Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Kudus

Diskusi Tapangeli KBPW, Folklore Bisa Jadi Kearifan untuk Menjaga Lingkungan

Kearifan lokal dan tradisi tutur harus dijaga supaya tercipta keseimbangan.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: sujarwo
Tribun Jateng/Rezanda Akbar D
Riset Folklore Muria Diskusi Tapangeli di Kampung Budaya Piji Wetan Kudus bertema "Rasan, Reksa, Resan". 

TRIBUNMURIA.COM, KUDUS - Kearifan lokal dan tradisi tutur yang telah ada harus dijaga supaya tercipta keseimbangan antara kepentingan sosial, budaya dan lingkungan. 

Penguatan pendidikan mitigasi bencana, kepekaan generasi muda terhadap sekitarnya pun bisa ditularkan melalui pendekatan berbasis budaya, utamanya folklore.

Selain upaya kultural, penjagaan lingkungan juga membutuhkan pendekatan struktural. 

Kesadaran lingkungan hanya akan muncul ketika ada komunikasi aktif antar pemangku kebijakan.

Hal itu mengemuka dalam acara Riset Folklore Muria Diskusi Tapangeli di Kampung Budaya Piji Wetan Kudus.

Bertema "Rasan, Reksa, Resan" berlangsung cukup gayeng dengan obrolan yang saling bersahutan antara narasumber dan peserta. 

Awalnya, pendiri Kampoeng Agroedukasi Muria, Muhammad Nurul Hakim, memantik diskusi malam itu dengan keresahan akan mulai hilangnya beberapa Resan (pohon-pohon besar) yang dalam kultur jawa sering disebut Bregat.

Camat Jekulo, Agus Susanto memaparkan beberapa klu terkait pendekatan struktural dan kultural dalam menjaga ekologi lingkungan. 

Dia yang juga sebagai pemerhati sejarah dan budaya itu, mengatakan banyak perubahan sosial masyarakat yang menyebabkan perubahan perilaku masyarakat. 

Sehingga masyarakat lupa untuk hidup berdampingan dengan alam.

Riset Folklore Muria Diskusi Tapangeli di Kampung Budaya Piji Wetan Kudus bertema
Riset Folklore Muria Diskusi Tapangeli di Kampung Budaya Piji Wetan Kudus bertema "Rasan, Reksa, Resan". (Tribun Jateng/Rezanda Akbar D)

"Peradaban Muria dulu itu maju, banyak sumber daya yang perlu dijaga, bahkan sampai terkenal ke Eropa. Pendekatan struktural dan kultural ini penting untuk mengembalikan kondisi Muria seperti semula," katanya, dikutip pada Senin (23/1/2023).

Seperti bencana alam yang seringkali terjadi di Kudus, itu karena komunikasi antar pemangku kebijakan belum singkron.

"Misal kerusakan hutan di Pemda, lalu sudah menemu solusi misalnya, itu kalau tidak ada orang Perhutani tetap akan sia-sia. Begitu juga banjir, karena semua sungai yang ada itu kewenangannya pada pemerintah pusat," katanya.

Selanjutnya, Direktur Muria Research Center Indonesia, Mochamad Widjanarko mengamati daerah-daerah di Kabupaten Kudus yang rawan bencana alam. 

Oleh karena itu, pihaknya sangat mendorong kepada masyarakat setempat untuk menumbuhkan kesadaran mitigasi bencana berbasis kearifan lokal.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved