Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Kriminal

Anak Seorang Tokoh Agama di Jateng Jadi Tersangka Pelecehan, Korban Siswi SMA Dipaksa Keluar Sekolah

Seorang mahasiswa anak dari tokoh agama di sebuah kota di Jawa Tengah menjadi tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf
Shutterstock
Ilustrasi 

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Seorang mahasiswa anak dari tokoh agama di sebuah kota di Jawa Tengah menjadi tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Tersangka melakukan kekeran seksual terhadap korban yang masih duduk di kelas 1 SMA.

Dampaknya, kini korban alami trauma berat dan dipaksa harus mengundurkan diri dari sekolah. 

"Kasusnya masih bergulir di Pengadilan, bukan di Kota Semarang, di satu daerah di Jawa Tengah," kata Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi dari Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Citra Ayu, Sabtu (22 /7/2023).

Baca juga: Pemkab Karanganyar Buka Pendaftaran Seleksi Dua Jabatan Kepala Dinas

Baca juga: PSIS Semarang Gagal Menang di Kandang PSS Sleman, 2 Sosok Jadi Sorotan Suporter

Baca juga: Pembelajaran Berbasis Proyek pada Materi Statistika

Menurut Citra, kasus kekerasan seksual terhadap korban dengan tersangka mahasiswa dari  anak tokoh agama menyebabkan korban alami depresi.

Sebab, korban tak hanya mendapatkan kekerasan seksual saja melainkan pula kekerasan fisik. 

"Bentuk kekerasan fisik berupa dicekik, ditampar dan lainnya," tuturnya.

Dampak dari kasus tersebut, korban sempat takut bertemu orang lain. 

Bahkan korban merasa semua orang tahu kasusnya ketika berada di tempat umum.

Kondisi korban kian parah lantaran dari pihak sekolah sempat mengintimidasi korban agar jangan  melaporkan kasus itu ke polisi. 

Namun, keluarga korban kukuh membawa kasus itu ke ranah hukum.

"Kasus itu masih proses hukum, kami tak puas dengan tuntutan Jaksa 8 tahun. Kami meminta dituntut sesuai undang-undang perlindungan anak yakni tuntutan 15 tahun," bebernya.

LRC-KJHAM mencatat kasus korban kekerasan seksual terhadap anak di tahun 2021 ada 11 kasus. Tahun 2022 ada 53 kasus sedangkan di tahun ini hingga bulan Juni terdapat 9 kasus.

"Kota Semarang cukup banyak kekerasan seksual korban anak," imbuh Citra.

Ia menyebut, penanganan kasus kekerasan seksual terhadap korban anak masih mendapatkan  kendala di antaranya stigma  dan steoreotip dari aparat penegak hukum.

Terutama ketika ada relasi hubungan pacaran maka kekerasan seksual dianggap suka sama suka. 

Padahal kekerasan seksual tersebut terjadi melalui ancaman, kekerasan fisik, manipulasi hingga buaian berkedok agama.

"Dari segi aparat penegak hukum belum memperhatikan latar belakang kasus sehingga ketika dibawa ke jalur hukum  korban malah semakin trauma," terangnya.

Di samping itu, akses pendidikan korban juga terancam. 

Sebab, seringkali korban kehilangan akses pendidikan lantaran diminta mengundurkan diri dari sekolah. 

Cara tersebut digunakan sekolah untuk mendepak korban secara halus.

Catatan LRC-KJHAM, tahun ini ada satu korban diminta mengundurkan diri dari sekolah sedangkan tahun 2022 ada tiga korban yang terpaksa keluar dari sekolah.

"Adapula guru-guru yang menyalahkan korban dan meminta damai dengan pelaku," katanya.

Supaya persoalan tersebut tak berlarut-larut, Citra menyarankan supaya aparat penegak hukum melakukan kegiatan bimbingan teknis (bintek) yang diberikan kepada para penyidiknya. 

Bintek dilakukan secara menyeluruh berkaitan dengan perempuan dan anak agar  penyidik memiliki perspektif soal gender. 

Selain itu, aktif berdiskusi dengan pendamping korban.

Kemudian mengimplementasikan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang baru satu tahun disahkan sehingga implementasi di lapangan belum maksimal.

"Kami sempat diskusi sama penyidik pada penanganan kasus kekerasan seksual agar memasukan UU TPKS tetapi dari penyidik menyatakan belum bisa karena belum ada aturan turunan yang mengatur kekerasan seksual di bagian penyidik," bebernya.

Kepada pemerintah daerah, kata Citra, hendaknya segera menyusun aturan turunan UU TPKS. 

Meskipun saat ini pemerintah pusat sedang menyusun aturan itu melalui Perpres.

"Pemerintah hendaknya memastikan apakah korban kekerasan seksual anak sudah terpenuhi hak pendidikannya dan hak-haknya sebagai manusia yang berhadapan dengan hukum," terangnya.

Terpisah, Wali kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan, program perlindungan anak  sudah ada di UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak dibawahi DP3A Kota Semarang .

UPTD tersebut dibentuk pada  11 Desember  2022 sebagai upaya pengimplementasian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 

"(penyusunan turunan UU TPKS) makanya ada lewat UPTD, kami juga persilahkan LBH APIK dan LRC-KJHAM untuk suport dan kolaborasi," katanya. (iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved