Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Kawasan Tanpa Rokok

“Maaf, Silakan Matikan Rokok Anda” Kisah di Balik Kampus yang Berani Menjaga Udara Tetap Bersih

Siang itu, seorang tenaga kependidikan berdiri santai di area parkir sebuah kampus di Semarang, menyalakan sebatang rokok.

Penulis: Val | Editor: rival al manaf
Istimewa
LARANGAN MEROKOK - Stiker dilarang merokok ditempelkan di dekat area ruang kerja sebuah kampus swasta di Semarang. Stiker larangan merokok di tempat-tempat strategis: taman, toilet, perpustakaan, bahkan depan ruang kelas diperlukan untuk menegakan Kawasan Tanpa Asap Rokok. 

TRIBUNJATENG.COM - Siang itu, seorang tenaga kependidikan berdiri santai di area parkir sebuah kampus di Semarang, menyalakan sebatang rokok setelah mengantar dokumen ke ruang dosen.

Tapi belum habis dua isapan, suara tegas terdengar dari arah belakang.

“Maaf, silakan matikan rokok Anda.”

Suaranya datang dari seorang wakil rektor yang kebetulan melintas.

Baca juga: Ratusan Buruh Rokok Dibekali Keterampilan, Pemkot Pekalongan Dorong Kemandirian Ekonomi

Baca juga: Komitmen Berantas Rokok Ilegal, Pemkab Jepara Raih Penghargaan DBHCHT Terbaik

Sang perokok menurut, tampak kaget namun tidak membantah.

Sejak hari itu, ia tidak pernah lagi merokok di dalam area kampus.

Kisah itu diceritakan oleh Ahmad Ripai, Seorang Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Semarang.

Kampusnya sudah sejak 2011 berkomitmen menjadi Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Tapi lebih dari sekadar aturan tertulis, kampus ini telah membangun budaya: bahwa merokok bukan hanya dilarang, tapi tidak lagi diterima secara sosial.

“Awalnya tidak mudah. Tapi perlahan, satu teguran, satu tindakan, satu contoh itu yang membentuk kesadaran,” ujar Ripai.

Melawan dengan Ketegasan dan Simpati

Baginya, menjaga kampus bebas asap rokok bukan soal memusuhi perokok, tapi soal membangun empati.

“Rokok itu bukan hanya merusak yang mengisapnya, tapi juga orang-orang di sekitarnya,” katanya.

Ia mengutip fakta bahwa perokok pasif justru lebih berisiko, karena menghirup asap secara langsung tanpa penyaring.

Maka dari itu, kampus berinisiatif menempelkan stiker-stiker larangan merokok di tempat-tempat strategis: taman, toilet, perpustakaan, bahkan depan ruang kelas.

“Kami tahu, tidak bisa mengawasi semua. Tapi ketika mahasiswa dan dosen sudah sadar diri, aturan itu menjadi budaya. Tidak butuh pengawasan ketat lagi,” ungkapnya.

Penolakan Sponsor Rokok: Keputusan yang Tidak Populer, Tapi Benar

Di balik layar, ada cerita lain yang lebih sunyi namun penuh integritas: penolakan terhadap sponsor dari industri rokok.

“Kami sering mendapat tawaran bantuan dana untuk kegiatan mahasiswa. Kadang dalam bentuk uang tunai, kadang dalam bentuk yayasan dengan nama samar-samar,” kata Ahmad.

Namun kampus memilih berkata tidak.

Bahkan ketika dana sangat dibutuhkan untuk seminar atau kegiatan organisasi, pihak rektorat tetap tegas.

“Karena kami tahu, jika satu celah dibuka, akan muncul pembenaran. Lama-lama rokok masuk lagi ke lingkungan kampus,” tegasnya.

Penolakan itu tentu tidak mudah. Tapi kampus memilih mencari sumber lain: dari lembaga sosial, pemerintah, hingga kerja sama dengan penyedia barang non-rokok.

“Kami ingin mahasiswa belajar bahwa kegiatan bisa berjalan tanpa kompromi pada nilai,” tambahnya.

Hak atas Udara Bersih adalah Hak Asasi

Apa yang dilakukan Ahmad dan rekan-rekannya sejalan dengan visi kesehatan nasional. Dr. Nurjannah, S.K.M., M.Kes, Sekretaris Umum P3KM Jawa Tengah, menyebut bahwa penerapan KTR adalah bagian dari hak asasi manusia.

“Setiap orang berhak menghirup udara bersih. KTR bukan hanya isu kesehatan, tapi juga hak hidup, ketertiban umum, dan pelindung lingkungan,” jelasnya dalam sebuah keterangan tertulis.

Ia menekankan, sesuai PP No. 28 Tahun 2024, KTR wajib diterapkan di tujuh wilayah: fasilitas kesehatan, tempat belajar, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan ruang publik lainnya.

Kampus termasuk salah satunya.

“Lingkungan bebas asap rokok adalah jembatan menuju Indonesia Emas 2045, yang sehat dan produktif. Dan kampus harus menjadi pelopor,” tegasnya.

Kesadaran Itu Menular

Kini, Ripai merasa tidak sendiri.

Dosen-dosen yang dulu merokok, kini memilih keluar area kampus jika ingin merokok.

Mahasiswa pun lebih selektif dalam mencari sponsor kegiatan.

Bahkan, banyak mahasiswa perempuan yang terang-terangan menyatakan tidak nyaman dengan laki-laki perokok.

“Kami tidak sempurna. Masih ada yang ‘colong-colongan’ merokok malam-malam. Tapi jumlahnya jauh berkurang. Dan yang terpenting: kesadaran itu terus menyebar,” ujarnya.

Di balik aturan yang kadang dianggap kaku, ada wajah-wajah seperti Ahmad Ripai yang memilih berdiri di barisan depan menjaga udara tetap bersih.

Bukan karena mudah, tapi karena itu benar.

Dan kadang, perubahan besar memang dimulai dari satu orang yang berani berkata:

“Maaf, silakan matikan rokok Anda.” (*)

 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved