Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Napak Tilas Jejak Ashin Jinarakkhita di Wihara Sima 2500 Buddha Jayanti Semarang

Setidaknya 750 orang penganut agama buddha tumpah ruah di lokasi tersebut terdiri dari bhikkhu-samanera, pandita Buddhayana se-Jawa Tengah dan lainnya

Penulis: iwan Arifianto | Editor: muslimah
TribunJateng.com/Iwan Arifianto
Suasana perjalanan para peserta Napak Tilas Pandita Buddhayana Jawa Tengah saat menuju ke Wihara Sima 2500 Buddha Jayanti, Kota Semarang, Sabtu (29/9/2023). 

Agama Buddha Indonesialanjut, Bhante Khemacaro, memang telah menjadi bagian dari falsafah hidup penduduk Nusantara sejak awal abad Masehi. 

Namun agama Buddha sempat surut seiring rubuhnya Wilwatikta-Majapahit di sekitar pertengahan abad ke-15. 

Kemudian berkembang kembali sejak awal abad ke-20, tetapi dengan dinamika pengaruh berbagai corak budaya dari luar negeri semisal dari China, India, Thailand, Myanmar, Kamboja, Srilanka, Jepang, dan lainnya.

Agama Buddha dari luar negeri ini juga dipengaruhi suatu corak sesuai alam tumbuh
kembangnya masing-masing. Misalnya dari Thailand, membawa corak Theravada mainstream.

China dan Taiwan membawa corak Mahayana Tiongkok dan dari Tibet membawa corak
Vajrayana Tibetan. 

"Maka sesudah perkembangan kembali agama Buddha di era kemerdekaan, sempat muncul friksi dialektika intelektual antar tokoh masing-masing sehingga umat Buddha
sempat harus melewati masa-masa tidak menyenangkan perbedaan pendapat karena kotak-kotak pengaruh agama Buddha dari luar negeri," ungkapnya.

Hal senada disampaikan oleh Maha Nayaka Sangha Agung Indonesia, Bhikkhu Dr.
Nyanasuryanadi yang menekankan ciri khas agama Buddha adalah kesamaan ajaran dari peristiwa Dharmacakra Pravartana Sūtra pertama kali kepada lima orang pertama murid awal-Nya.

Ciri khas semua corak agama Buddha adalah lambang roda Dharma. Sekarang kita kenal roda Dharma terdiri dari 8 ruas atau ruji-ruji. 

Namun pada tahap awal seperti yang terdapat pada relief Candi Mendut, Magelang. 

Roda Dharma terdiri dari empat ruas atau ruji-ruji yang memuat lambang catvāri āryasatyāni atau “Empat Kebenaran Mulia”. 

Kemudian seiring perjalanan waktu, Dharma Ajaran Buddha diteruskan turun temurun menyesuaikan perkembangan zaman dan keadaan. 

"Termasuk melalui berbagai macam lambang atau simboluntuk memudahkan pemeluk Buddha mencapai tujuannya yakni padamnya ketidakpuasan atau dukkha dengan tercapainya pembebasan atau Nirvana (Nibbana)," paparnya yang akrab disapa Bhante Sur.

Acara puncak dalam kegiatan Napak Tilas Pandita Buddhayana Jawa Tengah saat menuju di Wihara Sima 2500 Buddha Jayanti, Banyumanik, Kota Semarang, Sabtu (29/9/2023).
Acara puncak dalam kegiatan Napak Tilas Pandita Buddhayana Jawa Tengah saat menuju di Wihara Sima 2500 Buddha Jayanti, Banyumanik, Kota Semarang, Sabtu (29/9/2023). (TribunJateng.com/Iwan Arifianto)

Setara Borobudur 

Kegiatan napak tilas ini baru pertama kali diselenggarakan Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Kota Semarang sebagai penerus Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) yang didirikan Ashin Jinarakkhita bulan Juli 1955.

Ketua Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Kota Semarang, Upasaka Pandita Dharmakumara menuturkan, Ashin Jinarakkhita tidak membawa agama Buddha dari luar negeri menjadi agama Buddha di Indonesia atau agama Buddha bukan cangkokan sebagaimana pohon yang sama dari luar negeri.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved