Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Semarang

Ritual Rujak Pare: Mengenang Mei 98, Menyantap Luka, Merawat Ingatan

iring putih dengan irisan pare dan sambal bunga kecombrang terhidang di atas meja sederhana.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM/Rezanda Akbar D.
KULINER - Rujak pare sambal bunga kecombrang sebagai simbol makanan tradisional pengingat tragedi Mei 1998/ 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Piring putih dengan irisan pare dan sambal bunga kecombrang terhidang di atas meja sederhana. Di Gedung Rasa Dharma (Boen Hian Tong), Gang Pinggir No. 31, Pecinan Semarang, Sabtu (17/5/2025) malam.

Puluhan orang berkumpul untuk mengenang luka Mei 1998 melalui ritual makan rujak pahit tradisi yang telah berlangsung sejak 2018.

Pada tahun tersebut juga menyimpan kenangan tersendiri, saat acara hendak digelar pertama kali, ledakan bom mengguncang tiga gereja di Surabaya.

Kejadian itu sempat membuat peserta bimbang dan tersentak. Namun tetap berjalan sebagai bentuk empati dan doa kepada para korban.

“Awalnya itu tahun 2018 kami buat, terus ada bom gereja di Surabaya, di sini juga sempat bingung apakah bisa berlangsung. Kemudian tetap berjalan sambil mendoakan para korban,” kenang Harjanto Halim, Ketua Boen Hian Tong.

Sejak saat itu, rujak pare menjadi ritus tahunan: menyantap kepahitan sejarah, menumbuk duka menjadi kesadaran, dan mengangkat keberanian untuk bersuara.

Tahun ini, tema ritual diperluas. Tak hanya mengenang kekerasan rasial terhadap etnis Tionghoa, tapi juga membuka ruang pembicaraan tentang kekerasan seksual terutama yang berakar dari relasi kuasa atau abuse power.

Dia menyebut kasus-kasus yang kerap terjadi misalnya antara dokter dan pasien, guru dan murid, bahkan pemuka agama dan umat. 

"Sesuai tema kali ini, abaikan nama baik, lawan dan laporkan. Korban harus berani melapor. Karena kalau tidak, pelaku akan terus merasa aman,” tambahnya.

Rujak pare bukan sekadar sajian, melainkan simbol. Pare menggambarkan pahitnya luka sejarah. Sambal kecombrang yang diulek, menggambarkan perempuan yang mengalami kekerasan. 

“Kita menelan pahit agar bisa move on. Seperti orang Jawa yang selalu kaitkan peristiwa besar dengan makanan khas,” kata Harjanto. 

Dia berharap, seratus tahun dari sekarang, tiap bulan Mei, warga Semarang masih makan rujak pare untuk mengingat asalnya.

Acara kali ini juga menghadirkan Azmi Abubakar, pendiri Museum Peranakan Tionghoa di Bumi Serpong Damai. Azmi, seorang muslim berdarah gayo, Aceh dikenal karena konsistensinya menggali kontribusi komunitas Tionghoa dalam sejarah Indonesia. 

“Dulu orang Tionghoa perannya besar. Tapi sekarang orang Tionghoa juga harus berperan. Jangan cuma glorifikasi masa lalu,” ujarnya.

Harjanto berharap ritual ini menjadi ruang kohesi antarwarga, mengikis prasangka yang masih tersisa. 

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved