Opini
Opini M Issamsudin: THR Keagamaan 2023 Wajib Dibayar
LEBARAN 2023 sebagai hari raya keagamaan akan segera tiba. Berbagai persiapan pun dilakukan agar Lebaran dapat memberi makna dan suasana positif, terl
Opini Ditulis Oleh M Issamsudin (ASN di Semarang)
TRIBUNJATENG.COM - LEBARAN 2023 sebagai hari raya keagamaan akan segera tiba. Berbagai persiapan pun dilakukan agar Lebaran dapat memberi makna dan suasana positif, terlebih bagi yang merayakannya.
Pemerintah pun membuat regulasi guna ikut menyambut lebaran, termasuk regulasi terkait Tunjangan Hari Raya (THR) sebagai hak pekerja yang harus dibayarkan secara penuh dan tepat waktu oleh pemberi kerja. Khususnya Surat Edaran Menteri Tenaga Ketenagakerjaan Republik Indonesia (SE Menaker RI) Nomor M/2/HK.04.00/III/2023 tanggal 27 Maret 2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2023 Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
SE Menaker ini merupakan penjabaran Peraturan Menteri Tenaga Kerja tentang Pelaksanaan Nomor 6 tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, dan merupakan payung hukum pemberian THR bagi para pekerja/ buruh perusahaan sekaligus upaya pemerintah mencegah munculnya dan mengatasi masalah tentang THR bagi pekerja/buruh perusahaan.
Sangat diharapkan SE tersebut dapat menjadi pedoman sehingga tidak adalagi pemberi kerja yang tidak memberi THR. Pemberiannya pun sesuai sesuai aturan yang berlaku. Jangan adalagi memberi THR namun tidak tepat jumlah maupun waktunya. Apalagi harus didemo terlebih dahulu untuk membayarkan THR atau mengancam akan menutup usahanya bila diminta membayar THR untuk pekerjanya.
Tanpa Diskriminasi
Diharapkan pula tidak ada pemberian THR berunsur diskriminasi karena pembayaran THR tidak boleh ada pembedaan antara pekerja pada jenis pekerjaan dan masa kerja yang sama. Sama halnya dengan statusnya sebagai pekerja itu tetap, kontrak, harian, outsourching dan tenaga kontrak, pekerja yang diputus hubungan kerjanya terhitung sejak H-30 hari sebelum hari raya keagamaan, dan pekerja yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, juga berhak mendapatkan THR.
Soal berapa besaran THR bagi para pekerja, tidak bisa sembarangan karena pemerintah telah mengaturnya. Pekerja yang upahnya ditetapkan berdasarkan satuan hasil, upahnya juga tidak bisa sembarangan. Ada aturannya. Setidaknya, pekerja yang mempunyai masa kerja 1 bulan, berhak mendapatkan THR keagamaan dari perusahaan tempatnya bekerja. Sedangkan pekerja yang bermasa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, berhak atas THR sebesar satu bulan upah/gajinya.
Bagi pekerja yang bermasa kerja minimal 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan THR secara proporsional dengan menghitung jumlah masa kerja dibagi 12 bulan dikali satu bulan upah. Ketentuan ini adalah ketentuan minimal. Artinya, perusahaan yang sesuai dengan peraturan perusahaan dan/atau perjanjian kerja bersamanya telah menetapkan THR lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah, jangan terus menurunkan besar THR yang telah ditetapkannya.
Perhatian Khusus
Bila pada tahun-tahun sebelumnya ada pemberi kerja yang bermasalah dalam pembayaran THR, sudah seharusnya hal itu menjadi perhatian khusus agar dapat mematuhi aturan THR. Hanya saja, bila ada pemberi kerja yang benar-benar terbukti tidak mampu membayar THR sesuai aturan, kesempatan untuk melakukan perundingan antara pemberi kerja dengan pekerja, harus diupayakan demi kebaikan bersama.
Naif tentunya kalau sampai ada pemberi kerja yang tidak memberi (atau menomorduakan) THR untuk pekerjanya, namun justru memberi (atau menomorsatukan untuk pihak-pihak tertentu yang sebenarnya tidak berhak dan bukan menjadi kewajiban pemberi pekerjaan pemberiannya). Pemberi pekerjaan harus menolak saat ada pihak-pihak yang tidak berhak namun minta THR. Laporkan bila permintaannya berunsur pemerasan atau pengancaman.
Itu sebabnya, dalam melakukan pembayaran THR harus dilandasi semangat yang baik dan tepat dalam memaknai THR sebagai hak bagi para pekerja, karyawan karyawati (atau apa pun namanya). Harus selalu diingat bila pembayaran THR adalah kewajiban pemberi kerja sebagai konsekuensi dari adanya hubungan kerja dengan pekerjanya.
Sungguh mulia bagi pemberi kerja yang mampu membayar THR kepada pekerjanya sesuai aturan yang berlaku. Terlebih saat THR juga selalu diharapkan dapat menjadi sarana pendukung upaya memenuhi kebutuhan saat lebaran para pekerjanya.
Bila aturan telah menegaskan bila THR adalah hak yang wajib dibayarkan, penuh dan tepat waktu, tentu hal itu harus menjadi perhatian yang baik bersama. Paling lambat tujuh hari sebelum hari raya sesuai ketentuan pemerintah, THR harus sudah dibayarkan. Tidak boleh ditunda, tidak boleh dicicil, dan tidak boleh dihutang, atau THR dibayarkan namun upah/gaji yang harus dibayarkan tidak diberikan tepat waktu alias mundur.
Jangan dilanggar
Mengingat regulasi tentang THR sangat baik maksud dan tujuannya, tentu jangan adalagi pemberi kerja yang berusaha melanggar aturan THR atau mensiasatinya. Bagi yang sebelumnya pernah lolos dari sanksi, jangan coba-coba lagi untuk tidak memberi THR.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, ada sanksi yang akan dikenakan bagi pemberi kerja yang melanggar kewajiban membayar THR. Sanksinya mulai dari teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pemberhentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, sampai pembekuan kegiatan usaha.
Bagi pemberi kerja yang terlambat membayar THR, dikenai denda yang harus dibayar dan denda akan dikelola serta dipergunakan untuk kesejahteraan pekerja. Semua itu merupakan upaya pemerintah agar tidak sekedar menghimbau dibayarkannya THR, tetapi juga bersikap tepat terhadap pelanggar aturan THR.
Mengingat aturan tentang THR harus berdaya dan berhasil guna penerapannya, tentu aturan itu harus dilaksanakan serta ditegakkan sebaik mungkin. Jangan ada pelanggar yang tidak tersentuh sanksi dan itu jelas membutuhkan adanya sosialisasi tentang aturan THR agar ada persamaan persepsi tentang THR sehingga dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Sangat tepat tentunya kalau pemerintah juga membuka posko di tiap Kabupaten/ Kota terkait THR dan mengkoordinasikan tugasnya dengan organisasi pekerja/ buruh dan organisasi pemberi pekerjaan. Posko THR diharapkan dapat menjadi sarana memantapkan keberpihakan pemerintah terhadap penghormatan terhadap hak-hak pekerja dan memberi solusi yang tepat terkait THR, serta penegakan aturan ketenagakerjaan. (*tribun jateng cetak)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.