Abdul Kholik Tawarkan Arah Baru Perekonomian Jateng Berbasis Kawasan
Abdul Kholik menuturkan, ada urgensi pendekatan baru dalam membangun Jateng, khususnya di sektor ekonomi.
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: Daniel Ari Purnomo
Pertumbuhan ekonomi tidak terjadi di secara merata, melainkan di lokasi tertentu. Hal ini menimbulkan kesenjangan daerah yang 'njomplang'. Satu kawasan tumbuh pesat, kawasan lain loyo.
Pada konsep ini diharapkan pembangunan di wilayah pusat atau perkotaan memberikan stimulus dan menyeimbangkan daerah hinterland (satelit atau daerah sekitar perkotaan).
Namun demikian, faktanya tidak seperti yang diharapkan. Spread effect atau efek penyebaran ke daerah hinterland tidak terjadi. Yang terjadi justru backwash effect atau menguntungkan wilayah maju dan menekan kegiatan ekonomi di wilayah terbelakang.
"Melihat data, pertumbuhan ekonomi Jateng masih pola lama (growth pole). Dimana, ada satu kawasan pendorong utama yang diharapkan daerah sekitarnya bisa ikut terdongkrak. Namun faktanya, tidak terkait," kata Berly Martawardaya saat mengikuti FGD.
Hal itu, kata dia, terlihat dari peta kemiskinan di Jateng pada 2020 (dampak pandemi belum begitu parah). Idealnya, pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan setinggi-tingginya, harus pula ikut menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan atau kesenjangan, dan tingkat pengangguran.
Sejumlah daerah di Jateng berwarna hijau (angka kemiskinan di bawah nasional dan provinsi) antara lain Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Salatiga, Jepara, Kudus, Kota Pekalongan, Batang, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Sukoharjo, dan Solo.
Sementara, beberapa daerah berwarna merah (angka kemiskinan di atas nasional dan provinsi). Di antaranya, Brebes, Pemalang, Banyumas, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Purbalingga, Banjarnegara.
Kota Semarang sebagai kutub pertumbuhan 'menetes' di daerah sekitarnya semisal Kabupaten Semarang dan Salatiga. Namun tidak dengan Demak yang angka kemiskinannya masih di bawah nasional dan provinsi.
"Demak terjepit di antara daerah pusat pertumbuhan ekonomi dengan angka kemiskinan rendah. Demak di tengah-tengah Kota Semarang, Jepara, dan Kudus yang merupakan daerah hijau," ucap Berly yang juga dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI).
Daerah hijau paling banyak terdapat di Jateng bagian utara atau Pantura Jateng. Sementara, kabupaten/kota merah paling banyak ada di Jateng bagian selatan.
Ketimpangan antara daerah utara dan selatan Jateng satu faktornya yakni infrastruktur. Jalan tol Trans Jawa hanya melewati Jateng bagian utara. Karenanya, daerah hijau mayoritas dilewati jalan tol, kecuali Kudus dan Jepara yang merupakan daerah industri.
"Infrastruktur dan akses sangat penting. Dari Jogja-Cilacap waktu tempuhnya lebih lama dari pada Semarang-Jakarta. Apalagi dari Wonogiri-Cilacap yang menempuh waktu lebih dari 6 sampai 7 jam," terangnya.
Infrastruktur, kata dia, mendorong daerah selatan agar lebih baik. Jarak tempuh waktu yang singkat menjad poin penting penghubung daerah Jateng bagian selatan sehingga mampu tumbuh.
Berly menuturkan, pemerintah juga tidak bisa menerapkan konsep balance growth, dimana semua daerah memiliki pertumbuhan seimbang. Ini akan mengeluarkan banyak anggaran atau biaya. Hanya sejumlah negara saja yang menerapkan konsep ini, semisal Luksemburg dan Swiss.
Idealnya, di Jateng menerapkan konsep multiple growth pole. Daerah sebagai poros pertumbuhan (growth pole) ekonomi harus diperbanyak, terutama di Jateng bagian selatan.