Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Purbalingga

Pegiat Seni Kie Art Purbalingga Ajak Generasi Muda Napak Tilas Kesenian Jawa Purba

Generasi muda saat ini seakan larut dalam perkembangan jaman dan teknologi.

Kie Art Purbalingga
Pegiat Seni Kie Art, di Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga saat menggelar Napak tilas Kesenian Jawa Purba, Rabu (24/8/2022). Terlihat para warga desa mengarak sesaji dan tumpeng. 

TRIBUNJATENG.COM, PURBALINGGA -Generasi muda saat ini seakan larut dalam perkembangan jaman dan teknologi.

Hal itu membuat banyak dari generasi gen Z ataupun milenial lupa akan budaya dan tradisi.

Perlu adanya upaya memberikan pemahaman agar para pemuda mampu merefleksikan makna budaya.

Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh para seniman yang tergabung dalam Pegiat Seni Kie Art, Desa Sidareja, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga.

Masih dalam rangkaian HUT ke-77 Kemerdekaan RI, mereka menggelar acara yang bertajuk 'Napak tilas Kesenian Jawa Purba', Rabu (24/8/2022).

Ketua pelaksana Napak Tilas, Nurcholis Wijianto mengatakan acara berlangsung dengan khidmad.

Tidak hanya melibatkan pelakon seni, ada juga warga di 21 RT ikut menampilkan versi terbaik dari tumpengnya.

Tumpeng tersebut ikut diarak dalam napak tilas.

Napak tilas tersebut mengunjungi tiga tempat.

Pertama adalah Petilasan Watu Peninisan.

Petilasan itu mempunyai cerita legenda Desa Sidareja dengan adanya tokoh bernama Kayu Wayang Raja Ingas.

Beliau dipercaya adalah seorang sosok yang sering melakukan 'Hening' diatas batu punden didekat sebuah sungai peninisan.

Batu Punden itu kini masih ada di pinggiran sungai dengan bentuknya yang seperti meja altar.

Tempat kedua 'Petilasan Watu Jaran' yang merupakan petilasan dari Raden Sukma
Wijaya.

Ia adalah salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang saat itu kalah dalam peperangan dan beliau bersembunyi di Desa Sidareja.

Dalam persembunyiannya ia kemudian  melakukan 'Hening' di atas batu bersoleh.

Selama bertapa Jaran atau Kuda yang ditungganginya ini selalu ada disisinya dengan menempatkan tali pengendalinya di sebuah batu yang saat ini dikenal dengan watu Jaran.

Tidak hanya sosoknya yang dikatakan sakti tetapi kudanyapun dipercaya juga memiliki kesaktian.

Hal ini dibuktikan oleh seorang lurah yang berkuasa 39 tahun lamanya dan selalu menang dalam pertandingan kuda di kota Purbalingga .

Tempat yang ketiga adalah Makom Kyai Mbah Hasan Toyib.

Makam itu merupakan makam tokoh Islami yang melakukan penyebar islam pertama kali di desa ini.

Dalam Napak Tilas warga juga menyuguhkan berbagai macam makanan yang jarang dijumpai.

Makanan jadul ditampilkan kembali seperti cingkokah, pelas tawon (pelas lebah), nasi jagung ikut menghiasi tumpeng.

"Tumpeng dalam filosofis jawa artinya an 'tumapaking panguripan–tumindak lempeng-tumuju pangeran'

Dalam artian 'tertatanya hidup, berjalan lurus kepada Tuhan' dengan simbolis nasi mengerucut keatas," ujarnya kepada Tribunbanyumas.com, dalam rilis Kamis (25/8/2022).

Warga sekitar juga berdandan unik.

Ada kurang lebih 350 orang warga berpakaian adat dan ikut menghiasai arak-arakan.

Mereka sendiri ada dari pemuda, tukang nderes, sinden, petani lancingan, ibu-ibu dengan perlengkapannya ke kebon.

Pengunjungnya datang dari berbagai wilayah seperti dari Purbalingga, Semarang, Purwokerto, Jakarta dan Bandung.

Para pengunjung juga mengenakan pakaian jawa sesuai dengan arahan panitia.

Cara tersebut dilakukan sebagai upaya menarik wisatawan domestik dan luar mengenal tradisi dan budaya Jawa Purba.

Gita Thomdean Selaku wakil ketua panitia dan konseptor mengharapkan agar acara seperti itu  menjadi satu event tahunan di Purbalingga.

Menurutnya event tersebut dapat menjadi titik awal kebangkitan seni dan budaya Desa Sidareja Purbalingga.

Hal itu terlepas dari keterbatasan bahwa Desa masih masuk dalam zona kuning perekonomian.

Namun demikian dengan adanya event ini sejumlah warung-warung warga menjadi laris karena banyaknya pengunjung.

"90 persen jualan mereka habis

Kurang lebih ada  21 warung di desa setempat," ungkapnya.

Acara Napak tilas diakhiri dengan Tarian Kolosal Kemenangan Jawa Purba Oleh Gianta Arum.

Pemandangan pedesaan yang elok nan sejuk dan beberapa sudut desa menjadi berbeda dengan kain putih yang menghiasi kanan dan kiri jalan.

Bahkan pohon-pohon juga terbalutkan dengan kain putih.

Warna putih melekat dengan makna kebersihan, kesucian, kepolosan, keluguan, kejujuran, pemaaf, cinta dan terang.

Team artistik pada Malam Kesenian Jawa Purba, Slamet Santosa memaparkan konsep pertunjukkan malam kesenian dibuat diawal dengan sangat dramatis.

Hal ini karena ingin memberikan kesakralan pada penampilan Tari Ujungan.

Tari ujungan punya nilai historis dalam lahirnya Desa Sidareja sehingga permainan lighting dan lantunan lagu 'Amiwiti Pagelaran Kesenian Jawa Purba” oleh para tetua desa pun menjadi sangat sakral.

Selain itu penampilan dihiasi dengan geguritan, tari ebeg tunggal kreasi, tari baladewa dan masih banyak lagi .

Selain itu juga terlihat bersatunya 3 Kelompok seni Kuda Kepang untuk pertama kalinya setelah sekian puluh tahun.

Sebuah persatuan yang indah dengan tampilan yang juga unik.

Selain melakukan atraksi ebeg juga diperkenalkan juga atraksi putri putrian.

Harapannya dari seluruh masyarakat desa dan juga pelakon seni, bahwasannya Desa ini
akan menjadi Desa Seni Budaya yang kuat papar.(jti)

Baca juga: Polisi Selidiki Pencurian di Gedung DPRD Pati, Sejumlah Saksi Diperiksa

Baca juga: Pasutri Tewas Terlindas Truk di Kaligawe Semarang, Tinggalkan Keranjang Belanja Penuh Sate

Baca juga: Jadi Miliarder Setelah Terima Ganti Rugi Tol Yogyakarta-Solo, Mbah Amat Besok Berangkat Umroh

Baca juga: Ferdy Sambo Disebut Kurang Pengalaman, Diduga Ada Master Mind Kerajaan Sambo di Polri

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved