Berita Semarang
Napak Tilas Jejak Ashin Jinarakkhita di Wihara Sima 2500 Buddha Jayanti Semarang
Setidaknya 750 orang penganut agama buddha tumpah ruah di lokasi tersebut terdiri dari bhikkhu-samanera, pandita Buddhayana se-Jawa Tengah dan lainnya
Penulis: iwan Arifianto | Editor: muslimah
Agama Buddha Indonesialanjut, Bhante Khemacaro, memang telah menjadi bagian dari falsafah hidup penduduk Nusantara sejak awal abad Masehi.
Namun agama Buddha sempat surut seiring rubuhnya Wilwatikta-Majapahit di sekitar pertengahan abad ke-15.
Kemudian berkembang kembali sejak awal abad ke-20, tetapi dengan dinamika pengaruh berbagai corak budaya dari luar negeri semisal dari China, India, Thailand, Myanmar, Kamboja, Srilanka, Jepang, dan lainnya.
Agama Buddha dari luar negeri ini juga dipengaruhi suatu corak sesuai alam tumbuh
kembangnya masing-masing. Misalnya dari Thailand, membawa corak Theravada mainstream.
China dan Taiwan membawa corak Mahayana Tiongkok dan dari Tibet membawa corak
Vajrayana Tibetan.
"Maka sesudah perkembangan kembali agama Buddha di era kemerdekaan, sempat muncul friksi dialektika intelektual antar tokoh masing-masing sehingga umat Buddha
sempat harus melewati masa-masa tidak menyenangkan perbedaan pendapat karena kotak-kotak pengaruh agama Buddha dari luar negeri," ungkapnya.
Hal senada disampaikan oleh Maha Nayaka Sangha Agung Indonesia, Bhikkhu Dr.
Nyanasuryanadi yang menekankan ciri khas agama Buddha adalah kesamaan ajaran dari peristiwa Dharmacakra Pravartana Sūtra pertama kali kepada lima orang pertama murid awal-Nya.
Ciri khas semua corak agama Buddha adalah lambang roda Dharma. Sekarang kita kenal roda Dharma terdiri dari 8 ruas atau ruji-ruji.
Namun pada tahap awal seperti yang terdapat pada relief Candi Mendut, Magelang.
Roda Dharma terdiri dari empat ruas atau ruji-ruji yang memuat lambang catvāri āryasatyāni atau “Empat Kebenaran Mulia”.
Kemudian seiring perjalanan waktu, Dharma Ajaran Buddha diteruskan turun temurun menyesuaikan perkembangan zaman dan keadaan.
"Termasuk melalui berbagai macam lambang atau simboluntuk memudahkan pemeluk Buddha mencapai tujuannya yakni padamnya ketidakpuasan atau dukkha dengan tercapainya pembebasan atau Nirvana (Nibbana)," paparnya yang akrab disapa Bhante Sur.

Setara Borobudur
Kegiatan napak tilas ini baru pertama kali diselenggarakan Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Kota Semarang sebagai penerus Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia (PUUI) yang didirikan Ashin Jinarakkhita bulan Juli 1955.
Ketua Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Kota Semarang, Upasaka Pandita Dharmakumara menuturkan, Ashin Jinarakkhita tidak membawa agama Buddha dari luar negeri menjadi agama Buddha di Indonesia atau agama Buddha bukan cangkokan sebagaimana pohon yang sama dari luar negeri.
HUT BAF ke-28, Bagikan Paket Bahan Pangan Bergizi Melalui BAF Nutri-Kids |
![]() |
---|
Bajai Merah Mengaspal di Kota Semarang, Albert Coba Peruntungan Jadi Sopir |
![]() |
---|
Pasar Johar Semarang: Dari Pohon Johar hingga Ikon Arsitektur Tropis Modern |
![]() |
---|
Prakiraan Cuaca Semarang Hari Ini, Minggu 21 September 2025: Sejumlah Kecamatan Diguyur Hujan Ringan |
![]() |
---|
KONI Semarang Gelar Bintek Keuangan untuk Wujudkan Transparansi |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.