Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Internasional

Gelombang Panas Ekstrem, Bangladesh Tutup SD dan Padamkan Listrik

Bangladesh sedang diserang gelombang panas. Untuk mencegah korban jiwa, pemerintah setempat menutup SD pekan ini.

Editor: m nur huda
rottadana via Kompas.com
Ilustrasi Gelombang Panas - Bangladesh sedang diserang gelombang panas. Untuk mencegah korban jiwa, pemerintah setempat menutup SD pekan ini. 

TRIBUNJATENG.COM, BANGLADESH - Bangladesh sedang diserang gelombang panas. Untuk mencegah korban jiwa, pemerintah setempat menutup SD pekan ini.

Fenomena cuaca tersebut juga menyebabkan pemadaman listrik yang sering terjadi, sehingga memperburuk kondisi penduduk tidak bisa hidupkan kipas angin maupun pendingin udara.

Departemen Meteorologi Bangladesh mencatat, suhu maksimum telah melonjak hingga hampir 41 derajat Celcius (105,8 derajat Fahrenheit) dari 32 C pada 10 hari lalu.

Mereka pun memperingatkan bahwa peningkatan suhu tersebut belum akan berakhir dalam waktu sekat.

Para ilmuwan mengatakan, perubahan iklim berkontribusi pada terjadinya gelombang panas yang lebih sering, parah, dan lebih lama selama bulan-bulan musim panas, termasuk di Bangladesh.

Menteri Negara untuk Tenaga, Energi, dan Sumber Daya Mineral Bangladesh, Nasrul Hamid, mengumumkan Bangladesh dapat menghadapi pemadaman listrik selama dua minggu lagi.

Dia menjelaskan, kekurangan bahan bakar telah memicu penghentian beberapa unit pembangkit listrik, termasuk pembangkit listrik tenaga batu bara terbesar yang dimiliki Bangladesh.

"Karena krisis energi global dan lonjakan yang belum pernah terjadi sebelumnya di pasar mata uang internasional, kami terkena pelepasan beban yang tidak diinginkan ini," kata Hamid dalam sebuah posting di Facebook.

Gelombang panas di Bangladesh terjadi ketika negara tersebut telah bergulat dengan pemadaman listrik yang merugikan perekonomiannya dalam beberapa bulan terakhir.

Pemadaman listrik itu termasuk memengaruhi sektor pakaian jadi penting yang menyumbang lebih dari 80 persen ekspor Bangladesh.

Suhu 50 Derajat Celcius

Menurut WMO (World Meteorological Organization) Gelombang Panas atau dikenal dengan "Heatwave" merupakan fenomena kondisi udara panas yang berkepanjangan selama 5 hari atau lebih secara berturut-turut dimana suhu maksimum harian lebih tinggi dari suhu maksimum rata-rata hingga 5°C (9°F) atau lebih.

Ketika angka di termometer "mengancam" naik melebihi suhu 50 derajat Celsius di Irak, penduduk setempat biasanya diliburkan dan disarankan tetap di dalam ruangan, kata Kholoud al-Amiry, pendiri jaringan jurnalis perempuan di Baghdad, yang fokus dengan isu perubahan iklim.

"Biasanya kami mendapatkan informasi itu di Al Iraqiya, atau mungkin diposting di Facebook," kata al-Amiry kepada DW.

"Mereka akan memberitahu kami untuk tidak pergi bekerja dan mereka juga memberitahu siapa saja yang rentan agar sebaiknya tetap berada di dalam ruangan. Mereka juga selalu memberitahu kami untuk meletakkan mangkuk berisi air di bawah pohon untuk burung dan hewan lainnya."

Namun sebagian besar warga Irak merasa seolah-olah sendirian dalam cuaca panas yang ekstrem. "Orang belajar untuk hidup dengan cuaca panas dan mereka beradaptasi sepanjang waktu," lanjutnya.

Adaptasi mencakup apa saja mulai dari memasang ulang kipas agar lebih efisien hingga menutup lantai atas sebuah rumah di musim panas.

"Pada dasarnya, warga Irak akan mencoba menyelesaikan masalah ini sendiri karena mereka tidak terlalu percaya bahwa pemerintah akan membantu mereka," kata al-Amiry.

Pengabaian negara terhadap masalah-masalah semacam ini kerap terjadi, meskipun faktanya, dari semua orang di dunia, orang-orang di Timur Tengah paling terancam bahaya panas ekstrem.

Kematian Meningkat

Pada bulan Mei, penelitian baru yang diterbitkan dalam jurnal sains Nature Sustainability memetakan dampak panas ekstrem di seluruh dunia, apabila suhu global naik lebih dari 1,5 derajat Celsius selama 50 tahun ke depan.

Makalah tersebut menyebutkan bahwa mayoritas orang di Timur Tengah akan terpapar panas ekstrem pada tahun 2050.

Studi lain yang diterbitkan April lalu di jurnal medis Inggris The Lancet mengamati seberapa banyak kematian terkait pemanasan global yang mungkin terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara jika planet ini terus menghangat.

Disebutkan di jurnal ilmiah itu bahwa jumlah penduduk setempat di wilayah itu yang akan meninggal karena cuaca panas setiap tahunnya, di mana kemungkinan jumlahnya akan meningkat dari rata-rata sekitar dua kematian per 100.000 orang saat ini menjadi sekitar 123 per 100.000 orang dalam dua dekade terakhir abad ini.

Itu berarti bahwa pada tahun 2100, sekitar 138.000 orang kemungkinan besar akan meninggal setiap tahunnya akibat panasnya suhu di Irak.

Studi yang diterbitkan The Lancet juga mencatat bahwa demografi dan peningkatan pergerakan orang ke kota-kota di Timur Tengah akan berdampak pada bagaimana panas ekstrem memengaruhi penduduk setempat. Pada tahun 2050-an, hampir 70 persen populasi diperkirakan akan tinggal di kota-kota besar dan pada tahun 2100, jumlah lanjut usia akan melebihi jumlah orang muda di wilayah tersebut.

"Usia lanjut dan kepadatan penduduk yang tinggi merupakan faktor risiko utama untuk penyakit dan kematian terkait panasnya cuaca," tulis penulis penelitian dari The London School of Hygiene & Tropical Medicine dan The Cyprus Institute.

Hal itu terjadi karena orang tua lebih rentan secara fisik. Dan kota cenderung lebih panas. Ini disebabkan oleh hal-hal seperti bangunan yang lebih padat, jalan aspal yang gelap menyerap panas dan kurangnya dedaunan.

Cuaca di kota bisa 2 sampai 9 derajat Celsius lebih hangat daripada di pedesaan di sekitarnya.

Ternak dan Tanaman

Di China suhu tinggi juga membahayakan hewan ternak maupun tanaman. China khawatir, ketahanan pangan negara dengan ekonomi besar kedua itu akan tergoncang. China mengalami gelombang panas dan kekeringan terburuk dalam beberapa dekade selama musim panas 2022.

Sebagai gambaran, babi, kelinci, dan ikan mati karena suhu yang panas. Sementara ladang gandung justru tergenang akibat curah hujan yang tinggi. China juga khawatir kekeringan akan melanda lembah Sungai Yangtze yang menjadi daerah penghasil beras utama China.

Gelombang panas semakin meningkat beberapa hari belakangan. Sejumlah kota di Provinsi Yunnan dan Sichuan mencatat rekor suhu di atas 40 derajat Celcius.

Kepala analis pertanian Citic Securities Sheng Xia mengatakan, cuaca ekstrem seperti kekeringan dan banjir dapat mengganggu pesanan produksi pangan.

"Membawa lebih banyak ketidakpastian pada pasokan pangan dan minyak,” tulis Sheng Xia dalam sebuah laporan penelitian, Minggu (4/6/2023).

Ia memperingatkan, meningkatnya ancaman terhadap krisis pangan tahun ini karena menjulangnya El Niño. Itu adalah sebuah fenomena alam di Samudera Pasifik tropis yang membawa suhu lebih hangat dari rata-rata. (kompas/cnn/dtc/tribun/tribun jateng cetak)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved