Banjir Demak Kudus
Ini Dua Rekomendasi Walhi Soal Banjir di Jateng: Kembalikan Fungsi Hulu dan Susun RTRW Berkeadilan
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah melakukan kajian terhadap banjir besar yang terjadi di beberapa daerah di Jateng.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah melakukan kajian terhadap banjir besar yang terjadi di beberapa daerah di Jateng.
Hasil kajian itu memberikan dua rekomendasi kepada pemerintah meliputi pengembalian fungsi kawasan hulu sebagai daerah resapan air dan daerah yang memiliki fungsi lindung.
Kemudian, menyusun struktur ruang dan penataan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sesuai dengan fungsi ruang lingkungan hidup yang berkeadilan.
"Iya, ada dua rekomendasi tersebut dari kajian cepat respon banjir di beberapa daerah di Jawa Tengah," kata aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, Nur Cholis, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/3/2024)
Rekomendasi tersebut berangkat dari bencana banjir yang menerjang hampir seluruh wilayah di Jawa Tengah di awal tahun 2024.
Daerah yang dilanda banjir merata mulai dari Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Grobogan, dan daerah lainnya.
"Pemerintah seakan tak pernah mengambil ikhtiar dari bencana yang telah terjadi," kata Cholis.
Menurutnya, pemerintah selalu menyatakan banjir disebabkan oleh luapan air sungai, tanggul jebol, sedimentasi sungai, infrastruktur sungai yang belum selesai dikerjakan, dan cuaca ekstrim.
Tidak ada statement atau respon yang jelas dan tegas menunjukkan bahwa ini disebabkan oleh alih fungsi lahan dan tata ruang yang serampangan.
"Selalu menyatakan banjir sebagai faktor teknis sekaligus memang takdir Tuhan yang tidak bisa dihindari," paparnya.
Padahal, lanjut dia, dari kajian yang dikerjakan oleh Walhi Jateng sepanjang tahun 2023, perubahan lanskap daerah hulu yang menjadi penopang resapan air untuk daerah bawah (hilir) kian mengerikan.
Setelah pesisir habis dan rusak karena industrialisasi yang masif, bagian tengah yang merupakan bentang pegunungan mulai dari Tegal hingga Karanganyar dan Rembang juga mulai dibabat untuk pembangunan, baik untuk proyek strategis nasional (PSN), industri, pertambangan, maupun proyek skala besar industri energi.
Sebagai satu kesatuan ruang wilayah, bencana banjir yang hampir mendominasi kawasan pantai utara (PANTURA) tidak bisa hanya dilihat sebatas persoalan teknis macam tanggul jebol.
Hal itu seperti yang terjadi Februari lalu saat banjir di Grobogan dan Demak yang menenggelamkan ribuan hektar sawah yang kemudian terancam gagal panen.
"Penyebab banjir harus dilihat bahwa ada proyek strategis nasional (PSN) Bendungan Jragung di Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Demak dan Grobogan telah membabat habis ratusan hektar kawasan hutan," tuturnya.
Begitupun banjir yang terjadi di Jepara, Pati, dan Blora yang sangat dekat sekali dengan kawasan pegunungan Karst Kendeng.
Karst Kendeng telah berubah menjadi daerah pertambangan bahkan pabrik semen.
Di daerah paling barat juga harus dilihat dari sisi perubahan hulu di Gunung Slamet yang menjadi industri pariwisata dan uji coba proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang menyebabkan banjir di daerah Brebes, Tegal, Pemalang dan Pekalongan.
Selanjutnya di Kota Semarang yang menjadi langganan bencana banjir bahkan pada tanggal 13 – 14 Maret bulan ini juga turut disebabkan oleh perubahan daerah hulu.
"Perubahan lanskap kawasan resapan air menjadi perumahan, tambang-tambang untuk menyuplai kebutuhan reklamasi pantai, PSN Bendungan dan Jalan Tol, serta industri juga menjadi satu penyebab yang sangat krusial," jelasnya.
Kebijakan Kontradiktif
Cholis mengatakan, berbagai bencana banjir besar yang terjadi tiap tahunnya tidak membuat pemerintah di Jawa Tengah segera mengambil langkah serius agar bencana yang meluas dan semakin tinggi ini tidak berulang.
Justru, beberapa kebijakan yang dibuat kontradiktif dengan bencana banjir yang terjadi, salah satunya dalam draf Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2023-2043 yang saat ini sedang dibahas.
Dalam Raperda tersebut, diketahui bahwa kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya (PTB) berkurang sebanyak 82.230 hektare (Ha), dari 107.286 Ha menjadi 25.056 Ha.
Kedua, Luasan kawasan konservasi dan cagar budaya berkurang seluas 19.093 Ha, dari 32.788 Ha menjadi 13.695 Ha.
"Pengurangan PTB, Kawasan Konservasi dan cagar budaya tersebut menunjukan bahwa sampai saat ini pemerintah belum melihat akar masalah banjir dan selalu menyalahkan curah hujan yang tinggi sebagai penyebab banjir," katanya.
Banjir Semarang
Cholis menuturkan, dalam konsep politicized environment persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi di mana masalah itu muncul.
Begitupun masalah lingkungan bukanlah masalah pengelolaan teknis semata.
Bencana ekologis berupa banjir di Jawa Tengah khususnya Semarang seringkali berulang setiap tahunnya.
Banjir ini tentunya berdampak terhadap ekonomi warga, seperti warga Rusunawa Kaligawe yang terpaksa menutup warung makannya.
Selain itu banjir juga mengakibatkan akses transportasi terhambat bahkan menyebabkan beberapa kendaraan rusak dan mogok.
Jika memotret persoalan banjir dengan menggunakan pendekatan ekologi politik maka penyebabnya bukan hanya curah hujan yang tinggi saja, dalam kacamata ekologi politik melalui pendekatan aktor ada beberapa asumsi dasar antara lain :
Pertama, biaya dan manfaat yang terkait dengan perubahan lingkungan dinikmati aktor secara tidak merata, Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya ketimpangan sosial dan dampak sosial ekonomi yang berbeda dari perubahan lingkungan tersebut.
Dalam hal ini, tentunya warga yang terdampak paling signifikan dirasakan oleh kelompok miskin, rentan, dan marginal.
"Hal ini penting kita lihat bahwa ketimpangan sosial ekologis sudah ada di depan mata," terangnya.
Asumsi kedua, persoalan lingkungan selalu berkaitan dengan kebijakan yang dihasilkan dari kontrak-kontrak politik.
Semarang dalam konteks kebijakan pengelolaan ruang cenderung serampangan, hal ini dapat dilihat dari berkurangnya kawasan Ruang Terbuka Hijau karena masifnya pembangunan di bagian Hulu atau bagian atas Kota Semarang meliputi Kecamatan Mijen, Gunungpati, Banyumanik dan Tembalang.
Dulunya, di tahun 2012 daerah ini digunakan sebagai lahan pertanian, kemudian di tahun 2016 wilayah Kecamatan Mijen mengalami perubahan secara masif dan sama hal nya pada tahun 2022 wilayah kecamatan Gunungpati dan gajah Mungkur beralih fungsi lahannya menjadi infrastruktur, permukiman dan bangunan.
"Padahal secara kebijakan pada RTRW kota Semarang tahun 2011-2031 ketiga kecamatan tersebut termasuk dalam kawasan resapan air sebagai penopang semarang bagian bawah," ungkapnya.
Ketiga, watak perekonomian yang kapitalistik dengan memaksakan perekonomian padat karya berupa industrialisasi maupun industri ekstraktif berupa tambang dan proyek energi kotor turut memberikan sumbangan terhadap penyebab bencana banjir.
"Pola perekonomian yang kapitalistik mendorong dan selalu hadir bersamaan dengan terjadinya krisis dan bencana," ujarnya.
Ia menyebut, melihat dari kacamata ekologi politik dengan melihat akar persoalan tentu menyalahkan intensitas hujan, tanggul jebol, ataupun sedimentasi sungai bukanlah tindakan yang bijaksana.
Statement-statement yang dikeluarkan pemerintah justru menunjukkan bahwa cara kerja dan pola pikir yang digunakan adalah sebatas teknikalisasi masalah.
Pola pikir tersebut menjelaskan bahwa berbagai macam persoalan lingkungan khususnya bencana banjir penyebabnya adalah faktor teknis dan penyelesaiannya bersifat teknis berupa membangun infrastruktur sungai, membenarkan tanggul, dan lainnya.
"Pemerintah tidak pernah ada kemauan pemerintah untuk membenarkan pola penataan ruang yang berkeadilan," tandasnya.
Senkom Mitra Polri Korda Banyumas Kirimkan Personel Pembersihan Paskabanjir Demak Bersama Bupati |
![]() |
---|
HAE IPB Komda Jawa Tengah Serahkan Bantuan untuk Korban Banjir Demak |
![]() |
---|
Kejaksaan Agung RI Berikan Ribuan Paket Sembako Untuk Korban Bencana Banjir Pantura |
![]() |
---|
Komisi VIII DPR Gerah Banjir Demak, Kudus dan Sekitarnya Jadi Bencana Rutin, Soroti Masalah Ini |
![]() |
---|
Bantuan Korban Banjir Kudus Terus Mengalir, Kini Giliran PT PLN |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.