Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

Tantangan Pengawasan Sekolah terhadap Kualitas Pengajaran Bahasa Inggris di Era AI

Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Bahasa Konsentrasi Bahasa Inggris Universitas Negeri Semarang (UNNES) dan Penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendi

Editor: m nur huda
Istimewa
Surya Agung Wijaya, Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Bahasa Konsentrasi Bahasa Inggris Universitas Negeri Semarang (UNNES) dan Penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Indonesia 

Oleh: Surya Agung Wijaya

(Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Bahasa Konsentrasi Bahasa Inggris Universitas Negeri Semarang (UNNES)
dan Penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Indonesia)

TRIBUNJATENG.COM - Di Indonesia, praktik pengawasan sekolah diatur oleh pemerintah melalui UU PP 19/2005 dan PP 57/2021. Tujuan pengawasan sekolah meliputi pemantauan, evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjut hasil supervisi dari aspek manajerial sekolah dan akademik. Namun, praktik pengawasan sekolah terhadap guru Bahasa Inggris di laksanakan oleh pengawas yang mungkin background pendidikannya berbeda dengan guru Bahasa Inggris yang di bimbing.

Pada dasarnya, mengajar Bahasa Inggris memiliki pendekatan pengajaran yang berbeda dengan pelajaran lainnya dan aspek-aspek yang harus diperhatikan oleh guru Bahasa Inggris di sekolah.

Pengajaran Bahasa Inggris secara paradigmatik dikonstruksikan oleh teori behaviorisme, kognitivisme, humanisme, dan konstruktivisme. Dalam konteks pengajaran Bahasa Inggris, teori behaviorisme menjadi titik tolak metode audiolingual yang menekankan pada pengulangan dan pemberian umpan balik secara langsung ketika siswa melakukan ke salahan dalam Bahasa Inggris.

Namun, Bagheri (2019) menemukan kesulitan siswa dalam meningkatkan keterampilan berbicara dalam Bahasa Inggris menggunakan metode audiolingual karena umpan balik secara langsung membuat siswa takut berbicara dan membuat kesalahan. Gagasan kognitivisme muncul untuk mengkritik model-model pembelajaran berdasarkan kognitivisme yang di anggap tidak cukup untuk menjelaskan pemerolehan bahasa.

Teori kognitif berkembang seputar proses mental termasuk berpikir, mengingat, mengetahui, dan keterampilan memecahkan masalah dimana pembelajaran ditentukan oleh kapasitas individu. Lebih lanjut, publikasi terbaru tentang teori kognitif menyarankan siswa memerlukan alih kode dalam proses belajar bahasa untuk menyesuaikan keterlibatan mereka terhadap pengetahuan lama dan baru (Immanuel, 2023).

Teori humanisme berfokus pada pembelajaran siswa berdasarkan pengembangan perasaan dan emosi positif. Paradigma ini dipersempit menjadi beberapa pendekatan pengajaran termasuk silent way, suggestopedia, and community language learning.

Suggestopedia menekankan pada penciptaan lingkungan belajar yang nyaman, sehingga siswa dapat merasakan pembelajaran yang santai dan nyaman (contoh: menggunakan media musik untuk membangun ketenang siswa dalam belajar). Lebih lanjut, guru Bahasa Inggris dapat memberikan kata-kata penyemangat, menggunakan imajinasi, dan menggunakan gambar untuk memvisualisasikan makna bahasa (Colliander, 2021; Humeniuk, 2023; Ivanova, 2021).

Sedangkan yang terakhir, teori konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan tidak diberikan begitu saja, tetapi siswa perlu aktif dalam belajar dan menggunakan proses mentalnya. Di mana untuk mencapai siswa yang aktif dan mandiri di perlukan beberapa langkah karena guru Bahasa Inggris tidak bisa secara ajaib membangun budaya siswa yang aktif dan mandiri dalam belajar Bahasa Inggris, menurut Vygotsky (1978) langkah tersebut terdiri dari pembelajaran yang “object-regulated”, “other-regulated”, dan “self-regulated”.

Pada tahap pertama, “object-regulated”, peran guru masih sangat penting dalam memberikan instruksi pembelajaran dan memberikan konteks pembelajaran kepada siswa. Pada tahap berikutnya “other-regulated”, peran guru mulai berkurang lebih menekankan pada kegiatan berpusat pada siswa dan guru sebagai mediator. Dan yang terakhir, “self-regulated”, siswa sudah memahami apa yang mereka butuhkan dan apa yang akan mereka lakukan untuk memenuhi belajar Bahasa Inggris secara mandiri.

Pengajaran bahasa komunikatif (CLT) merupakan salah satu pendekatan yang dikembangkan berdasarkan teori konstruktivisme. CLT memungkinkan guru untuk beralih dari berorientasi pada penilian summative ke penilaian dengan pengembangan atau formative (Yung, 2023; Taridi, 2023). Penting rasanya untuk seorang pengawas sekolah khususnya yang memberikan penilian dan mengevaluasi praktik guru di sekolah memahami sejarah, teori, dan praktik dalam pembelajaran Bahasa Inggris sehingga masukkan yang diberikan akan jauh lebih bermakna bagi guru.

Namun, dari literatur yang ada, tidak banyak penelitian yang melaporakan praktik pengawasan sekolah dalam pengajaran Bahasa Inggris dilakaukan oleh ahli di bidang Bahasa Inggris karena banyak penelitian melaporkan supervisi dilakukan hanya dengan kepala sekolah (Ahmad & Nasution, 2017; Noor et al., 2020; Siahaan et al., 2021). Oleh karena itu, pengajaran bahasa Inggris di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga karena banyak dosen pembimbing yang bukan berasal dari pengajaran bahasa Inggris.

Meskipun mereka mengunjungi kelas, mereka tidak dapat memberikan umpan balik yang khusus dalam pembelajaran bahasa Inggris. Kondisi di Indonesia saat ini, menurut The English Proficiency Index (EPI) dikutip dari https://www.ef.com/wwen/epi/, Indonesia berada di posisi 79 dari 113 negara yang masuk dalam kelompok low proficiency di tahun 2023.

Kemampuan berbahasa Inggris orang Indonesia tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam di posisi 58, Hong Kong di posisi 29, Malaysia di posisi 25, dan Singapura di posisi ke 2. Kondosi ini menjadikan pekerjaan rumah besar bagi setiap pemangku kebijakan di negeri ini, baik dari pembuat peraturan, pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru Bahasa Inggris.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved