Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Giant Sea Wall Pertama di Indonesia Masih Dibangun di Semarang, Ini Dampaknya ke Nelayan

Konsep pembangunan tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) di wilayah utara Pulau Jawa kembali mencuat selepas dibahas para Calon Presiden Pemilu 2024.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG / Iwan Arifianto.
Proses pembangunan tanggul laut sekaligus tol Semarang-Demak seksi 1 di pesisir pantai Trimulyo, Genuk, Kota Semarang, Sabtu (29/7/2023). 

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Konsep pembangunan tanggul laut raksasa (Giant Sea Wall) di wilayah utara Pulau Jawa kembali mencuat selepas dibahas para Calon Presiden (Capres) peserta pemilu 2024.

Terutama dari Capres Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Konsep Giant Sea Wall sebenarnya sudah dilakukan dalam pembangunan di pesisir Jawa Tengah persisnya dalam proyek pembangunan tol Semarang-Demak seksi 1 yang berfungsi pula sebagai tanggul laut.

Baca juga: John Yakin Konsep Giant Sea Wall Bisa Atasi Rob dan Banjir di Teluk Semarang Pantura Jateng

Proyek jalan tol sepanjang 10,64 kilometer ini masih berjalan. Dampak pembangunannya, kini mulai dirasakan oleh masyarakat pesisir Semarang.

Nelayan Trimulyo, Genuk, Kota Semarang, Agus mengatakan,  mulai bulan depan nelayan disuruh mencari rute baru menuju ke laut imbas pembangunan tol Semarang-Demak.

"Kami diperintah begitu saja tanpa pemberian tali asih," terangnya saat dihubungi, Kamis (11/1/2024).

Proyek tersebut juga bakal menghilangkan hutan mangrove di sekitar Trimulyo.

Data dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, dampak pembangunan jalan tol Semarang-Demak merusak hutan mangrove seluas 42,7 Ha.

Hutan mangrove terdampak langsung dari pembangunan seluas  14,1 ha, dan dampak tidak langsung seluas 28,5 ha.

Rinciannya, wilayah terdampak di Trimulyo meliputi dampak langsung  seluas 12,4 ha, dan tidak langsung seluas 21,9 ha.

Sisanya terbagi di Sayung dan Bedono, Kabupaten Demak

"Kami sudah tanam hutan mangrove itu sejak 20 tahun lalu. Sekarang mau ditebang," lanjut Agus.

Warga pesisir Tambakrejo, Semarang Utara, Zuki menjelaskan, proyek tanggul laut raksasa ditakutkan mengancam sumber pencarian nelayan pesisir. 

Proyek tanggul tol Semarang-Demak seksi 1 saja sudah membuat warga gerah. Apalagi tanggul raksasa. 

"Iya, nelayan rumpon kerang hijau yang terlewati proyek tol masih menuntut ganti rugi.

Nelayan sudah demo ke sana, belum tahu kelanjutannya," katanya.

Pakar Lingkungan dan Tata Kota Semarang, Mila Karmila menuturkan, isu pembantu giant sea wall sudah muncul di Semarang sejak tahun 90an.

Kini, isu itu kembali muncul tak hanya di Semarang melainkan untuk wilayah seluruh pesisir pantura.

"Misal ditanggul semua, nelayan suruh kemana?, nelayan itu penghidupan ada di laut," katanya.

Ia pun tak sepakat terkait pembangunan Giant Sea Wall di sepanjang pantai utara.

Alasannya, pembangunan yang dipaksakan semua sama dari ujung barat ke ujung timur tak bakal efektif. Sebab, potensi dan masalah setiap wilayah berbeda.

"Semisal pesisir Tegal, Demak, dan  Rembang itu beda. Misal disamakan akan tidak pas. Solusi setiap wilayah tidak harus sama," jelasnya.

Ia menilai, pesisir pantura masih dihantui rob meskipun sudah dibangun tanggul laut.

Artinya, tanggul laut tak sepenuhnya menyelesaikan masalah.

"Pemerintah biasanya hanya ambil satu perspektif saja tanpa melihat pertimbangan masyarakat pesisir," paparnya.

Menurutnya, mengatasi masalah rob di pesisir harus ada kombinasi antara tanggul laut bersifat sementara dengan hutan mangrove.

Tanggul yang dibuat berupa tanggul semi permanen sehingga ketika hutan mangrove sudah rapat dan rimbun bisa menahan gelombang.

"Pembangunan boleh-boleh saja tetapi harus dilihat tidak semuanya harus pakai insfratruktur," katanya.

Ia menambahkan, prosesnya tak cukup sampai di situ, pembangunan kawasan industri di wilayah pesisir juga harus dihentikan karena dapat menambah beban tanah pesisir.

Baca juga: Dewan Minta Pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang-Demak Dipercepat, Ini Progres Terkininya

Semisal pemerintah tetap memaksakan pembangunnya jangan sampai pabrik-pabrik di kawasan tersebut menggunakan air bawah tanah.

Hal itu untuk mencegah semakin parahnya penurunan muka tanah.

"Pabrik harus ambil air dangkal, pemerintah harus menyediakannya. Misal tidak bisa ya udah jangan bikin pabrik di pesisir lagi," terangnya. (iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved