Wawancara Khusus
Ledekan dari Teman Motivasi Rustono Jadi Profesor
Sebagai anak guru, saya taat untuk belajar, nyaris tidak pernah menonton film.
Penulis: amanda rizqyana | Editor: rustam aji
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kerja keras tidak mengkhianati hasil. Barangkali hal itu juga tepat disematkan kepada Prof. Dr. Rustono, M. Hum, Rektor Universitas Ivet (Unisvet) Semarang.
Bagaimana tidak, berkat keuletannya belajar, dia berhasil mewujudkan cita-cita sebagai seorang pendidik.
Pria kelahiran Brebes, 27 Januari 1958 ini merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara.
Karena itu, tak mudah baginya untuk bisa menggapai pendidikan yang tinggi kalau tidak rajin belajar dan kerja keras.
Sebagai anak guru, Rustono sejak kecil dikenal rajin belajar. Selesai BA atau Diploma lanjut mendapat beasiswa S1.
Kemudian S2 dan S3 di Universitas Indonesia juga mendapat beasiswa. Ahli Bahasa Indonesia ini mengaku terinspirasi perkataan Daud Yusuf, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III Periode 1978-1988, yang mengatakan, 'Profesi di dunia ini hanya ada dua: satu guru dan yang kedua lain-lain.'
Berikut Wawancara dengan Prof. Dr. Rustono, M. Hum, Rektor Universitas Ivet (Unisvet) Semarang, yang dirangkum oleh wartawan Amanda Rizqyana, belum lama ini.
Bisa diceritakan masa kecil Anda?
Saya merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara. Tinggal diDesa Banjarlor, Kecamatan Banjarharjo, Kabupaten Brebes. Bapak seorang guru.
Sebagai anak guru, saya taat untuk belajar, nyaris tidak pernah menonton film. Lulus SD 1969, melanjutkan di SMP swasta di ibukota kecamatan hingga 1972.
Untuk berangkat dan pulang sekolah harus jalan kaki, jadi berangkat-pulang sekolah sering kehujanan.
Sebagai anak dari keluarga 'besar" ditambah keempat kakak masih sekolah di Yogyakarta.
Pendapatan bapak sebagai guru tidak pernah dinikmati oleh keluarga di rumah, melainkan langsung dikirimkan ke anak-anak yang tengah menempuh pendidikan di Yogyakarta.
Kebutuhan di rumah didapat dari hasil berjualan dan dari hasil kebun.
Bagaimana Anda melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi?
Saat saya lulus SMP nyaris tidak bisa lanjut karena keempat kakak belum selesai pendidikan dan tidak ada biaya sama sekali, sehingga selama setahun saya istirahat tidak sekolah.
Terpaksa harus berhenti setahun dulu sebelum kemudian melanjutkan ke SMANegeri 1 Brebes.
Meskipun setahun tidak sekolah, alhamdulillah saya tes masuk SMA Negeri 1 Brebes langsung lolos, langsung diterima.
Tahun 1976 lulus dan mendapat beasiswa. Lalu melanjutkan ke Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) di Semarang.
Alasannya memilih IKIP karena pengaruh orang tua dan cita-cita ingin menjadi guru.
Saya teringat pesan Pak Daud Yusuf, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III Periode 1978-1988 yang mengatakan, 'Profesi di dunia ini hanya ada dua: satu guru dan yang kedua lain-lain.'
Setelah memilih perguruan tinggi, saya memilih program studi Bahasa Indonesia IKIP Semarang karena pernah di tulisan rapor, entah di SD atau SMP, sang guru menilai ia memiliki bakat di bidang bahasa.
Meskipun Bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional, ternyata Bahasa Indonesia lebih sulit dibanding Bahasa Inggris.
Akhirnya ia memilih Program Studi Bahasa Indonesia.
Tepat waktu dalam tiga tahun lulus. Usai menyandang gelar Bachelor of Art (BA), diminta pulang ke Brebes dan menjadi guru.
Namun, karena ingin melanjutkan pendidikan hingga sarjana, akhirnya memilih bertahan di Semarang. Ia pun mengajar di SMK Teuku Umar Jatingaleh sembari kuliah S1.
Masa studi S1 selesai dalam tempo 1,5 tahun dan dinyatakan sebagai lulusan termuda dan tercepat, dan menjadi wisudawan terbaik dan cumlaude.
Lalu mengajar di almamater. Tahun 1982 kemudian mengurus pendaftaran dosen di IKIP Semarang, tahun 1983 Surat Keputusan (SK) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) keluar.
Setelah 10 tahun mengajar, saya melanjutkan S2 di Universitas Indonesia dan lulus 1994.
Selanjutnya ditawari S3 di Universitas Indonesia, masuk tahun 1995 lulus 1998 dan mendapatkan beasiswa.
Masa studi doktor yang biasanya hingga 8 tahun baru lulus, saya lulus setelah 7 semester.
Selepas menyelesaikan pendidikan doktoral, ia kembali bekerja menjadi dosen. Tiga tahun kemudian ia dikukuhkan menjadi profesor pada 2001.
Saya teringat ketika sekolah, beberapa kawan mengejek karena dinilai terlalu serius belajar dan menghabiskan waktu untuk belajar.
Ledekan kawan-kawannya kala itu, 'Besok mau jadi profesor, belajar terus.' Ternyata ledekan tersebut merupakan doa dari kawan-kawannya.
Pernah menjabat sebagai Wakil Dekan dan Dekan 2 periode Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang (Unnes), Direktur Pascasarjana Unnes, dan Wakil Rektor Unnes.
Lalu bagaimana Anda bisa jadi Rektor Unisvet?
Setelah memasuki usia 60 tahun, jabatan resmi harus usai. Sempat berhenti sebentar, ternyata ada perguruan tinggi yang mengajaknya bergabung.
Alhamdulillah saya menjadi rektor dan ini tahun ketiga.
Sebagai Rektor Unisvet, saya pertama datang saat sudah berubah status menjadi universitas.
Sebelumnya merupakan IKIP Veteran dan Akademi Teknik Perkapalan Veteran, dan dimiliki yayasan yang sama, kemudian digabung menjadi satu.
Saya selesai WR 1, kemudian langsung ke situ (Unisvet). Pertama kali memang perlu ada yang harus dimajukan, dan ternyata sekarang kemajuan lebih pesat karena sekarang saya lihat respon positif baik sekali baik di Jawa Tengah dan Jakarta.
Program studi apa yang paling diminati di Unisvet?
Saat ini, peminat terbanyak di Unisvet ialah Prodi Pendidikan Guru Anak Usia Dini (PGPAUD) karena 1 rombongan belajar (rombel) hingga 400 mahasiswa.
Tingginya peminat PGPAUD karena kebutuhan lebih besar dibanding tingkat pendidikan lainnya.
Melihat tingginya peminat, Unisvet berikan beasiswa bagi mahasiswa PGPAUD langsung dari Jakarta.
Terakhir, terkait keahlian sebagai Guru Besar Bahasa Indonesia, apa hasil temuan Anda?
Terkait berbahasa, ada hal yang selalu menarik, yakni eksplikatur dan implikatur politikus Indonesia dalam menghadapi pandemi covid-19.
Eksplikatur merupakan sesuatu yang disampaikan secara lugas, namun implikatur merupakan sesuatu yang tersembunyi.
Berdasarkan penelitian, bahwa politikus di Indonesia ternyata menyampaikan banyak hal yang tersembunyi.
Maka dari itu, bila menangkap tuturan politikus, jangan dipercaya dulu, tunggu satu pekan lagi.
Pasalnya, bila langsung mempercayai ucapan politikus, masyarakat awam akan keliru memahami karena para politikus mengatakan hal yang implisit.
Bila politikus menyampaikan sesuatu secara eksplisit akan ditagih dan tidak bisa menjawab, dan yang menangkap pembicaraan akan bingung sendiri.
Karena itu saya berpesan pada para politikus agar menguasai ilmu yang ia miliki yakni ilmu pragmatik. (arh)