Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

Masih tentang Prasejarah

JIKA paradigma tidak berubah, sangat yakin jilid satu buku sejarah Indonesia akan selalu berjudul “Prasejarah”.

dok Susanto Zuhdi
Susanto Zuhdi 

Oleh Susanto Zuhdi
Editor Umum Penulisan Buku Sejarah Indonesia (2025)

JIKA paradigma tidak berubah, sangat yakin jilid satu buku sejarah Indonesia akan selalu berjudul “Prasejarah”.

Tidak seperti 9 jilid lainnya, yang sekarang sedang ditulis. Jilid-jilid yang dimaksud,  berbeda dari Sejarah Nasional Indonesia (SNI, 6 Jilid)  apalagi Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS, 8 Jilid).

Perubahan niscaya terjadi karena waktu terus berjalan dan perspektif atau interpretasi baru pun bermunculan. Apalagi dengan ditemukannya banyak artefak, fosil, atau fakta baru.

Dalam perjalanan penulisan yang sekarang, para editor Jilid sudah beberapa kali melakukan perubahan atau perbaikan nama jilidnya masing-masing.  

Itu karena perlu dilakukan penyesuaian antara materi atau substansi jilid bersangkutan dengan judulnya.

Umumnya secara tematik. Namun demikian di dalam penulisan buku sejarah selalu ada perpaduan antara tematis dan kronologis. Tinggal bagaimana mengaitkan fakta (peristiwa)  dengan konteks dan maknanya. 

Dalam hal ini tentang  “Prasejarah” bukan sekadar tema rupanya, yang memungkinan judul disesuaikan, tetapi sebagai bidang Ilmu “sendiri”.

Sebagai ranah ilmu, tentu dibicarakan ontologi, metodologi, epistemologi hingga aksiologi.  Lantas pertanyaan muncul di mana persinggungannya dengan “sejarah”.

Jika dipahami “Prasejarah” sesungguhnya mengenai masa lampau juga. Kalau begitu termasuk ke dalam pengertian Marc Bloch yang mengatakan “History is a science of men in time”.

Persoalan muncul karena secara konvensional “sejarah” diartikan sebagai masa ketika manusia telah mengenal tulisan. 

Sebelum itu, meskipun sudah ada bukti tinggalan baik berupa lukisan di diding-dinding gua atau bekas peralatan bagi menopang kehidupan manusia, lantas bukan merupakan sumber penulisan sejarah? 

Kata “pra” artinya “sebelum” (sejarah). Padahal yang ditulis ini adalah buku “sejarah” (Indonesia).  Jadi “Prasejarah” tidak termasuk “sejarah”. Apakah kalau begitu “Prasejarah” ditulis sebagai “buku” tersendiri saja dengan beberapa jilid, karena terdapat beberapa periodesasi.

Dengan periodesasi itu maka tonggak dapat ditetapkan bila mana mulai dikenal ada peradaban, seawal sekalipun, dan yang bersambung ke pengertian “peradaban” yang umum sudah diterima. 
 Jadi kita memerlukan “jembatan” yang dapat menghubungkan garapan  “ke-dua ranah ilmu” yang “tampaknya” terpisah itu.

Bukankah merupakan pandangan filsafat, yang menganggap bahwa masa lampau betapapun jauhnya di belakang sana, sesungguhnya berlanjut ke masa kini.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved