Kelezatan Slondok Magelang: Camilan Khas yang Bertahan Hingga Kini
Tersembunyi di Kota Magelang, slondok menjadi camilan khas yang tak hanya lezat, namun juga mengandung kisah perjuangan Aris, perajin slondok.
TRIBUNJATENG.COM, MAGELANG - Setiap daerah di Indonesia memiliki camilan khasnya tersendiri, tak terkecuali Kota Magelang. Terdapat banyak camilan khas Magelang yang tetap bertahan eksistensinya sampai sekarang. Selain ditemukan di Magelang, slondok juga populer di beberapa kawasan lain di sekitarnya, seperti Kota Yogyakarta atau Purworejo. Banyak wisatawan yang, saat melancong ke Magelang, membeli slondok sebagai oleh-oleh.
Uniknya, perajin maupun penjual tidak hanya menjual slondok dalam versi siap makan, namun ada juga yang menjajakan slondok versi kering yang perlu digoreng terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Terkadang, ada masyarakat yang menjemurnya lagi supaya slondok lebih mekar saat digoreng.
Camilan ini berbahan dasar singkong. Meskipun tidak diketahui secara pasti asal-usul camilan ini, Magelang sangat dikenal dengan pusat produksi Kripik Slondok. Kudapan gurih ini awalnya hanya memiliki satu rasa, yaitu gurih. Namun, seiring berkembangnya kreativitas para perajin slondok, camilan ini dihasilkan dengan berbagai varian rasa, seperti bawang, balado, hingga pedas.
Salah satu produsen slondok yang masih eksis hingga saat ini berada di Tejosari, Kelurahan Magersari, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang, Jawa Tengah. Aris (58) merupakan perajin slondok yang telah menjalankan usahanya sejak tahun 1998, sudah lebih dari 26 tahun.
“Saya memulai usaha ini saat terjadi krisis moneter pada tahun 1998. Waktu itu banyak UMKM yang hancur, dan alhamdulillah, saat itu saya membuat slondok dan sampai sekarang masih bertahan,” ujar Aris saat ditemui di tempat produksinya beberapa waktu lalu.
Menurut Aris, ada dua kategori makanan yang dapat bertahan dalam bisnis, yaitu makanan kekunoan dan makanan kekinian. Dia memilih untuk memproduksi makanan kekunoan, terutama kuliner kuno-kuno yang merupakan bagian dari sejarah nenek moyang Indonesia, seperti slondok yang terbuat dari singkong.
Aris menjelaskan bahwa proses pembuatan slondoknya masih melibatkan tangan manual, dengan penggunaan mesin yang terbatas hanya pada mesin press. Dia juga mengungkapkan bahwa proses produksi slondok cukup panjang, terutama karena memerlukan pengeringan dengan sinar matahari. Proses ini minimal memakan waktu 3 sampai 5 hari, bahkan bisa lebih dari 1 minggu baru bisa dikonsumsi.
Dalam proses pembuatannya, singkong yang sudah dibeli atau dipesan di tengkulak dikupas dan dicuci bersih. Setelah dicuci, singkong diparut dan diperas menggunakan hidrolik dongkrak atau alat lain untuk mengeluarkan airnya. Kemudian, diberi bumbu dapur seperti bawang dan garam, lalu dikukus dan didinginkan sebentar.
Proses selanjutnya, singkong dimasukkan ke dalam gilingan yang diputar dengan motor. Meskipun mirip dengan gilingan getuk, namun Aris memodifikasinya. Hasilnya, bagian depannya menjadi memanjang, lalu dipotong sesuai selera masing-masing, bisa menjadi panjang 10 cm, 20 cm, 30 cm, atau dibentuk lingkaran sesuai keinginan.
Setelah proses pemotongan, slondok terlihat masih basah dan kempel. Kemudian, slondok disusun dan diletakkan di nampan besar untuk dijemur.
Setelah kering, dilakukan proses pembumbuan kedua dengan variasi pedas manis, pedas, asin, maupun balado. Setelah itu, dilakukan penjemuran kedua. Proses penjemuran ini membutuhkan waktu 2 hari jika cuaca bagus, namun bisa lebih dari 4 hari saat cuaca seperti musim penghujan.
Proses terakhir adalah penggorengan. Dalam tahap ini, Aris mengatakan bahwa kesabaran diperlukan karena slondok yang sudah matang harus ditata terlebih dahulu sebelum dikemas.
“Kemasannya juga harus dikerjakan dengan sabar, diatur terlebih dahulu. Jadi semua prosesnya memang cukup lama, minimal 3 hari. Satu proses mengukus dan sebagainya, penjemuran 2 hari. Jadi proses minimal itu 3 hari, bisa lebih, bahkan bisa mencapai 5 hari sampai 1 minggu baru bisa dikonsumsi. Itulah kira-kira proses sederhana pembuatan Slondok,” ungkapnya.
Proses yang panjang ini sangat bergantung pada sinar matahari untuk proses pengeringan. Untuk musim yang tidak menentu dan curah hujan tinggi, seperti musim penghujan, proses produksi slondok cukup terhambat.
“Bagi yang masih menggunakan metode tradisional seperti saya, cuaca memang berpengaruh. Pernah saya gagal karena 4 hari berturut-turut matahari tidak muncul, sehingga slondok berjamur dan terpaksa harus dibuang. Saya pernah membuang 2 kali proses produksi. Selama 26 tahun, saya pernah membuang sampah dan malah harus membayar lagi,” terangnya.
Dorong Kesadaran Hidup Sehat di Tengah Masyarakat, UNIMMA Perkenalkan Terapi Komplementer |
![]() |
---|
Fikes UNIMMA Gelar Wisuda dan Angkat Sumpah, Hadirkan Tenaga Kesehatan Berintegritas |
![]() |
---|
Kronologi Kebakaran di Kompleks Wisata Borobudur Magelang, Api Berasal Dari Gudang Alat Kebersihan |
![]() |
---|
Polda Jateng Panggil Pelapor Kasus DRP, Remaja Korban Salah Tangkap dan 'Doxing' di Magelang |
![]() |
---|
UNIMMA Siapkan Inovator Bisnis Masa Depan Lewat Prodi Magister Manajemen dan Kewirausahaan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.