UIN SAIZU Purwokerto
Ayam Goreng Widuran dan Krisis Kehalalan: Ketika Lidah Menangis, Nurani Bertanya
Setelah 51 tahun eksis dan digemari, Ayam Goreng Widuran dari Solo mengakui status non-halal karena penggunaan minyak babi.

Oleh: Dr Muhammad Ash-Shiddiqy
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Saizu Purwokerto
Dunia perkulineran Indonesia baru saja diguncang kabar yang bikin panas dingin, bukan karena sambal, tapi karena sebuah pengakuan yang datang terlambat: Ayam Goreng Widuran — ikon ayam kremes legendaris asal Solo — ternyata non-halal sejak 1973. Sebuah pengakuan jujur yang datang setelah 51 tahun eksistensinya, membuat banyak umat Islam merasa dibohongi secara halus.
“Selama ini saya kira halal, lho. Sambalnya saja seperti zikir, pedasnya penuh perenungan,” keluh Bu Minah, pelanggan setia yang mengaku lebih khusyuk saat menikmati Widuran dibanding mendengarkan ceramah bakda Magrib.
Dalam era ketika kehalalan sudah menjadi bagian dari identitas konsumsi muslim modern, kabar ini seakan mengguncang fondasi spiritual dari setiap gigitan kremesan ayam yang renyah itu.
Kehalalan: Sekadar Label atau Tanggung Jawab Moral?
Pengumuman ini muncul seiring penerapan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang mewajibkan pelabelan halal/non-halal pada produk makanan dan minuman. Meski UU ini sudah disahkan sejak 2014, penegakan penuh baru dikuatkan beberapa tahun terakhir.
Dalam perspektif akademis, kajian halal tidak semata-mata soal label halal pada kemasan. Menurut Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, ekonom syariah dari UIN Saizu Purwokerto, kehalalan merupakan bagian integral dari maqashid al-syariah — tujuan utama syariat Islam yang bertujuan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
“Makanan yang dikonsumsi bukan hanya berdampak pada tubuh, tetapi juga pada spiritualitas dan kejiwaan seseorang,” kata Dr. Ash-Shiddiqy. “Halal itu bukan soal tren, tapi bentuk tanggung jawab dan transparansi moral.”
Ayam Goreng dan Etika Informasi: Siapa Bertanggung Jawab?
Yang membuat publik lebih geram bukan hanya soal non-halalnya ayam goreng tersebut, tapi ketertutupan informasi selama lebih dari lima dekade. Tidak adanya penjelasan terbuka tentang penggunaan minyak babi sebagai bahan goreng kremesan adalah pelanggaran terhadap prinsip dasar dalam Islam: al-bayan (penjelasan yang jujur dan transparan).
Dalam Islam, etika informasi sangat ditekankan, terlebih dalam urusan makanan. QS. Al-Baqarah ayat 168 menyatakan:
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Artinya, setiap pelaku usaha makanan tidak hanya berkewajiban menyajikan kelezatan, tapi juga kejelasan. Dalam konteks ini, Ayam Goreng Widuran telah membuat umat bertanya: apakah kita selama ini ditipu rasa?
Konsumen Muslim: Terjebak antara Lidah dan Iman
Pasca pengumuman, jagat media sosial dipenuhi curahan hati warganet. Ada yang marah, kecewa, dan bahkan merasa berdosa. Namun tak sedikit pula yang menyatakan “sudah terlanjur cinta,” dan memilih memaafkan — sembari tetap antre.
Forum-forum daring pun muncul, dari yang mengajak tobat berjamaah dari kolesterol “haram”, hingga yang mempertanyakan kembali makna kehalalan dalam era kapitalisme kuliner. Di sinilah konflik antara nuranian dan lidah tak bisa lagi dihindari.
“Kalau sudah makan 50 tahun, masa sekarang disuruh istighfar?” celetuk Pak Rahmad yang tampak lebih galau dari anak pesantren ditinggal jemaah umrah.
Halal sebagai Industri dan Identitas
Dalam ekonomi modern, halal telah berkembang dari sekadar prinsip teologis menjadi industri global bernilai miliaran dolar. Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia sedang mendorong halal sebagai national branding, termasuk dengan mewajibkan sertifikasi halal terhadap produk UMKM.
Namun kasus Widuran menunjukkan bahwa ekosistem halal kita masih menyisakan celah. Ketika restoran besar bisa beroperasi puluhan tahun tanpa kejelasan status, maka ini bukan hanya kegagalan pemilik usaha, tapi juga sistem regulasi dan kesadaran kolektif masyarakat.
Dr. Ash-Shiddiqy menambahkan, “Halal bukan sekadar sertifikat di dinding. Ini adalah sistem integritas. Bila ada produsen yang tidak terbuka, meski makanannya enak, maka ia merusak kepercayaan publik — dan itu lebih bahaya daripada minyak babi.”
Keterlambatan Kejujuran: Mewajarkan atau Mengkhianati?
Pihak Ayam Goreng Widuran akhirnya menegaskan status non-halalnya di bio Instagram dan Google Review. Namun publik terlanjur kecewa. Mengapa baru sekarang? Kenapa tak sejak dulu transparan?
Kejujuran memang lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Tapi dalam dunia kuliner yang dibalut nilai-nilai agama, keterlambatan informasi bisa dianggap bentuk pengkhianatan spiritual. Makan bukan hanya soal rasa, tapi juga restu.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
1. Bagi Konsumen Muslim: Jangan malu bertanya status halal. Kehalalan bukan hanya hak, tapi tanggung jawab untuk diri dan keluarga.
2. Bagi Pelaku Usaha: Transparansi adalah bumbu utama dalam bisnis halal. Sekali kepercayaan hilang, sehebat apapun kremesan, akan sulit diterima kembali.
3. Bagi Regulator: Perlu pengawasan lebih tegas agar tak ada “ayam-ayam abu-abu” di tengah masyarakat.
P
Akhir Kata: Halal itu Jelas, Bukan Abu-Abu
Kasus Ayam Goreng Widuran memberi kita pelajaran pahit: bahwa rasa enak tak bisa jadi dalil untuk menunda kejujuran. Sebab dalam Islam, makanan bukan sekadar asupan tubuh, tapi juga bagian dari taqwa.
Kejujuran adalah bumbu terakhir, dan mungkin paling mahal — namun tanpanya, semua bumbu lain hanya jadi pemanis sementara.
Jika ada yang bertanya: “Kenapa umat baru tahu sekarang?”
Jawabannya: mungkin karena kita selama ini lebih percaya pada lidah daripada pada label.
Dan sekarang, sudah waktunya kita bertanya lebih dulu sebelum tergoda gigitan pertama. *
UIN Saizu Gelar FGD Evaluasi Pelaporan Data PDDIKTI 2024–2025 |
![]() |
---|
3 Mahasiswa UIN Saizu Lolos Akademi Kepemimpinan Mahasiswa Nasional 2025 |
![]() |
---|
Pahlawan Audit UIN Saizu Ungkap 197 Temuan AMI 2025, Jadikan Kepuasan Layanan Kampus Meningkat |
![]() |
---|
LPM UIN Saizu Gelar RTM 2025: Teguhkan Komitmen Budaya Mutu Berkelanjutan |
![]() |
---|
Kontingen UIN Saizu Raih The Best Presenter di SEIBA International 2025, Angkat Budaya Banyumasan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.