuk mengembangkan. Artinya, usaha ini punya prospek,” paparnya.
Bintari mengungkapkan, dari pencapaiannya sekarang impiannya untuk membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain akhirnya terwujud.
Meskipun, untuk saat ini rata-rata pekerja masih didominasi para tetangga yang mayoritas janda tidak jauh dari tempat tinggalnya di Mijen, Kota Semarang, dengan total 15 pekerja.
Sekarang, Bintari menargetkan, Mie Jogja Sundoro memiliki cabang lebih banyak serta mudah dijangkau konsumen sehingga mampu bersaing dengan produk mi Samyang asal Korea, yang sekarang banyak menjamur di sejumlah daerah di Indonesia.
Sebab, baginya makanan asli Indonesia tidak kalah enak. Hanya saja, inovasi menjadi tantangan para pelaku UMKM.
“Itu terbukti, dulu saya tidak paham marketplace, malah yang menghubungi untuk kerja sama dulu, mereka dari Blibli.com. Ini berarti produk UMKM, terutama kuliner Indonesia, punya nilai jual tinggi. Indonesia ini pangsa pasarnya luas, hanya kelemahan UMKM mereka tidak paham teknologi. Dari situ, saya memiliki cita-cita membuka toko khusus, nanti menjual produk UMKM Indonesia yang berkualitas,” harapnya.
Bukan itu saja, produknya juga terbukti diminati konsumen luar negeri, seperti Jepang, Australia, Hongkong, Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, dan Kanada.
Secara berkala lanjutnya, meski belum skala ekspor, sejumlah warga asing membeli mi Jogja yang dipasarkan lewat marketplace Goorita.com, yang bergerak pada perdagangan luar negeri.
Baca juga: Niat Suami Sembunyi di Plafon Demi Lihat Kekasih Gelap Istrinya, Sosok Asli Si Pria Bikin Nyesek
Baca juga: Berawal dari Teras Rumah, Haifa Kini Punya Lima Cabang Arabian Food, Berikut Kisahnya
Ingin Bantu UMKM yang Terkendala Pemasaran
Keberhasilan membangun usaha, bagi Bintari, merupakan berkah dari Tuhan.
Sebab, kata dia, bisnis Bakmie Jogja Sundoro yang kini ditekuninya, berawal dari modal nekat.
Dia memulai usaha dengan modal yang diambil dari sisa-sisa usaha sebelumnya, yakni jasa tata rias pengantin yang lebih banyak merugi.
Bintari menegaskan, jika bukan karena terpacu tantangan sang suami, kemungkinan usahanya sekarang tidak bakal terwujud.
Sang suami menantang Bintari untuk mewujudkan mimpi, meski tak memiliki kemampuan lebih.
“Pokoknya semua saya anggap kebetulan karena dulunya kami jual frozen, terus karena ada swalayan yang berminat, tapi mereka minta kemasan bentuk kering. Ya modal nekat saja mencari ke sana kemari ketemu alat pengering khusus. Lalu, semua saya perbaiki untuk pemasaran saat itu benar-benar konvensional menawarkan dari satu toko ke toko lainnya,” kata Bintari.
Menurut Bintari, dari perjalanannya itu hal terberat dilalui semasa pandemi Covid-19.
Dari semula ia memiliki 30-an karyawan, kemudian menyusut menjadi 12 orang, dan terakhir hanya menjadi dua orang.
Bukan itu saja, saat kasus corona sedang tinggi-tingginya dirinya dan sejumlah karyawan juga terpapar Covid-19.
Setelah mendapatkan kesempatan kedua saat ini, Bintari menyampaikan, cita-citanya sekarang ingin menjembatani para pelaku UMKM lain yang mayoritas memiliki kemampuan produksi tetapi terkendala pada proses pemasaran.
Selain itu, selama Covid-19 dinilai menjadi pebisnis dengan menentukan pasar ritel kelas menengah dianggap lebih mampu bertahan, ketimbang skala besar seperti ekspor.
“Oleh karena itu target kami pada 2022 ini bisa bekerja sama dengan 170 toko atau swalayan di Indonesia. Dengan begitu, saya bisa memfasilitasi teman-teman UMKM lain karena menurut saya pandemi kemarin mereka yang model bisnisnya bergerak di ritel bisa bertahan ketimbang lainnya. Lalu, pangsa pasar Indonesia masih terbuka luas dan pertokoan daerah tingkat permintaan tinggi,” ucapnya.
Seperti keluarga
Bintari menyatakan, terhadap karyawan sejauh ini mereka diperlakukan layaknya keluarga sekaligus pemilik usaha.
Selain gaji sesuai UMR, para karyawan juga mendapatkan tempat tinggal sementara dan makan sehari tiga kali.
Dengan perlakuan itu, dia berharap, pekerja merasa tidak bekerja, tetapi selayaknya melakukan aktivitas rumah tangga.
Alumnus Jurusan Pariwisata SMA Tjendekia Puruhita Yogyakarta menyimpulkan, keberhasilannya sekarang berkat doa orang banyak, satu di antaranya pekerja.
Baca juga: Kisah Ibu Dewangga, Pemain Timnas Indonesia yang Tak Mau Nonton Anaknya Bertanding: Saya Tidak Kuat
Baca juga: Aturan Kependidikan Pemerintah Pusat dan Daerah Tak Sinkron, Ratusan Calon Kepsek Tak Bisa Diangkat
Oleh karena itu, dia selalu menganggap kegagalan demi kegagalan yang pernah dilewati semula adalah motivasi dan tantangan yang ada sejauh ini dianggapnya peluang yang musti bisa diwujudkan.
“Jadi sekarang buat saya tantangan bisnis itu artinya ada hal yang harus diselesaikan dan dikerjakan. Apabila ditarik kesimpulan, pada dasarnya semesta melalui orang-orang di sekeliling memberi saya kesempatan membuktikan.
Dengan begitu, apabila kita jatuh diri kita menjadi paham harus melakukan apa. Alhamdulillah meski kami masih terbilang usaha kecil di tahun 2021 ini berhasil meraih juara 1 kategori kuliner pada Festival Kreatif Indonesia Kemenparekraf, sebelumnya masuk 25 besar Food Start Up Indonesia 2020,” jelasnya. (*)