Breaking News
Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Menimbang Daya Saing Jawa Tengah di Kancah Nasional

Dalam konteks pembangunan wilayah, penyebaran daya saing yang merata seringkali lebih penting daripada sekadar angka rata-rata yang tinggi.

Editor: iswidodo
tribunjateng/dok pribadi
Prakoso Bhairawa Putera Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi BRIN 


Menimbang Daya Saing Jawa Tengah

Prakoso Bhairawa Putera
Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi BRIN

PROVINSI Jawa Tengah telah lama menjadi salah satu poros pertumbuhan ekonomi di wilayah selatan Pulau Jawa. Namun, dalam dinamika pembangunan yang semakin kompetitif dan berbasis data, penting bagi kita untuk secara jujur menelaah: seberapa kuat daya saing Jawa Tengah saat ini? 

Data Indeks Daya Saing Daerah (IDSD) 2024 yang dirilis Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyajikan potret terkini yang bukan hanya faktual, tetapi juga strategis untuk menentukan arah kebijakan ke depan.

Tahun 2024, skor daya saing Provinsi Jawa Tengah tercatat sebesar 3,84 dari skala 5. Angka ini menempatkan Jawa Tengah di atas rata-rata nasional yang sebesar 3,43, dan menjadikannya salah satu dari 10 provinsi dengan skor tertinggi di Indonesia. Meski terjadi sedikit penurunan dari skor tahun 2023 (3,89), perlu dicermati bahwa terdapat kemajuan penting pada aspek pemerataan: jumlah kabupaten/kota yang memiliki skor sama atau lebih tinggi dari provinsi meningkat drastis, dari hanya 2 daerah pada 2023 menjadi 10 daerah di 2024.

Pemerataan Daya Saing

Dalam konteks pembangunan wilayah, penyebaran daya saing yang merata seringkali lebih penting daripada sekadar angka rata-rata yang tinggi. Sebab, kesenjangan antarwilayah yang besar justru akan menjadi penghambat pertumbuhan yang inklusif. Lonjakan jumlah daerah yang berada di atas skor provinsi memperlihatkan bahwa Jawa Tengah mulai memperkuat basis daya saingnya di luar pusat-pusat kota utama seperti Semarang dan Surakarta.

Sebagai contoh, Kota Semarang mempertahankan posisinya sebagai yang paling kompetitif dengan skor 4,26, diikuti oleh Kota Surakarta (4,20) dan Kota Magelang (4,18). Di sisi lain, daerah seperti Brebes, Pemalang, dan Pekalongan menempati posisi terbawah dengan skor antara 3,57 hingga 3,63. Ini mencerminkan tantangan yang masih perlu diatasi dalam pemerataan pembangunan infrastruktur dan kualitas SDM di daerah perbatasan atau hinterland.

Sumber Kenaikan Utama

Peningkatan skor paling signifikan di IDSD 2024 tercatat pada dua pilar: Keterampilan (Pilar 6) dan Infrastruktur (Pilar 2). Pilar keterampilan naik dari 3,18 menjadi 3,39, menunjukkan adanya kemajuan dalam hal rata-rata lama sekolah, keterampilan lulusan, dan akses terhadap tenaga kerja terampil. Kenaikan ini penting karena menggambarkan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang menjadi fondasi daya saing jangka panjang.

Pilar infrastruktur juga mengalami kenaikan dari 3,08 menjadi 3,28. Hal ini menandakan adanya perbaikan dalam pemenuhan aksesibilitas jalan, layanan transportasi, hingga rasio elektrifikasi. Jika tren ini terus dijaga dan didukung oleh belanja publik yang efisien, maka fondasi ekonomi daerah akan semakin kokoh.

Titik Lemah

Meskipun terdapat peningkatan pada beberapa pilar, ada pula aspek yang perlu diwaspadai. Pilar Adopsi TIK (Pilar 3) mengalami penurunan cukup tajam dari 4,38 ke 4,18. Ini cukup mengkhawatirkan mengingat teknologi informasi dan komunikasi kini menjadi tulang punggung produktivitas dan efisiensi, baik di sektor publik maupun swasta. Menurunnya kinerja pilar ini menunjukkan adanya stagnasi dalam penetrasi jaringan, kualitas layanan broadband, atau penggunaan TIK dalam kehidupan ekonomi daerah.

Demikian pula dengan Pilar Ukuran Pasar (Pilar 10), yang turun dari 4,14 ke 3,99. Penurunan ini bisa berdampak pada potensi investasi dan skala produksi industri daerah. Pasar yang mengecil atau stagnan akan menyulitkan pelaku usaha untuk berkembang, terlebih jika tidak ditopang oleh ekspansi ke luar daerah atau akses pasar global.

Ekosistem Inovasi

Ekosistem inovasi di Jawa Tengah masih berada dalam posisi relatif stabil namun belum menonjol. Dua pilar terakhir dalam IDSD—Dinamika Bisnis dan Kapabilitas Inovasi—mengalami penurunan kecil, masing-masing dari 4,41 ke 4,27 dan 2,93 ke 2,89. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun dinamika pendirian usaha dan pelayanan publik terus terjaga, kapabilitas inovasi belum menjadi pendorong utama daya saing daerah.

Studi Shin dan Kim (2025) tentang efisiensi sistem inovasi regional di Korea menunjukkan bahwa efektivitas inovasi daerah tidak semata ditentukan oleh besarnya belanja litbang, tetapi juga oleh struktur kelembagaan, kesiapan infrastruktur komersialisasi teknologi, dan optimalisasi tenaga litbang. Temuan ini relevan untuk Jawa Tengah, yang meski memiliki potensi kapabilitas inovasi cukup, perlu fokus pada penciptaan ekosistem yang produktif dan berdampak ekonomi nyata.

Di Atas Rata-Rata

Dalam konteks nasional, posisi Jawa Tengah cukup kompetitif. Dengan skor 3,84, provinsi ini berada di atas rerata nasional (3,43) dan mengungguli mayoritas provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Namun, Jawa Tengah masih berada di bawah provinsi-provinsi terdepan seperti DKI Jakarta (4,09), DI Yogyakarta (3,97), Bali (3,91), Jawa Barat dan Jawa Timur (3,88). Bahkan provinsi tetangga seperti Banten (3,87) juga mencatat skor lebih tinggi.

Artinya, Jawa Tengah belum masuk dalam lima besar provinsi paling berdaya saing di Indonesia, meskipun potensi sumber daya, posisi geografis strategis, dan infrastruktur pendukungnya sudah cukup memadai. Ini menjadi catatan penting bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk tidak terlena, melainkan menggenjot transformasi daya saing ke arah yang lebih inovatif dan adaptif terhadap perubahan global.

Strategi Inklusif

Dari hasil IDSD 2024, kita bisa menarik pelajaran penting bahwa daya saing bukan semata hasil dari kinerja pusat kota, tetapi perlu dibangun secara sistematis di seluruh wilayah. Pemerataan infrastruktur, penguatan keterampilan kerja, serta peningkatan kapasitas digital harus dijadikan prioritas lintas kabupaten/kota. Program intervensi fiskal, seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) berbasis daya saing, juga dapat menjadi insentif untuk mempercepat kemajuan daerah yang tertinggal.

Lebih dari itu, penguatan institusi daerah dalam menyusun kebijakan berbasis data, mengembangkan SPBE (Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik), dan mengadopsi indikator IDSD ke dalam RPJMD masing-masing kabupaten/kota akan memperkuat sinergi pembangunan antara pemerintah daerah dan pusat. 

Masa depan Jawa Tengah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di selatan Jawa sangat ditentukan oleh kemampuan kolektif dalam memperbaiki indikator daya saingnya. Penurunan skor provinsi secara agregat harus menjadi alarm untuk refleksi, sementara perbaikan distribusi kabupaten/kota adalah tanda positif yang perlu dikapitalisasi. Dengan strategi pembangunan yang berbasis data dan inovasi, Jawa Tengah tidak hanya bisa mempertahankan posisinya, tetapi juga melesat menjadi provinsi dengan daya saing unggul dan berkelanjutan. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved