UIN SAIZU Purwokerto
Merawat Harmoni di Tengah Perbedaan: Refleksi Waisak dan Moderasi Beragama
Opini Merawat Harmoni di Tengah Perbedaan: Refleksi Waisak dan Moderasi Beragama, tulisan Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy.
Merawat Harmoni di Tengah Perbedaan: Refleksi Waisak dan Moderasi Beragama
Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy
Akademisi UIN Saizu Purwokerto
Hari ini, sebagian saudara kita yang beragama Buddha merayakan Hari Raya Waisak, sebuah momen suci yang memperingati tiga peristiwa penting dalam kehidupan Siddhartha Gautama: kelahiran, pencerahan, dan wafatnya.
Waisak adalah waktu yang tidak hanya merefleksikan pencarian makna hidup, tetapi juga menekankan nilai-nilai universal seperti kasih sayang, kebijaksanaan, dan pengendalian diri.
Dalam konteks keindonesiaan, Waisak menjadi momen penting bagi kita semua untuk kembali merenungkan arti keberagaman dan toleransi.
Sebagai bangsa dengan komposisi umat beragama yang majemuk, Indonesia telah menjadikan perbedaan sebagai fondasi kebersamaan, sebagaimana termaktub dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam semangat ini, umat Islam diajak untuk meneladani ajaran Rasulullah SAW yang menjunjung tinggi toleransi dan kasih sayang kepada semua umat manusia, termasuk kepada pemeluk agama lain.
Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa keragaman adalah bagian dari kehendak Ilahi: “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Ayat ini memberi pesan bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan jalan menuju saling pengertian dan kerja sama. Maka, memperkuat moderasi beragama menjadi ikhtiar penting dalam merawat kebangsaan dan kedamaian.
Waisak tahun ini kembali dipusatkan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah candi Buddha terbesar di dunia dan salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang diakui UNESCO sejak 1991.
Candi ini adalah kebanggaan bangsa Indonesia sekaligus kiblat spiritual umat Buddha Mahayana dari berbagai negara, seperti Thailand, Sri Lanka, Myanmar, India, Nepal, hingga Jepang.
Perayaan Waisak di Borobudur bukan hanya acara keagamaan, tetapi juga wujud konkret dari harmoni sosial dan kerukunan umat beragama.
Menariknya, Candi Borobudur berada di tengah-tengah wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun, justru dari sinilah pesan besar tentang toleransi dan moderasi beragama bisa kita petik.
Setiap tahun, rombongan bhikkhu yang melakukan ritual Thudong (jalan kaki ribuan kilometer dari berbagai negara) disambut hangat oleh masyarakat sekitar, bahkan oleh pengurus masjid-masjid yang turut membantu menyediakan tempat istirahat dan makanan.
Pemandangan ini menegaskan bahwa toleransi bukan sekadar slogan, melainkan praktik nyata yang tumbuh dari nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia.
Moderasi beragama sendiri merupakan salah satu program prioritas Kementerian Agama Republik Indonesia. bahkan bisa juga untuk menjadikan Borobudur sebagai rumah ibadah umat Buddha dunia.
Ini menunjukkan pengakuan negara terhadap hak-hak keagamaan warga negara, sekaligus memperkuat posisi Indonesia sebagai pelopor perdamaian dan toleransi antarumat beragama di dunia.
Penting dipahami, bahwa meskipun ajaran Buddha tidak mengenal konsep Tuhan Pencipta sebagaimana dalam agama-agama Samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi), nilai-nilai universal seperti cinta kasih, pengendalian diri, dan kebajikan adalah jembatan yang menghubungkan antariman.
Dalam Buddhisme, perbuatan baik akan menghasilkan karma baik sebuah konsep yang sejatinya sejalan dengan prinsip Islam tentang amal saleh dan balasan atas perbuatan.
Bahkan, pepatah Buddha yang berbunyi “Jika kamu menyalakan lampu untuk orang lain, maka itu juga akan menerangi jalanmu” selaras dengan ayat Al-Qur’an: “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” (QS. Al-Ma’idah: 2).
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab moral dan spiritual untuk menunjukkan wajah Islam yang rahmatan lil ’alamin Islam yang membawa rahmat, bukan permusuhan.
Dalam sejarahnya, Islam tumbuh bersama budaya dan agama lokal lainnya. Seperti halnya di masa Kesultanan Utsmani yang pernah menguasai wilayah perbatasan Asia dan Eropa, keberagaman justru menjadi kekuatan peradaban.
Ketika Konstantinopel (sekarang Istanbul) direbut pada Mei 1453 oleh Sultan Mehmed II, kota itu tidak dihancurkan, melainkan dikembangkan menjadi pusat toleransi yang menampung berbagai agama.
Sejarah Borobudur juga mengajarkan bahwa keragaman adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa ini. Candi yang dibangun pada abad ke-8 oleh Dinasti Syailendra ini sempat terlupakan dan tertutup abu vulkanik selama ratusan tahun sebelum akhirnya ditemukan kembali pada abad ke-19.
Meski Indonesia saat ini mayoritas Muslim, warisan leluhur seperti Borobudur tetap dihormati dan dilestarikan sebagai bagian dari identitas nasional.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa Candi Borobudur pernah menjadi sasaran teror, seperti ledakan bom pada tahun 1985. Tragedi ini menjadi pengingat bahwa ekstremisme dan kekerasan atas nama agama adalah ancaman nyata bagi keberagaman dan perdamaian.
Oleh karena itu, narasi moderasi harus terus digaungkan — tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh masyarakat sipil, tokoh agama, dan media.
Menutup tulisan ini, Waisak adalah momentum yang bukan hanya milik umat Buddha, melainkan milik kita semua sebagai warga negara yang cinta damai.
Ini adalah saat yang tepat untuk merenungkan kembali makna toleransi, memperkuat semangat gotong royong lintas agama, dan merawat warisan budaya bangsa dengan penuh cinta dan penghormatan.
Selamat Hari Raya Waisak 2569 BE / 2025 M. Semoga cahaya kebijaksanaan menerangi jalan kita semua menuju kedamaian dan harmoni. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.