Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Readers Note Prof Ahmad Musyafiq : Solusi Isra Mi'raj

ISRA MI'RAJ dapat dipandang sebagai cara untuk mendatangkan solusi dari berbagai masalah yang muncul dalam rangka menggapai cita-cita

Istimewa
READER NOTE -- Prof. Dr. H. Ahmad Musyafiq, M.Ag., resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Ulumul Hadis Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang. 

Oleh Prof Ahmad Musyafiq
Guru Besar Ilmu Hadis UIN Walisongo Semarang

ISRA MI'RAJ dapat dipandang sebagai cara untuk mendatangkan solusi dari berbagai masalah yang muncul dalam rangka menggapai cita-cita.

Beberapa saat setelah Nabi Muhammad SAW mempublikasikan diri sebagai rasul, tindak lanjut dari perintah untuk berdakwah secara terbuka, gangguan kaum kafir Quraisy datang bertubi-tubi dengan intensitas yang makin berat.

Beratnya gangguan itu menjadi terasa berlipat setelah Allah SWT mengambil istri tercinta Sayyidah Khadijah dan Pamanda Abu Thalib, dua orang yang selama ini menjadi back up perjuangan beliau.

Maka di suatu malam tanggal 27 Rajab di tahun 3 Sebelum Hijrah (menurut salah satu pendapat), Nabi Muhammad SAW dibimbing oleh Allah SWT untuk menghadapi masalah yang super berat itu melalui Isra` dan Mi’raj.

Sebuah peristiwa yang maknanya bisa, dan seharusnya, ditiru oleh siapapun, lebih-lebih di era post truth ini.
Solusi Horizontal

Isra' didefinisikan oleh para ulama sebagai peristiwa dimana Allah SWT memperjalankan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha (QS al-Isra` 17: 1) dengan “pesawat super canggih” bernama Buraq dan dipandu oleh Malaikat Jibril AS.

Beliau menempuh jarak sekitar 1.500 km ditambah dengan perjalanan “transisi” menuju Sidratul Muntaha, hanya dalam sebagian malam.

Dalam konteks penyelesaian masalah, Isra` ini mengandung makna solusi horizontal. Yakni penyelesaian masalah yang dilakukan dengan menggali potensi-potensi yang terkandung dalam, dan berjejaring dengan, lingkungan fisik.

Terkait dengan solusi ini, ada beberapa ajaran dalam Islam, antara lain: Pertama, berwisata. Dalam al-Quran ada banyak ayat yang berisi pentingnya melakukan perjalanan di muka bumi untuk mengambil pelajaran (Misalnya QS Ali Imran 3: 137).

Pada peristiwa itu, Nabi Muhammad SAW berwisata dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. 

Maknanya berwisata dari satu tempat ke tempat lain yang mengandung makna dan nilai spiritual. “Semua bumi Allah adalah masjid”, begitu penegasan beliau.

Kedua, bersilaturrahmi dengan pengertiannya yang genuine, yakni berkunjung ke tempat yang dikunjungi.

Dalam perjalanan Isra`, sesampai di Masjidil Aqsha, Nabi Muhammad SAW melakukan “reuni” bersama seluruh nabi dan rasul. Bahkan mereka sempat salat berjamaah, dimana beliau didapuk menjadi imam.

Di sejumlah langit, dalam perjalanan transisi menuju Sidratul Muntaha, beliau bahkan diberi kesempatan untuk berdialog lagi dengan beberapa rasul dalam durasi yang lebih panjang.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved