Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Pemilu 2024

Masih Adakah yang Membela Demokrasi?

Pelajaran pertama tentang demokrasi adalah kontrol masyarakat terhadap pemerintahan.

|
Editor: abduh imanulhaq
TRIBUN JATENG/IWAN ARIFIANTO
Poster yang dibentangkan demonstran di Tugu Muda, depan Lawang Sewu, dalam penjagaan ketat oleh aparat kepolisian, Sabtu (3/12/2022). 

William Liddle di Kompas, Jumat (26/124), tindakan paling fatal yang membahayakan demokrasi terjadi saat Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan yang membuat Gibran Rakabuning Raka melenggang mencalonkan diri jadi wakil presiden mendampingi Prabowo. Peran Anwar Usman sebagai ipar Jokowi tak bisa dibantah sebagai upaya campur tangan Presiden terhadap MK demi politik dinasti. Dalam pandangan Liddle, tindakan tersebut sebagai upaya sistematis merusak demokrasi.

Sikap kritis dan indenpenden dilakukan media dengan sadar terhadap kepentingan demokrasi. Kompas dalam catatan Ombudsman berjudul ‘Menjaga ‘Kompas’ Tetap Sebagai Kompas” mengabarkan kepada pembacanya bahwa meskipun sering menuai protes dari pihak pembaca, terutama dari peserta pemilu, tetap tegar dengan independensi dan sikap kritisnya, meskipun bisa saja harus menelan resiko pahit. Hal itu dilakukan sebagai bentuk komitmen Kompas agar Pemilu 2024 tetap berkualitas.

Hal yang sama dilakukan Majalah Tempo. Dalam dua terbitannya, Majalah Tempo terus menurunkan Berita Utama apa yang dilakukan Presiden Jokowi yang berakibat pada ternodanya Pemilu 2024. Pada edisi 15 – 21 Januari Majalah Tempo menurunkan Berita Utama “Angan-Angan Satu Putaran”. Berita tersebut memaparkan usaha Jokowi sebagai presiden memanfaatkan sumber daya negara untuk kepentingan pasangan calon presiden Prabowo – Gibran agar menang satu putaran. Pada edisi minggu berikutnya, Tempo menurunkan berita utama “Omon-Omon Bansos”, yang memaparkan Jokowi sebagai presiden terus mengucurkan bantuan sosial ke masyarakat di tengah kampanye pasangan capres-cawapres nomor 2. Bahkan penyaluran bansos diperpanjang hingga Juni 2024.

Berita Utama tersebut diawali dengan opini Tempo sebagai ediortialnya.  Dalam perkara “Angan-Angan Satu Putaran”, editorial Majalah Tempo menulis ketidaknetralan Jokowi akan dikenang sebagai presiden terburuk setelah reformasi dan akan terhina sebagai keset sejarah. Frase “terhina sebagai keset sejarah” jelas menunjukkan kritik keras Tempo terhadap upaya pembunuhan demokrasi yang dilakukan Presiden Jokowi.  

Momentum keberanian pers saat ini dalam menyikapi Pemilu 2024 yang rentan kecurangan secara sistematis dan masif dilakukan oleh penguasa, harus lebih dimanfaatkan oleh kaum akademisi lain yang selama ini kurang dan tidak pernah bersuara. Kalangan akademisi saatnya untuk tidak merasa nyaman bersarang di kampus, tapi saatnya keluar kandang memanfaatkan ilmunya untuk memberikan analisis dan penilaian terhadap kinerja penguasa yang jelas-jelas merontokkan demokrasi. Mengepung penguasa dengan pendapat umum yang disampaikan secara kritis dan lugas sedikitnya akan memberikan landasan moral bagi publik pada saat menentukan pilihan pada 14 Februari mendatang. Dalam ranah demokrasi, analisa kritis dan tajam dari para pakar dan akademisi itu sangat berguna untuk menyelamatkan demokrasi.

Kesehatan Demokrasi

Memang tidak menutup kemungkinan masih ada kaum akademisi, pakar dan warga negara yang takut menyuarakan pendapat kritisnya, mengingat revisi UU ITE jilid kedua masih memuat pasal karet. Setidaknya, seperti ditulis Tempo edisi 15 – 21 Januari, dalam pandangan masyarakat sipil ada lima pasal yang rentan digunakan aparat penguasa untuk membungkam kritik, dan menyuburkan kriminalisasi. Namun sebagai akademisi, tentu mampu membedakan antara kritik, fitnah dan pencemaran nama baik, sehingga tidak perlu takut dikriminalisasi sepanjang kritik dilakukan terhadap kebijakan penguasa dan untuk kepentingan demokrasi. Sekeras apapun kritik tersebut.

Bagaimanapun, tanpa berprasangka buruk seperti pendapat Albert Aries dalam Kompas, Senin (22/1/24), revisi UU ITE tetap masih berpihak pada kepentingan penguasa dan itu merupakan jejak kolonialisme yang terus diwariskan hingga sekarang. Tidak menutup mata bahwa revisi tersebut memang diperlukan mengingat perkembangan jaman, terutama berkembangnya teknologi digital. Namun yang jadi pertanyaan, dalam pasal pencemaran nama baik dan menyerang kehormatan (Pasal 27A), seharusnya diberi batasan-batasan yang jelas agar tidak dimanfaatkan oleh penguasa untuk membungkam sikap kritis. Dalam upaya pencegahan korupsi dan pelecehan seksual, pasal tersebut rentan dijadikan serangan balik oleh pelaku terhadap pelapor adanya dugaan tindak pidana korupsi dan korban pelecehan seksual. Kaum wanita akan menjadi korban paling rentan dan mereka akan lebih memilih diam ketika ada serangan seksual. Jelas, pasal 27A itu ancaman serius bagi kesehatan demokrasi. (*)  

              

 

     

 

 

  

  

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved