Opini
Opini Kamerad Kanjeng: Orang Nusantara Berpuasa
Opini Ditulis Oleh Kamerad Kanjeng (Penulis, Aktor, Aktivis, pemenang penghargaan Penulisan Sastra ASEAN 2019 di Malaysia)
Opini Ditulis Oleh Kamerad Kanjeng (Penulis, Aktor, Aktivis, pemenang penghargaan Penulisan Sastra ASEAN 2019 di Malaysia)
TRIBUNJATENG.COM - BULAN Ramadan disambut dengan penuh kegairahan. Tak hanya oleh umat Islam tapi juga oleh orang Nusantara. Sebelum Islam datang Orang Nusantara sudah memiliki budaya berbagai macam puasa.Ngrowot( tidak makan selainpala kapendematau ubi-ubian );Mutih( tidak makan apa pun kecuali sekepal nasi putih dan air putih sehari );Ngebleng( tidak makan apa jua pun ). Puasa dalam budaya Nusantara biasa nya menjadi satu komponen dari satu metoda bertapa untuk meningkatkan kwalitas manusia. Metoda orang Nusantara bermacam macam.Mutih3 hari menjelang Weton ( hari lahir ).Mutih37 hari dilanjutkanNgebleng3 hari denganPati Geni( hidup tanpa api ) serta ditutup denganKungkum( meditasi dalam air laut, sungai atau mata air ). Dst. Islam datang ke Nusantara menambah satu metoda lagi, puasa Ramadan.
Sepuluh hari pertama puasa, ketika alam semesta menggerakkan hormon-hormon dalam tubuh untuk memproduksi asam lambung pada jam-jam biasanya makan. Tapi tak ada makanan yang masuk ke dalam lambung. Maka lambung terasa perih. Tak ada makanan untuk diubah menjadi tenaga, badan menjadi lemah kurang tenaga. Suplai tenaga ke otak juga menurun, mata terasa ngantuk. Frekwensi otak melemah dari Beta ( 12-30 Hz ) ke alpha ( 8-12 Hz ) ke Theta ( 4-7 Hz ) puasa 10 hari pertama membiasakan otak pada frekwensi rendah. Frekwensi ideal yang dibutuhkan orang dalam bersamadi ( meditasi ). Sepuluh hari pertama membawa orang dalam kondisi meditative.
Maka orang Nusantara cenderung berbuka ala kadarnya. Agar kondisi meditative itu bisa dibawa dalam sholat taraweeh. Orang nusantara menikmati berbisik pada Tuhan dalam doa-doa sholat yang penuh kemesraan. Membisikkan sholawat padaKanjengNabi Muhammad, wleluhur yang telah afat pada abad ke7 M, dengan meninggalkan metoda ini. Jasadnya memang telah hancur kembali menyatu dengan tanah. Tapi ruhnya tetap hidup. Ruh hanya bisa jumpa dengan ruh. Bagi orang Nusantara dalam kondisi meditative 10 hari puasa, ia meleburkan raganya pada ruhnya sendiri. ia menjadi mengerti sendiri, melihat sendiri dan merasakan sendiri bahwa raga yang kemauannya tanpa batas itu ternyata lemah. tapir uh, kekatannya tanpa batas. Begitu jatah makannya dikurangi raga langsung lemas. Tapi ruh tidak butuh makanan yang harus dibeli dengan uang. sehingga dalam doa-doa sholat taraweeh ruhnya berbisik pada ruh Muhammad dalam setiap sholawatnya. Karena hanya ruh yang bisa berjumpa dengan ruh. Dan ruhnya berbisik pada Tuhan meminta ampunan. Karena hanya ruh yang bisa berbisik pada Tuhan.
Dalam rangkaian ibadah ramadan orang Nusantara menutup malam dengan shalat witir. Lalu mematikan raganya dalam tidur. Tapi ruhnya tetap jaga. Mengembara dalam mimpi kultivatif sebelum kembali memasuki raganya. Mengantarkan raga untuk makan sahur. Orang Nusantara tidak akan membiarkan raganya makan berlebihan saat sahur. Agar sang raga tetap terjaga dalam kondisi meditative. Ruh yang berhasil mengambil alih kepemimpinan. Hidup selama setahun yang dipimpin oleh raga yang memiliki keinginan tanpa batas. Mati-matian mengejar harta, mati-matian mengejar pangkat dan kedudukan. Mati-matian membangun pengaruh, Korupsi, pamer kekayaan, menindas, menyikut dan menyikat siapa pun yang menghalanginya. Sekarang saatnya dikudeta. Kepemimpinan raga diambil alih oleh ruh. Orang yang berhasil mengkudeta kepememimpinan raga dan membiarkan dirinya dipimpin oleh ruhnya sendiri berarti telah lolos dalam 10 hari pertama dan telah sampai di depan pintu Rahmat.
Memasuki 10 hari kedua adalah memasuki pintu Rahmat. Memasuki perasaan yang diliputi keberuntungan mendapatkan kesempatan untuk mengalami kondisi ini. Tubuhnya sudah beradaptasi dan tidak lemas lagi karena puasa. Tapi frekwensi otak tetap dalam kondisi meditative. Ruh telah memimpin tubuhnya, bukan perut yang maha kuasa. Tapi ruh yang berkuasa. Hanya ruh yang bisa meminta permafan kepada Tuhan yang maha kuasa. Diantara tahiyat dan takbiratul ihram dalam taraweeh raga akan menangis mengingat segala kesalahannya. Pada saat yang bersamaan ruhnya memintakan maaf pada Tuhan yang maha kuasa.
Memasuki 10 hari terakhir, rezim raga telah mendapatkan pengampunan, mendapatkan magfiroh. Siapa pun yang memasuki kondisi ini akan merasakan berkat karunia, perasaan yang diliputi serba enak. Dan siap dipimpin oleh ruhnya untuk mendaki 10 hari terakhir melalui tangga-tangga I’tiqaf. Setiap malam duduk di atas tempat suci, diam. Ritual puasa dalam 10 hari terakhir telah mengkondisikan otak pada frequensi delta ( 0,5 – 4 Hz ). Hanya ruh yang berdilektik dengan ruh. Rezim Ruh memimpin raga memasuki malam seribu bulan. Rezim Ruh membawa raga ke dalam terang yang lebih terang dari malam seribu bulan. Rezim Ruh memimpin raga sampai ke lailatul qadar.
Metoda mensucikan diri dalam 30 hari diakhiri dengan membersihkan harta. Zakat dan fitrah. Seluruh hasil korupsi rezim raga dibagikan kepada fakir miskin dan kepentingan umum dengan penuh suka cita, sambil memuji kebesaran Tuhan. Allahu akbar walilla hilhamd, Allah maha besar segala puji bagi mu, berkali-kali. Paginya, raga yang telah dipimpin ruh sampai ke lailatul qadar semalam, melakukan sholat di tempat umum, lalu berjabat tangan erat-erat dengan rakyatnya dan meminta maaf. (*)
Lereng Merapi, 8 Maret 2023
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.