Opini
OPINI DR Agustyansyah : Strategi Mengatasi Stunting Menjadi 0 Persen, Mungkinkah?
Stunting, kondisi di mana anak mengalami pertumbuhan terhambat akibat malnutrisi kronis, merupakan masalah serius di Indonesia
Oleh Dr Agustyarsyah, S.SiT, S.H., M.P.
Penjabat (PJ) Bupati Tegal
STUNTING, kondisi di mana anak mengalami pertumbuhan terhambat akibat malnutrisi kronis, merupakan masalah serius di Indonesia. Dampak jangka panjangnya memengaruhi kesehatan fisik, kognitif, dan kualitas hidup seseorang.
Pemerintah Indonesia telah menargetkan penurunan prevalensi stunting hingga 14 persen pada 2024 melalui intervensi spesifik seperti pemberian makanan tambahan, serta intervensi sensitif di sektor air bersih, sanitasi, dan edukasi gizi. Untuk mencapai target 0 persen , strategi inovatif berbasis dekomposisi diusulkan, membagi tanggung jawab hingga tingkat terkecil dalam masyarakat
Urgensi penanganan stunting dilakukan oleh semua pemerintah daerah, tak terkecuali di Jawa Tengah. Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Provinsi Jawa Tengah semester 1 tahun 2024 melaporkan bahwa persentase pemerintah daerah kabupaten/kota yang menyediakan kebijakan/peraturan bupati/wali kota tentang kewenangan desa/kelurahan dalam penurunan stunting mencapai 100 persen . Kemudian, persentase jumlah pemerintah daerah kabupaten/kota yang meningkatkan alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk percepatan penurunan stunting mencapai 11,4 persen .
Bila dilihat lebih kecil lagi, misalnya di Kabupaten Tegal, angka prevalensi stunting Kabupaten Tegal berdasarkan hasil aplikasi elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat atau e-PPGBM berkurang 1,7 persentase poin, dari 18,3 persen di akhir tahun 2023 menjadi 16,60 % pada pertengahan tahun 2024. Sedangkan, berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) selama tiga tahun terakhir, angka stunting Kabupaten Tegal berkurang 6,5 persentase poin, dari 28 % di tahun 2021 menjadi 22,3 % di tahun 2022, dan 21,5 % di tahun 2023.
Stunting membutuhkan perhatian besar dari berbagai pihak, terutama pemerintah daerah dan masyarakat. Dalam konteks ini, saya menawarkan pemikiran tentang strategi yang inovatif dan optimistis untuk mencapai target stunting 0?ngan memecah sasaran besar menjadi bagian-bagian kecil melalui pendekatan dekomposisi. Langkah-langkah dan elemen dalam melaksanakan strategi ini dijabarkan sebagai berikut.
Optimisme Sebagai Landasan Gerakan
Optimisme merupakan elemen penting dalam setiap gerakan perubahan, termasuk dalam upaya mengatasi stunting. Sikap optimistis ini terlihat dari keyakinan bahwa meskipun mayoritas orang berpikir stunting tidak bisa dihapuskan sepenuhnya, tetapi dengan pendekatan yang tepat, target stunting 0?pat dicapai.
Optimisme ini bukan hanya soal semangat, tetapi juga strategi untuk membangun kepercayaan diri tim stunting di berbagai level, mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, desa, hingga Rukun Warga (RW), dan Rukun Tetangga (RT). Dengan optimisme yang dibangun dari atas sampai bawah, setiap elemen dalam masyarakat akan merasa memiliki tanggung jawab dan keyakinan bahwa masalah stunting dapat diatasi.
Optimisme ini memiliki dasar ilmiah. Dweck (2006) dalam studinya tentang “Growth Mindset” menemukan bahwa individu atau kelompok yang percaya bahwa mereka dapat berkembang dan mengatasi tantangan lebih cenderung berhasil mencapai tujuan mereka.
Dalam konteks penanganan stunting, optimisme di setiap level pengambil kebijakan hingga masyarakat dapat memengaruhi kesuksesan program intervensi yang dilakukan.
Strategi Dekomposisi: Memecah Sasaran Menjadi Bagian Kecil
Sasaran besar, yakni mengurangi angka stunting di seluruh kabupaten, dipecah menjadi bagian kecil di level yang lebih rendah. Pada level kabupaten, tim stunting bertugas menangani masalah stunting dengan lingkup yang luas. Namun, ketika ditanya apakah stunting bisa ditekan hingga 0 % di tingkat kabupaten, banyak yang pesimistis karena cakupan kerja yang terlalu besar.
Oleh karena itu, strategi dekomposisi diterapkan dengan cara menurunkan level tanggung jawab ke tingkat kecamatan, desa, RW, dan RT.
Pada tiap tingkatan, pertanyaan "apakah bisa stunting mencapai 0 % ?" terus ditanyakan. Pada awalnya, jawaban cenderung negatif di tingkat kabupaten dan kecamatan. Namun, ketika cakupan tanggung jawab semakin kecil, optimisme mulai tumbuh. Misalnya, di tingkat desa, beberapa kepala desa menjawab bahwa desa mereka bisa bebas dari stunting, meski masih ada RW atau RT yang sulit dikondisikan.
Di sini, tim stunting diperkuat di level yang lebih rendah dengan memberikan apresiasi dan insentif pembangunan kepada desa-desa yang berhasil menurunkan angka stunting.
Pendekatan dekomposisi ini sejalan dengan teori manajemen "Group Dynamics for Teams" (Levi, 2001) yang menyatakan bahwa masalah besar dapat dipecahkan dengan lebih efektif jika dibagi menjadi sub-masalah yang lebih kecil dan spesifik. Dengan memfokuskan perhatian pada unit terkecil, yakni RT dan RW, strategi ini memungkinkan
penanganan masalah dengan lebih rinci dan terukur.
Penerapan Unit Terkecil: RT dan RW sebagai Ujung Tombak
Dalam strategi dekomposisi ini, perhatian difokuskan pada unit terkecil, yaitu RT dan RW. Setiap RT dan RW diberi amanah untuk membentuk tim khusus penanganan stunting. Salah satu contoh yang telah berhasil diterapkan di Kabupaten Tegal adalah "Rumah Anak SIGAP" di Desa Tuwel, yang didukung oleh Tanoto Foundation. Salah satu peran Rumah Anak SIGAP adalah sebagai pusat penanganan stunting di tingkat desa.
Program ini berfokus pada mendukung tumbuh kembang optimal anak usia 0-3 tahun, sebuah periode krusial di mana anak memerlukan gizi yang tepat dan stimulasi yang optimal agar terhindar dari stunting. Rumah Anak SIGAP menawarkan berbagai layanan yang dirancang untuk membekali keluarga dengan keterampilan pengasuhan yang berpusat pada pemenuhan hak anak, termasuk kegiatan kelompok tematik, stimulasi melalui permainan, pendampingan personal, kunjungan rumah, serta berbagai kegiatan lain yang terintegrasi dengan layanan
kebutuhan esensial anak. Model ini dapat diadaptasi di setiap RT dan RW, dengan pembentukan pusat penanganan stunting yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan lokal.
Skema ini menekankan pentingnya kepedulian dari setiap anggota masyarakat di level RT dan RW, serta menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap masalah stunting. Dengan demikian, jargon "0 % stunting" tidak hanya menjadi slogan di tingkat kabupaten, tetapi juga di level terkecil dalam masyarakat.
Dengan strategi ini, diharapkan gerakan melawan stunting dapat menyebar secara masif dan berdampak pada penurunan stunting di tingkat kabupaten. Penguatan Kapasitas dan Apresiasi untuk Unit Kecil yang Sukses Sebagai bagian dari strategi ini, apresiasi dan insentif diberikan kepada RT, RW, atau desa yang berhasil mencapai target bebas stunting. Hal ini penting untuk mendorong keberlanjutan gerakan dan memberi motivasi kepada unit-unit lain yang masih berjuang.
Pendekatan ini mirip dengan teori reinforcement dalam psikologi Skinner (1953) dalam Science and Human Behavior yang menyatakan bahwa perilaku yang diberikan penghargaan cenderung lebih mungkin diulang (Skinner, 1953). Dengan memberikan penghargaan kepada unit terkecil yang sukses, strategi ini bertujuan untuk memperluas
keberhasilan ke unit lain.
Selain itu, penguatan kapasitas tim penanganan stunting di setiap level juga sangat krusial. Tim ini perlu diberikan pelatihan, dukungan sumber daya, serta akses terhadap data dan informasi yang relevan agar mereka bisa bekerja secara efektif. Salah satu pendekatan yang dapat diambil adalah dengan menggunakan data real-time untuk memantau kondisi stunting di setiap wilayah, sebagaimana yang diterapkan dalam berbagai program berbasis data di beberapa negara berkembang (World Bank, 2020).
Mengapa Stunting Harus Segera Ditangani?
Stunting memiliki dampak jangka panjang yang signifikan. Anak-anak yang mengalami stunting tidak hanya mengalami hambatan pertumbuhan fisik, tetapi juga gangguan perkembangan kognitif. Kondisi ini dapat memengaruhi kemampuan mereka dalam berpikir kritis dan membuat keputusan strategis di masa mendatang.
Bahkan jika seorang anak yang pernah mengalami stunting berhasil tumbuh normal secara fisik, dampak negatif pada kemampuan kognitif mungkin tetap ada, yang pada akhirnya bisa memengaruhi kualitas hidup mereka di kemudian hari. Studi yang dilakukan oleh Grantham-McGregor et al. (2007) dalam buku Developmental Potential in the First 5 Years for Children in Developing Countries menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami stunting memiliki risiko lebih tinggi mengalami hambatan dalam proses belajar dan prestasi akademik.
Dalam jangka panjang, mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam mengakses pekerjaan yang layak, yang pada
gilirannya memengaruhi produktivitas ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, pencegahan stunting harus dilihat sebagai investasi jangka panjang dalam pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Strategi untuk mencapai target 0 % stunting melalui pendekatan dekomposisi dan optimisme adalah sebuah langkah inovatif yang layak diimplementasikan. Dengan memecah target besar menjadi unit-unit yang lebih kecil, tantangan stunting yang sebelumnya tampak sulit diatasi dapat dihadapi dengan pendekatan yang lebih terukur dan fokus.
Sikap optimistis juga sangat penting karena mampu membangun kepercayaan diri di semua tingkatan, mulai dari kabupaten hingga RT dan RW. Pemberian apresiasi kepada unit-unit kecil yang berhasil, serta penguatan kapasitas tim penanganan stunting di setiap tingkat, akan menjadi faktor kunci dalam mencapai keberhasilan strategi ini. (*)
Pemberdayaan Kader Kesehatan Jiwa: Menopang Caregiver dan Membangun Kemandirian Ekonomi |
![]() |
---|
Komik Audio Visual, Cara Kreatif Guru Tingkatkan Literasi Numerasi Siswa |
![]() |
---|
Layanan Digital Tingkatkan Kepatuhan Pajak, DJP Dorong Wajib Pajak Beradaptasi |
![]() |
---|
Sudah Seberapa Soedirman Kah Kita? Refleksi Sudirman Said di Tanah Kelahiran Jenderal Soedirman |
![]() |
---|
PGSD dan Era Digital: Mencetak Generasi Kritis, Kreatif, dan Kolaboratif |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.