OPINI
OPINI Nurist Ulfa: Pentingnya Komunikasi Lingkungan Hidup Partisipasif Dalam Tangani Bencana Air Rob
Krisis lingkungan hidup dan beragam persoalan sosial budaya yang terjadi akibat banjir rob di Semarang dan sekitarnya beberapa waktu belakang ini
Oleh: Nurist Ulfa
Dosen Komunikasi Strategis, Departemen Ilmu Komunikasi, UNDIP
TRIBUNJATENG.COM -- Krisis lingkungan hidup dan beragam persoalan sosial budaya yang terjadi akibat banjir rob di Semarang dan sekitarnya beberapa waktu belakang menyita perhatian masyarakat.
Hal ini semakin menimbulkan keprihatinan, seiring dipublikasikannya data terbaru pada April 2022 bahwa Kota Semarang berada di peringkat kedua sebagai kota yang paling cepat tenggelam karena cepatnya penurunan permukaan tanah setiap tahunnya (Data InSAR, 2022).
Tentu saja, bagi sebagian besar warga di pesisir Pantura, hal tersebut tidak terlalu mengejutkan. Beberapa tahun terakhir, kecenderungan ini sudah mulai jadi bagian rutinitas warga yang tinggal dan beraktifitas di kawasan pesisir Semarang, Kendal, dan Demak.
Bukan hanya frekuensi banjir rob yang semakin intens setiap bulannya, beberapa desa di Demak dan Pekalongan sudah tenggelam.
Berbagai analisis ilmiah menyebutkan, bencana ini tidak bisa dihindari, terutama seiring minimnya konservasi kawasan pesisir Pantura, kenaikan suhu bumi dan dampaknya terhadap kenaikan permukaan laut beberapa tahun terakhir ini (Nugroho, 2013).
Sampai saat ini pemerintah provinsi Jawa Tengah terus mengupayakan berbagai solusi strategis untuk mitigasi bencana rob tersebut.
Terlepas dari beragam kritisme, beberapa proyek terkait penanganan banjir dan rob sudah berjalan, misalnya dengan pembangunan tol dan tanggul laut semarang demak (Boskam dkk 2020).
Namun beragam upaya yang telah dilakukan, masih menghasilkan tingkat resiliensi medium dalam menghadapi krisis rob (Erlani dan Nugarhanika 2019).
Sedangkan perluasan dan intensifikasi banjir rob setahun terakhir ini menekankan bahwa masyarakat Semarang secara nyata berkejaran dengan waktu untuk menyelamatkan wilayah pesisir pantai.
Simulasi di situs climatecentral.org menunjukkan prediksi yang patut kita khawatirkan. Misalnya, dengan penambahan suhu bumi dua derajat saja dalam sepuluh tahun ke depan, sebagian besar wilayah pesisir Semarang bisa tenggelam.
Prediksi memprihatinkan ini menekankan pentingnya terobosan metode baru, yang kreatif dan kolaboratif dari semua elemen masyarakat dalam upaya antisipasi dan mitigasi krisis lingkungan akibat perubahan iklim global, terutama di wilayah Semarang.
Hal terpenting dalam proses ini adalah mengupayakan keterlibatan aktif, bukan hanya dari stakeholder terkait, tetapi juga dari masyarakat terdampak dan publik luas, pada upaya identifikasi masalah, perencanaan dan pelaksanaan program.
Karena bagaimanapun, kebijakan tentang lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan, pada akhirnya akan dibentuk oleh tindakan dan langkah strategis masyarakat dan komunitas lokal (Smith 2019).

Komunikasi Lingkungan Hidup Partisipasif
Dalam rangka meningkatkan keterlibatan stakeholders dan masyarakat luas pada program mitigasi krisis lingkungan hidup terkait banjir rob di Semarang, perlu diimplementasikan komunikasi lingkungan hidup yang partisipatif.
Di mana tujuannya adalah membangun partisipasi masyarakat lewat komunikasi lingkungan hidup yang strategis dan efektif.
Komunikasi lingkungan ini merupakan upaya untuk membicarakan, mempelajari dan menyebarkan informasi dan pengetahuan tentang lingkungan hidup dari beragam sumber ilmu, baik berbasis ilmiah maupun kebijaksanaan lokal (Harris 2019).
Beberapa penelitian menunjukkan komunikasi lingkungan hidup yang efektif, tidak hanya mampu meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan penanganan masalah lingkungan (Harris 2018), namun juga bisa meningkatkan inisiatif masyarakat dalam proses perumusan solusi (Brulle 2010).
Proses komunikasi lingkungan tersebut, idealnya harus bisa memfasilitasi kolaborasi, dialog, dan pemecahan masalah yang saling menguntungkan berbagai pihak yang terlibat.
Selain itu, masyarakat juga bisa mendapatkan pemahaman kritis tentang program-program pemerintah dan berbagai metode alternatif yang bisa diupayakan untuk pemecahan masalah lingkungan hidup secara praktis (Kheerajit and Flor, 2013).
Namun sayangnya, pelaksanaan komunikasi lingkungan hidup di Indonesia bisa dikatakan masih rendah dan kurang partisipasif.
Dalam prakteknya, model komunikasi lingkungan top down seperti yang selama ini banyak dilakukan di Indonesia masih bersifat elitis (Apresian 2021, Nastiti dan Riyanto, 2022) dan cenderung media sentris (Arietya 2020).
Sehingga seringkali hanya memproduksi pemahaman yang parsial, dangkal dan tidak mampu mengungkap masalah yang dihadapi oleh masyarakat terdampak secara lebih mendalam.
Memang telah disebutkan dalam literatur bahwa keterlibatan masyarakat dalam komunikasi lingkungan di ruang publik bergantung pada kekuatan/modal ekonomi, politik dan budaya (Hansen 2015).
Misalnya, terkait bencana banjir rob di Semarang, data yang dihimpun oleh Koalisi Pesisir Semarang Demak (Bosman dkk, 2020) menemukan bahwa pandangan dan ide masyarakat awam terkait krisis lingkungan hidup seringkali hanya berakhir di jagongan antarwarga di pasar atau obrolan antartetangga saja.
Sementara, pemahaman terhadap pandangan dan pengalaman masyarakat terdampak tersebut penting, tidak hanya untuk memunculkan diskusi tentang kasus-kasus khusus dan keterkaitannya dengan berbagai isu sosial politik ekonomi secara luas, tetapi juga menjadi input (masukan) berharga bagi gerakan aktivisme sosial yang memihak kepentingan masyarakat terdampak.
Selain itu, isu-isu lingkungan yang muncul di media saat ini hanya mengedepankan narasi dominan, yang seringkali hanya berupa publikasi program hubungan masyarakat dan kepentingan komersial lainnya.
Komunikasi lingkungan hidup idealnya bersifat transformatif, yang mana tidak lagi sekedar kampanye top-down yang berfokus untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang masalah lingkungan, tetapi juga bisa memunculkan identifikasi masalah dan alternatif solusi yang kontekstual dan realistis pada lokalitas tertentu.
Misalnya, penting kiranya untuk mengetahui berbagai bentuk proses adaptasi masyarakat terhadap rob dan apa saja alternatif solusi untuk penanganan rob berdasarkan hasil hasil penelitian terbaru, misalnya temuan yang menekankan pentingnya meningkatkan kawasan konservasi mangrove (Sidik dkk 2018), atau program pemberdayaan partisipasif lainnya yang bisa dilakukan secara mandiri oleh masyarakat setempat (Reizakapuni dan rahdriawan 2014).
Komunikasi tema tema tersebut penting untuk membuka dialog tentang alternatif kebijakan pemerintah ataupun untuk membangun aktivisme sosial berorientasi solusi praktis yang bisa secara mandiri diupayakan secara partisipatif dan kolektif oleh masyarakat Semarang dan sekitarnya.
Begitupun komunikasi tentang faktor penyebab kegagalan program sebelumnya, misalnya gagalnya ide konservasi mangrove di Indonesia sebelumnya yang ternyata disebabkan karena kurangnya transfer pengetahuan dan minimnya perubahan politik di level akar rumput (Dharmawan, Bocher and Krott 2016).
Pemahaman kontekstual tersebut penting untuk mengupayakan gerakan pemberdayaan masyakat yang tepat sasaran dalam mitigasi bencana rob.

Optimalisasi Platform Komunikasi Digital dan Non-Digital
Komunikasi lingkungan hidup partisipatif menekankan pentingnya keterlibatan anggota masyarakat untuk mengkomunikasi masalah lingkungan dan membahas solusinya (Harris 2020).
Pendekatan ini juga memungkinkan masyarakat untuk membagi pengalaman dan pengetahuan tentang isu isu lingkungan yang sesuai dengan perspektif personal dan konteks lokal mereka.
Terlebih lagi, saat ini beragam platfom media memungkinkan terbangunnya partisipasi dalam komunikasi lingkungan hidup, terutama media sosial. Beberapa penelitian menunjukkan media sosial berhasil meningkatkan partisipasi lingkungan hidup masyarakat (Harris 2018, Brulle 2010).
Dalam prakteknya, meskipun masyarakat Semarang telah familiar menggunakan Instagram, Tiktok, Facebook dan Youtube, namun pendayagunaan media sosial tersebut masih belum optimal untuk komunikasi bencana rob Semarang.
Misalnya, masih minimnya penggunaan hashtag #bencanarobsemarang, #robsemarang, #banjirsemarang untuk membagi informasi dan pengalaman pribadi terkait rob Semarang. Oleh karena itu, yang perlu ditingkatkan adalah pemberdayaan media sosial untuk komunikasi lingkungan hidup partisipasif terkait rob.
Namun, tentu saja media tradisional masih sangat signifikan untuk membangun komunikasi lingkungan hidup partisipasif. Misalnya, riset menemukan pentingnya peran Majelis Ta’lim, kelompok arisan PKK dan kelompok pertanian (Bakti dkk, 2017) dalam program mitigasi bencana partisipasif.
Selain itu, pesan-pesan pelestarian dan penanganan lingkungan hidup bisa disebarkan dengan mengedepankan aspek lokalitas. Begitupun peran serta kelompok-kelompok agama dan kepercayaan yang bergabung dengan aktivis lain untuk menciptakan koalisi kampanye lingkungan yang kuat dan beragam (Smith 2019)
Pentingnya Komunitas Aktivisme Lingkungan Hidup
Survey yang kami lakukan kepada 114 milenial usia 19 sampai 22 tahun di Semarang (Widagdo, Luqman dan Ulfa 2022), menemukan bahwa pada umumnya kepedulian anak muda terhadap isu rob dan banjir Semarang cukup tinggi.
Sebagian besar juga menunjukkan minat yang tinggi untuk berperan aktif dalam kegiatan persuasi kepedulian lingkungan hidup. Dari survei yang sama, kami mengidentifkasi tantangan yang seringkali dihadapi untuk partisipasi aktif dalam kegiatan peduli lingkungan tersebut adalah rendahnya inisiatif dan pemahaman tentang bagaimana teknis pelaksanaannya. Kendala ini menunjukkan pentingnya komunitas lingkungan hidup yang bisa mewadahi gerakan aktivisme kepedulian anak muda terkait banjir rob.
Secara umum, komunitas lingungan hidup, baik yang bersifat formal mapun informal, telah banyak bermunculan berbagai wilayah di Indonesia sejak beberapa waktu terakhir. Komunitas tersebut semakin menjamur seiring dengan tingginya terpaan isu lingkungan di media dan banyaknya aktivisme lingkungan hidup di media social.
Namun, komunitas tersebut seringkali terbentuk di masyarakat urban dan lebih berfokus untuk menggerakan perubahan perilaku konsumsi pribadi (Nastiti dan Riyanto 2022), seperti penggunaan kantong sampah ramah lingkungan, pembelian produk ramah lingkungan dan pengelolaan sampah. Sedangkan komunitas atau koalisi yang berfokus untuk gerakan sosial penanganan rob pantura, semacam koalisi pesisir Semarang-Demak, masih terbatas dan perlu ditingkatkan.
Keberadaan komunitas lingkungan hidup bersifat penting, terutama terkait dengan aspek pemberdayaan, yang mana komunitas mendorong, memberikan panduan dan arahan dalam partisipasi angotanya untuk secara strategis mencapai tujuan yang terarah dengan pelaksanaan program yang lebih kolaboratif.
Selain itu, komunitas penting untuk capacity-building, dengan meningkatkan kapasitas dan kompetensi teknis maupun non-teknis anggota komunitas untuk partisipasi aktif dalam program komunikasi lingkungan hidup. (*)
Baca juga: Aksi Pencurian Motor Modus Dituntun Kembali Terjadi di Semarang, Kemarin Gagal Sekarang Berhasil
Baca juga: Kondisi Terkini Marshanda yang Sempat Dikabarkan Menghilang, Ga Boleh Ada yang Menjenguk
Baca juga: Chord Kunci Gitar Mbok Yo Sing Full Senyum Sayang, Full Senyum Evan Loss
Baca juga: Viral Penampakan Makhluk Diduga Putri Duyung di Laut Latulahat Ambon