UIN SAIZU Purwokerto
Ayam Goreng Widuran dan Krisis Kehalalan: Ketika Lidah Menangis, Nurani Bertanya
Setelah 51 tahun eksis dan digemari, Ayam Goreng Widuran dari Solo mengakui status non-halal karena penggunaan minyak babi.

Konsumen Muslim: Terjebak antara Lidah dan Iman
Pasca pengumuman, jagat media sosial dipenuhi curahan hati warganet. Ada yang marah, kecewa, dan bahkan merasa berdosa. Namun tak sedikit pula yang menyatakan “sudah terlanjur cinta,” dan memilih memaafkan — sembari tetap antre.
Forum-forum daring pun muncul, dari yang mengajak tobat berjamaah dari kolesterol “haram”, hingga yang mempertanyakan kembali makna kehalalan dalam era kapitalisme kuliner. Di sinilah konflik antara nuranian dan lidah tak bisa lagi dihindari.
“Kalau sudah makan 50 tahun, masa sekarang disuruh istighfar?” celetuk Pak Rahmad yang tampak lebih galau dari anak pesantren ditinggal jemaah umrah.
Halal sebagai Industri dan Identitas
Dalam ekonomi modern, halal telah berkembang dari sekadar prinsip teologis menjadi industri global bernilai miliaran dolar. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia sedang mendorong halal sebagai national branding, termasuk dengan mewajibkan sertifikasi halal terhadap produk UMKM.
Namun kasus Widuran menunjukkan bahwa ekosistem halal kita masih menyisakan celah. Ketika restoran besar bisa beroperasi puluhan tahun tanpa kejelasan status, maka ini bukan hanya kegagalan pemilik usaha, tapi juga sistem regulasi dan kesadaran kolektif masyarakat.
Dr. Ash-Shiddiqy menambahkan, “Halal bukan sekadar sertifikat di dinding. Ini adalah sistem integritas. Bila ada produsen yang tidak terbuka, meski makanannya enak, maka ia merusak kepercayaan publik — dan itu lebih bahaya daripada minyak babi.”
Keterlambatan Kejujuran: Mewajarkan atau Mengkhianati?
Pihak Ayam Goreng Widuran akhirnya menegaskan status non-halalnya di bio Instagram dan Google Review. Namun publik terlanjur kecewa. Mengapa baru sekarang? Kenapa tak sejak dulu transparan?
Kejujuran memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tapi dalam dunia kuliner yang dibalut nilai-nilai agama, keterlambatan informasi bisa dianggap bentuk pengkhianatan spiritual. Makan bukan hanya soal rasa, tapi juga restu.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
1. Bagi Konsumen Muslim: Jangan malu bertanya status halal. Kehalalan bukan hanya hak, tapi tanggung jawab untuk diri dan keluarga.
2. Bagi Pelaku Usaha: Transparansi adalah bumbu utama dalam bisnis halal. Sekali kepercayaan hilang, sehebat apapun kremesan, akan sulit diterima kembali.
3. Bagi Regulator: Perlu pengawasan lebih tegas agar tak ada “ayam-ayam abu-abu” di tengah masyarakat.
P
Akhir Kata: Halal itu Jelas, Bukan Abu-Abu
Mahasiswa UIN Saizu Meriahkan Pernikahan Putra Wakil Rektor 3 dengan Harmoni Karawitan |
![]() |
---|
PATRA 2025 UIN Saizu Resmi Dibuka: Cetak Pramuka Harmonis, Energik, dan Tangguh |
![]() |
---|
Rektor UIN Saizu Dorong Studi Islam Interdisipliner untuk Bangun Peradaban |
![]() |
---|
Pendapatan Pemerintah: Perbandingan Indonesia dan China Tahun 2023 |
![]() |
---|
Tingkatkan Mutu Akademik, Prodi PIAUD FTIK UIN Saizu Jalani Audit Mutu Internal 2025 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.