Kisah Inspiratif
Tenun Wastra Cakro Manggilingan, Manfaatkan Daun Mangga dan Kulit Pohon Mahoni untuk Pewarna Alami
Rumah Petruk yang berada di Desa Troso, Kecamatan Pecanggan, Kabupaten Jepara, menjadi satu-satunya industri kain tenun Wastra Cakro Manggilingan
Penulis: Tito Isna Utama | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM -- Rumah Petruk yang berada di Desa Troso, Kecamatan Pecanggan, Kabupaten Jepara, menjadi satu-satunya industri kain tenun Wastra Cakro Manggilingan yang menggunakan pewarna alami.
Kain Cakro Manggilingan ini, menjadi satu diantara kain tenun yang ramah lingkungan.
Memanfaatkan kulit kayu mahoni sisa limbah pabrik yang tidak digunakan, di tangan Ahmad Karomi (34) bisa disulap menjadi pewarna alami untuk kain tenun Cakro Manggilingan.
Pemuda asal Desa Troso, Kecamatan Pecangaan, itu mengatakan bahwa awalnya ingin membuat kain tenun Cakro Manggilingan berawal dari kegelisahan melihat sungai di belakang rumah berwarna hitam pekat karena pencemaran limbah warna tekstil.
Kemudian pemuda asal Desa Troso, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara itu mencari informasi terkait penyelesaian tersebut.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Romi --panggilan Ahmad Karomi--belajar kepada sekelompok pembatik di Kendal dan melakukan pewarnaan batik dengan cara yang alami.
Mendapatkan ilmu itu, Romi mulai belajar untuk membuat pewarna alami.
Seiring waktu, ia bisa membuat pewarna kain tenun dengan memanfaatkan daun pohon mangga dan kulit pohon mahoni.
"Sudah hampir 4 tahun ini saya menekuni ini. Kira - kira sejak 2017," kata Romi kepada Tribunjateng, Selasa (4/6).
Dia menjelaskan penjualan kain tenun Wastra Cakro Manggilingan dengan pewarna alami memang susah. Menurutnya, memang untuk segmen peminatnya memang kecil dan memiliki pasar menengah ke atas.
Tapi, kata dia, di samping itu nilai jualannya tetap memberikan keuntungan yang lumayan. "Yang kecil Rp 100 ribu. Yang ukuran 60 cm Rp 350 ribu. kalau yang lebar 1 meter panjang 225 cm harganya Rp 850 ribu," ucapnya.
Untuk pendapatan, kata dia, tidak bisa memastikan jumlah pastinya. Pasalnya, penjualan produknya juga harus bersaing dengan kain tenun dengan pewarna sintetis.
Tidak dipungkiri, banyak orang lebih memilih kain dengan pewarna sintetis. Karena dari segi kecerahan warna, pewarna sintetis lebih unggul dibandingan pewarna alami yang sedikit redup.
Dia mengakui banyak tantangan menggunakan bahan pewarna alami. Selain persaingan jual, juga pada prosesnya. Satu lembar kain bisa menghabiskan waktu kurang lebih 1 bulan.
Tidak seperti menggunakan pewarna sintesis yang tinggal campur, menggunakan pewarna alami harus mengumpulkan bahan-bahan warnanya, kemudian baru diolah.
Dari kenekatannya memasarkan kain Tenun Troso dengan pewarna alami tak hanya mengundang pelanggan.
Sejumlah mahasiswa dari kampus kesenian juga ada datang ke rumahnya untuk mengetahui proses pewarnaan kain Tenun Troso dengan bahan alami.
"Ada yang dijadikan penelitian skiripsi dan tugas akhir kuliah," ujarnya.
Ha-hal yang membuat orang luar kota datang ke tempatnya untuk mengorek lebih dalam soal pewarna alami kain Tenun membuatnya bangga dan puas. (Ito)
Baca juga: Buah Bibir : Catherine Wilson tentang Gugatan Nafkah Rp 800 Juta Ditolak
Baca juga: Kata Kaesang soal Maju Pilkada Jakarta: Tunggu Kejutannya di Bulan Agustus
Baca juga: AS dan Arab Suadi Kerjasama untuk Membuka Kembali Pembicaraan Normalisasi antara Saudi dan Israel
Baca juga: HEBOH! 27 Ekor Kambing Dimakan Macan Tutul Jawa
Sosok Bisyarah, Taruni Akmil Peraih Anindya Wiratama 2025, Pernah Gagal Daftar Akpol |
![]() |
---|
Dari Terpal Kecil ke Kolam Impian: Kisah Ahmad Manshur dan Rintis Bisnis Sepulang Kerja |
![]() |
---|
Resep Mahasiswa Kedokteran UGM Raih IPK 4.00: Manajemen Waktu, Visi Hidup, dan Daya Juang Tinggi |
![]() |
---|
Sosok Gadis Putus Kuliah Geser Taylor Swift dari Daftar Orang Terkaya Versi Forbes Tahun Ini |
![]() |
---|
Tampang Ahmad Bajuri, Kades Mungil dari Kalimantan yang Viral dan Menginspirasi di Media Sosial |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.