Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jateng

Keluh Buruh Pabrik Semarang Sistem Kerja Tak Full Mau Dipotong Tapera? Ngatimin: Semakin Nelangsa 

Sebagai buruh pabrik dengan gaji tak seberapa, Ngatimin harus berjibaku di tengah melambungnya harga kebutuhan hidup

|
Penulis: budi susanto | Editor: muslimah

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sepeda motor era 2000 an menjadi saksi bisu Ngatimin mencukupi kebutuhan keluarga.

Sebagai buruh pabrik dengan gaji tak seberapa, Ngatimin harus berjibaku di tengah melambungnya harga kebutuhan hidup.

Sistem kerja tak penuh hingga potongan gaji seolah melekat dirasakan oleh Ngatimin.

Ditambah lagi adanya wacana mengenai Tapera, membuat Ngatimin semakin pesimis.

Sebagai tulang punggung keluarga ia merasa, kehidupan sebagai buruh pabrik semakin nelangsa.

Baca juga: Menteri PUPR dan Menteri Keuangan Sepakat Tapera Ditunda: Tak Perlu Tergesa-gesa

Baca juga: Buruh Jateng Gelar  Aksi Tolak Tapera, Aulia: Program Ngawur dan Paksaan

"Di pabrik saya bekerja tidak penuh hanya 15 hari kerja dan sisanya diliburkan. Hal tersebut sudah berjalan hampir 10 tahun," ucapnya di kediaman yang terletak di Tegal Rejo, Tambak Aji, Ngaliyan Kota Semarang, Jumat (7/6/2024).

Dengan sistem kerja tersebut, upah yang diterimanya hanya separuh di angka Rp 1,6 juta setiap bulan.

Menurutnya, upah tersebut tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Apalagi Ngatimin masih menyekolahkan satu anak dan mencukupi kebutuhan istrinya.

Ia mengatakan, upah yang ia terima sudah terpotong jaminan sosial baik kesehatan maupun ketenagakerjaan.

"Kalau dipotong lagi 2,5 persen untuk Tapera entah apa jadinya nanti," jelasnya.

Ngatimin berujar, Tapera semakin memberatkan buruh pabrik.

Bahkan ia tak tahu menahu fungsi Tapera untuk apa dan pemanfaatannya.

Ia mengatakan, sangat mustahil potongan 2,5 persen untuk membeli rumah.

"Kalau 2,5 persen UKM Kota Semarang berarti Rp 80 ribu perbulan. Butuh ratusan tahun untuk bisa membeli rumah. Sangat mustahil menurut saya," terangnya.

Tak hanya Ngatimin, sejumlah federasi buruh di Jateng juga menolak penerapan Tapera.

Buruh menganggap, konsep Tapera berbeda dengan menabung. Bahkan asa indikasi Tapera adalah pungutan pemaksaan.

"Kalau pemerintah tetap ngotot Tapera diterpakan tanpa memperhatikan nasib pekerja. Hanya satu cara yang bisa kami lakukan yaitu melawan," tegas Aulia Hakim Sekertaris KSPI Jateng.

Aulia juga meminta wacana penerapan Tapera pada 2027 tak dilaksanakan dan program tersebut dihapuskan.

Dipaparkannya, bukan rakyat yang seharusnya membantu penyediaan perumahan.

"Itu tugas pemerintah, bukan rakyat yang dibebani. Lebih baik memaksimalkan iuran yang sudah berjalan dan membenahi sistem pemerintahan untuk merubah nasib para pekerja," imbuhnya.

Data yang dihimpun Tribunjateng.com, jumlah pekerja di Jateng pada 2023 tembus di angka 19,9 juta lebih.

Jika dihitung rata-rata, potongan untuk Tapera 2,5 persen di Jateng mencapai Rp 60 ribu per pekerja.

Alhasil, potongan Tapera yang terkumpul dari pekerja di Jateng yang mencapai 19,9 juta lebih hampir tembus Rp 1,2 triliun setiap bulannya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved