Berita Semarang
Urus SIM hingga Jual Beli Tanah Harus Punya BPJS, Warga: Berat Hidup di Indonesia, Semua Dipaksakan
Dilanjutkannya, kebijakan yang dikeluarkan terkait BPJS Kesehatan seolah memaksa masyarakat agar ikut dalam jaminan sosial kesehatan
Penulis: budi susanto | Editor: muslimah
TRIBUNJATEN.COM, SEMARANG - "Kalau tidak punya BPJS Kesehatan lalu bagaimana," ucap Komari (30) warga Klaten, yang kini tinggal di Kota Semarang menanggapi kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan pemerintah terkait wajib memiliki BPJS Kesehatan untuk mendapatkan berbagai layanan.
Adapun kebijakan tersebut tertuang pada Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, yang langsung ditandatangani Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022 lalu.
Dalam Inpres tersebut, masyarakat diwajibkan memiliki kartu BPJS Kesehatan sebagai salah satu syarat jual beli tanah, pendaftaran umrah dan haji hingga mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM).
Celakanya tak semua masyarakat terdaftar sebagai perserta BPJS Kesehatan, termasuk Komari yang hanya sebagai pekerja paruh waktu pembuat roti dan kue di Kota Semarang.
Baca juga: Soal Azan dan Gonggongan Anjing, Gus Hayat Minta Menag Istigfar 1.000 Kali: Jenengan Tega-teganya
Baca juga: Desainer Kontroversial Arnold Putra Terseret Paket Organ Manusia, Tas Karyanya Sempat Bikin Gempar
Ia pun menanggapi kebijakan tersebut dengan ekspresi bingung, lantaran pemuda 30 tahun yang sudah menetap di Kota Semarang belasan tahun itu tak terdaftar dalam program jaminan sosial BPJS Kesehatan.
"Untungnya saya sudah punya SIM, tapi bingung juga kalau nanti masa berlaku SIM habis, karena saya tidak punya BPJS Kesehatan yang menjadi syarat membuat SIM," katanya, Kamis (24/2/2022).
Dilanjutkannya, kebijakan yang dikeluarkan terkait BPJS Kesehatan seolah memaksa masyarakat agar ikut dalam jaminan sosial kesehatan.
"Kesannya pemaksaan saja, kalau tidak ikut BPJS tapi ikut asuransi kesehatan lainnya apakah harus dipaksa ikut BPJS. Semakin kesini semakin tidak jelas," ucapnya dengan logat Jawa kental.
Komari bukan satu-satunya masyarakat yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.
Erik Prastyo (28) warga Ngaliyan Kota Semarang yang juga tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan menanggapi kebijakan tersebut secara pesimis.
"Yang BPJS Kesehatan dibayar perusahaan pastinya tidak akan protes, apalagi para ASN pastinya tenang-tenang saja. Kalau seperti saya yang bekerja serabutan kelabakan dengan adanya aturan tersebut," ucapnya.
Erik mengatakan jika menjadi peserta BPJS Kesehatan akan dipungut biaya setiap bulannya, dan untuk pekerja serabutan akan kebingungan saat diminta membayar iuran.
"Yang ada akan selalu telat membayar, dan terhitung hutang. Semakin berat saja hidup di Indonesia semua dipaksakan tanpa melihat kondisi warganya," imbuhnya. (*)