Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Keluh Perajin Tempe di Semarang Tak Dapat Subsidi, Beli Kedelai Rp 13.200 Per Kilogram

Harga kedelai impor sebagai bahan baku pembuatan tempe ataupun tahu yang masih tinggi sampai saat ini membuat pengrajin kalang kabut.

Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: m nur huda
Tribun Jateng/Idayatul Rohmah
Perajin tempe di Lamper Tengah Semarang tampak menunjukkan tempe di tempat produksinya, kemarin. Ketebalan tempe berkurang hingga 50 persen sebagai siasat tingginya harga kedelai saat ini. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Harga kedelai impor sebagai bahan baku pembuatan tempe ataupun tahu yang masih tinggi sampai saat ini membuat pengrajin kalang kabut.


Pasalnya, tingginya harga itu membuat keuntungan makin berkurang. Sedangkan upaya untuk menyiasati tingginya harga juga makin sulit dilakukan.


Di antaranya diakui Hadi Purnomo, pengrajin tempe di Kampung Tahu Tempe, Lamper Tengah Semarang.


Tingginya harga saat ini membuatnya makin sulit untuk melakukan antisipasi. Adapun yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah memperkecil ukuran tempe.

 

"Harga semakin naik. Siasatnya masih perkecil ukuran tempe.


Seperti tempe di plastik ini, dulu (sebelum ada kenaikan harga) ketebalannya hampir dua kali lipat dari ini," kata Hadi ditemui tribunjateng.com, Rabu (12/1/2023).


Dijelaskan Hadi lebih lanjut, memang, memperkecil ukuran tempe saat ini masih menjadi siasatnya dan para pengrajin di kawasan itu.


Sebab, kata dia, apabila memilih menaikkan harga, dimungkinkan akan memicu protes pembeli dan bisa-bisa pembeli akan beralih ke pengrajin yang menawarkan harga lebih murah.


Sedangkan, rata-rata pengrajin sebelumnya telah memiliki langganan  pembeli.


"Kalau tempe, harganya harus kompak. Kalau dinaikkan, misal Rp 1.000, konsumen tidak mau.


Pengrajin kan juga sudah punya langganan pesanan. Misalnya saya, ini saya pasok ke Pasar Peterongan," terangnya.


Harap Subsidi Merata dan Dipermudah


Hadi menyatakan, kedelai impor saat ini ia peroleh dengan harga Rp 13.200 per kilogram.


Menurutnya, harga itu hampir dua kali lipat dari harga awal sekitar tahun 2020 lalu yang pada kisaran Rp 8.000 per kilogram.


"Akhir tahun kemarin malah sampai Rp Rp 15.000 per kilogram. Sekarang turun jadi Rp 13.200 per kilogram, tapi masih tinggi," sebutnya.


Tingginya harga ini juga membuat produksi tempe di tempatnya menurun. Yakni dari 60 kilogram per hari menjadi sekitar 55 kilogram per hari.


Hadi lebih lanjut mengaku bahwa dirinya tak mendapatkan subsidi harga kedelai.


Menurutnya, tak diperolehnya subsidi selisih harga ini karena toko langganannya enggan mengajukan sebab rumitnya persyaratan administrasi.


Akhirnya, dia dan sejumlah pengrajin lain yang berlangganan pun mau tak mau membeli dengan harga normal.


"Jadi ada yang dapat subsidi, ada yang tidak.


Kalau toko langganan saya tidak melayani pengajuan (subsidi), karena persyaratannya susah. Kalau mau cari langganan ke toko lain yang ada layanan subsidinya ya tidak bisa, karena langganannya sudah di situ," ungkapnya.


Sementara itu, Hadi berharap penyaluran subsidi berupa selisih harga kedelai ini dapat merata ke seluruh pengrajin tempe dan tahu.


Sebab, tingginya harga kedelai sendiri telah dirasa sangat memberatkan para pengrajin.


"Harapannya subsidi merata, bisa langsung ke tiap pengrajin.


Pengrajin kan juga sudah punya surat (izin) usaha UMKM itu," imbuhnya. (idy)

 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved