Berita Viral
Bejatnya W, Dosen UIN Mataram Ngaku Ayah Batin dan Berbuat Cabul: Disaksikan Mahasiswi Lain
Dosen UIN Mataram berinisial W diduga cabuli mahasiswi dengan modus 'ayah batin', bahkan disaksikan mahasiswi lain.
Bejatnya W, Dosen UIN Mataram Ngaku Ayah Batin dan Berbuat Cabul: Disaksikan Mahasiswi Lain
TRIBUNJATENG.COM - Heboh kasus dugaan pencabulan yang melibatkan seorang oknum dosen UIN Mataram berinisial W.
Parahnya, aksi bejat W tidak hanya dilakukan dengan modus mengaku sebagai ayah batin.
Tetapi juga disebut-sebut disaksikan langsung oleh mahasiswi lain.
Kasus ini mulai terkuak setelah beberapa korban berani melaporkan tindakan W kepada lembaga perlindungan perempuan.
Salah satunya adalah Aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB, yang kemudian resmi melaporkan W ke Subdit IV Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB pada Selasa, 20 Mei 2025.
Menurut Koordinator Aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB, Joko Jumadi, dugaan pencabulan ini sudah terjadi sejak tahun 2021 hingga 2024.
Sampai saat ini, setidaknya ada tujuh korban yang teridentifikasi, namun baru lima orang yang berani melapor.
"Hari ini ada tiga orang yang berikan keterangan, nanti Kamis dua orang," kata Joko dikutip Tribunjateng.com dari Tribun Lombok.
Joko menjelaskan, W melakukan aksinya dengan modus manipulasi.
Ia memanfaatkan posisinya sebagai salah satu pengurus di Ma'had UIN Mataram.
"Dia melakukan manipulasi seolah-olah menjadi orang tua (ayah) dari anak-anak tersebut."
"Kalau kemarin jadi anak batin, kalau ini menjadi ayah, kemudian melakukan manipulasi agar keinginannya bisa dituruti," ujar Joko.
Modusnya dengan meminta korban untuk tidur di salah satu ruangan.
Lalu, ia melakukan aksi bejatnya kepada salah satu mahasiswi.
Aksi tersebut juga dilihat oleh mahasiswi yang lainnya.
"Dia pimpinan di sana, ini relasi kuasa," jelas Joko.
W sempat datang ke Polda NTB pada Selasa (20/5/2025).
Kedatangannya tanpa diundang.
Awalnya, ia berniat melabrak korban yang sedang diperiksa.
Namun, sebelum bisa menemui korban, polisi langsung mengamankan W.
Setelah diinterogasi, W justru mengakui semua perbuatannya.
"Dalam sejarah pelaku mendatangi kita di Polda dan mengaku," kata Joko.
W mengaku telah melakukan pencabulan.
Ia menyebut telah "mencium pipi, bibir hingga memegang bagian sensitif korban."
W bahkan mengakui jumlah korbannya lebih banyak dari yang dilaporkan.
Kasus Naik ke Penyidikan, Kampus Bertindak
Polda NTB merespons cepat. Direktur Ditreskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, mengatakan bahwa status penanganan perkara ini telah naik ke tahap penyidikan pada Rabu, 21 Mei 2025.
Meski begitu, oknum dosen W belum ditetapkan sebagai tersangka.
Sampai saat ini, tiga korban dan W sendiri sudah diperiksa oleh polisi.
Menanggapi skandal ini, mahasiswa pun bergerak.
Pada Rabu pagi, 21 Mei 2025, sekitar pukul 10.00 WITA, mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Hitam Melawan menggeruduk Gedung Rektorat UIN Mataram.
Mereka menuntut rektor untuk memecat oknum dosen tersebut.
"Kami mendesak Rektor UIN Mataram segera bersikap," kata Doali, koordinator aksi.
Rektor UIN Mataram, Prof. Masnun Tahir, menyatakan komitmennya.
Ia akan memberikan sanksi tegas bagi oknum yang terbukti bersalah.
"Kita akan evaluasi semua pengurus yang ada di ma’had, dan kami akan berikan sanksi tegas bagi si oknum," ucap Prof. Masnun.
Pihak kampus juga sudah mengeluarkan surat penangguhan.
Artinya, W dilarang ikut semua aktivitas kampus UIN Mataram.
"Jadi komitmen kami tidak mentolerir adanya pelanggaran norma kode etik terhadap kekerasan seksual," tegasnya.
Pihak kampus juga sudah meminta tim investigasi internal melalui UIN Cere untuk mengumpulkan bukti.
Ini akan menjadi bahan bagi pimpinan untuk memberikan konsekuensi berdasarkan aturan dan kode etik UIN Mataram.
Siswa SMA Dilecehkan
Kasus serupa terjadi di sebuah SMA swasta di Ciputat, Tangerang Selatan.
Seorang siswi kelas 10 diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh seniornya yang duduk di kelas 12.
Pelecehan sudah berlangsung lama, yakni sejak Oktober 2024 hingga April 2025.
Selain sikap sehari-harinya berubah, nilai sekolahnya juga mengalami penurunan signifikan.
Kasus baru terungkap saat korban mengalami perubahan perilaku mencolok, termasuk penurunan nilai akademik.
Ibu korban, Dewi (37), baru mengetahui peristiwa yang dialami putrinya pada awal Mei 2025 setelah anaknya menunjukkan tanda-tanda trauma dan tekanan psikologis.
Merasa tidak mendapat penanganan memadai dari sekolah, keluarga akhirnya melaporkan kasus ini ke Polres Tangerang Selatan dengan nomor TBL/B/954/V/2025/SPKT/PolresTangerangSelatan/Polda Metro Jaya.
“Saya tidak tahu anak saya mengalami pelecehan. Perubahan sikapnya baru kami sadari setelah melihat nilai rapornya anjlok,” ujar Dewi di Polres Tangsel, Rabu (7/5/2025).
Menurut kuasa hukum keluarga korban, Abdul Hamim Jauzie, bukti-bukti sudah diserahkan ke polisi, termasuk percakapan yang menunjukkan tekanan dari pelaku agar korban mengirimkan foto dan video.
Dalam satu kejadian terakhir, korban bahkan sampai mencari gambar dari internet karena tidak ingin mengirim gambar dirinya sendiri.
"Untuk kejadian terakhir di bulan April, korban bahkan mencari gambar dari internet karena tidak mau mengirimkan foto dirinya sendiri,” kata Hamim.
Dalam keterangan resmi, humas yayasan pendidikan, Kristi, menyatakan, sekolah baru menerima laporan dari korban pasca-Lebaran 2025.
Setelah itu, menurutnya, sekolah segera memproses kasus sesuai prosedur dan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan serta lembaga terkait.
“Kami langsung memanggil korban dan mengumpulkan bukti. Setelah terbukti, pelaku kami nonaktifkan. Kasus ini kemudian kami serahkan ke pihak hukum,” ujar Kristi.
Sekolah juga membantah tudingan mengistimewakan pelaku, termasuk isu soal pengantaran soal ujian ke rumah.
Namun, pengakuan bahwa pelaku baru dinonaktifkan setelah bukti kuat mengarah kepadanya justru memperkuat dugaan bahwa penanganan internal sekolah berlangsung lambat dan setengah hati.
Menanggapi kasus ini, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menegaskan pentingnya pelibatan aparat penegak hukum sejak awal.
Ia juga mengingatkan bahwa setiap sekolah wajib membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan.
“Kalau sudah masuk dugaan pidana, harus dilaporkan ke polisi, sambil tetap merujuk pada UU Perlindungan Anak dan sistem peradilan anak,” ujar Jasra saat dihubungi, Jumat (9/5/2025).
KPAI menyoroti pentingnya pemulihan trauma korban, terlebih kejadian tersebut di dalam area sekolah.
“Anak harus didampingi psikolog. Lingkungan sekolah dan keluarga juga harus mendukung, jangan sampai ada stigma, baik kepada korban maupun pelaku,” tambahnya.
Kasus ini menjadi cermin rapuhnya sistem perlindungan anak di satuan pendidikan.
Pelecehan terjadi berbulan-bulan tanpa terdeteksi. Korban baru bicara saat trauma.
Masalahnya bukan sekadar siapa pelaku, tapi bagaimana peran sekolah.
"Karena bagaimana juga walaupun terjadi di satuan pendidikan, tentu sekolah enggak boleh menutupi, ini semua harus mendukung. (*)
10 Tudingan Irjen Krishna Murti Terseret Isu Perselingkuhan: Transfer Uang hingga Panggilan Mesra |
![]() |
---|
Duduk Perkara Tutut Soeharto Gugat Menkeu Purbaya Yudhi, Soal Pencekalan ke Luar Negeri |
![]() |
---|
Pengakuan Polisi yang Biarkan Anaknya Hajar Wakepsek, Beda dengan Keterangan Saksi |
![]() |
---|
Viral Kisah Terjerat Pinjol Rp 3 Juta untuk DP Mobil, 4 Bulan Jadi Rp 60 Juta |
![]() |
---|
Viral Skandal Video Siswi SMA di Lutim, Pemeran Pria Beristri Ditetapkan Tersangka |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.