Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

READERS NOTE

Kekerasan Seksual dan Media Sosial

Penting bagi media massa dan media sosial untuk lebih bijaksana dalam menyampaikan informasi terkait kekerasan seksual. Tidak hanya mematuhi kode etik

Editor: iswidodo
tribunjateng/pribadi
Hadaina Mahasiswa S2 Psikologi Sains Unika Soegijapranata 


Kekerasan Seksual dan Media Sosial
oleh Hadaina
Mahasiswa S2 Psikologi Sains Unika Soegijapranata

JIKA kita ketik kata "rudapaksa" di google maka akan mendapatkan kasus tersebut hampir di setiap kota dan daerah di Indonesia. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), tercatat bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak mengalami peningkatan signifikan.
Pada rentang Januari hingga Juni 2024, terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak, di mana kekerasan seksual mendominasi. Data ini diperkuat oleh Anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro, memaparkan data survei yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Ia menyatakan, sepanjang 2023, ada 29.883 kasus kekerasan seksual di tanah air. Kasus ini mencakup korban anak perempuan sebanyak 5.552 orang dan anak laki-laki sebanyak 1.930 orang, Tak sedikit yang melibatkan anak di bawah umur, baik pelaku maupun korban. Bahkan banyak di antaranya yang inses atau masih hubungan sedarah.
Peran Media
Sorotan terhadap kekerasan seksual ini tak hanya menyasar kasus-kasusnya, tetapi juga bagaimana media memberitakannya. Baru-baru ini, Dewan Pers memberi peringatan cukup serius, yakni mereka mengingatkan media hati-hati beritakan kasus kekerasan seksual.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan, Undang-Undang Kekerasan Seksual, sudah ada. Akan tetapi, peraturan pers terkait kekerasan seksual malah belum ada. Bahkan beberapa jurnalis seperti hendak menyembunyikan dan mungkin beranggapan tidak perlu ada aturan seperti ini.
Maraknya pemberitaan kekerasan seksual banyak ditemukan pelanggaran etika jurnalistik dalam penyampaian berita, seperti pengungkapan identitas korban, detail kronologi yang berlebihan, hingga penggunaan judul sensasional yang hanya bertujuan menarik perhatian pembaca.
Padahal, kode etik jurnalistik sudah jelas mengatur agar wartawan menghormati pengalaman traumatis korban dan tidak memublikasikan informasi yang dapat membahayakan mereka. Tidak semua media massa punya kesadaran akan arti penting pemberitaan kekerasan seksual dan anak. Seharusnya pasal 5 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) benar-benar menjadi pagangan wartawan dalam memberitakan kekerasan seksual.
Pasal 5. "Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan."
Media Sosial
Masalah ini diperburuk dengan peran media sosial yang nyaris tanpa pengawasan. Banyak informasi mengenai kekerasan seksual dibagikan dengan cara yang tidak bijak, bahkan vulgar, sehingga tanpa sadar dapat memberikan pengaruh negatif, terutama pada remaja. Saat media massa memperketat sensor pemberitaan justru media sosial vulgar dan lebih cepat.
Teori psikologi, seperti yang dikemukakan oleh Albert Bandura dalam pembelajaran sosial, menjelaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan meniru perilaku yang sering mereka amati. Ketika remaja terus-menerus terpapar konten tentang kekerasan seksual tanpa sensor atau edukasi yang memadai, risiko mereka meniru perilaku ini menjadi lebih besar, terutama bagi mereka yang berada dalam kondisi rentan.
Di sisi lain, paparan berita kekerasan seksual secara terus-menerus juga bisa menimbulkan efek desensitisasi, di mana masyarakat menjadi "mati rasa" terhadap kasus-kasus ini. Fenomena ini dapat menurunkan empati terhadap korban dan membuat kekerasan seksual terlihat sebagai sesuatu yang biasa terjadi. Kondisi ini tentu menjadi tantangan besar dalam upaya mencegah kekerasan seksual sekaligus melindungi korban.
Edukasi Publik
Penting bagi media massa dan media sosial untuk lebih bijaksana dalam menyampaikan informasi terkait kekerasan seksual. Tidak hanya mematuhi kode etik jurnalistik yang ada, media massa perlu lebih proaktif memberikan edukasi kepada publik, misalnya dengan menyisipkan informasi tentang bagaimana mendukung korban atau langkah-langkah pencegahan.
Media sosial juga harus mulai menerapkan kebijakan yang lebih ketat, seperti pembatasan konten yang terlalu vulgar atau eksplisit, edukasi untuk kreator konten agar lebih bertanggung jawab, serta sistem pengaduan yang cepat tanggap terhadap konten berbahaya. Mungkin seharusnya sudah harus ada regulasi hukum dalam menggunakan penyebaran berita lewat media sosial seperti yang diberlakukan pada media massa, sebagai salah satu tindakan preventif.
Sebagai pengguna media, masyarakat juga harus dibekali literasi psikologis yang memadai. Kemampuan untuk memahami dampak emosional dari berita yang dikonsumsi dapat membantu individu menyaring informasi dengan lebih bijak, sehingga risiko terpengaruh oleh konten negatif dapat diminimalkan.
Meningkatnya kasus kekerasan seksual adalah masalah serius yang membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Pemberitaan yang masif memang memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak membawa dampak negatif. Dengan sinergi antara media, masyarakat, dan pemerintah, kita dapat menciptakan lingkungan informasi yang lebih aman, sekaligus melindungi masyarakat dari pengaruh buruk pemberitaan yang tidak etis. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved