Aksi Kamisan
Aksi Kamisan Semarang Tolak RUU KUHAP : Minim Keterlibatan Publik
Aksi Kamisan Semarang melakukan penolakan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Penulis: iwan Arifianto | Editor: rival al manaf
Dalam negara hukum demokratis seperti Indonesia saat ini, yang berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga hukum acara pidana seharusnya menjadi instrumen perlindungan hak asasi, bukan instrumen represi kekuasaan.
Namun, beberapa ketentuan dalam RKUHAP justru membuka ruang penyempitan terhadap kebebasan sipil, termasuk kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat yang dijamin oleh Pasal 28 dan 28E ayat (3) UUD 1945.
Misalnya, jika aparat penegak hukum diberikan kewenangan luas untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, bahkan penyadapan tanpa pengawasan yudisial yang kuat atau mekanisme uji sah, maka risiko penyalahgunaan terhadap kelompok kritis seperti aktivis meningkat signifikan.
Lebih dari itu, tidak adanya kewajiban tegas bagi penyidik untuk memberi akses penasihat hukum sejak awal, serta diperbolehkannya pengawasan komunikasi antara advokat dan klien dalam perkara tertentu, bertentangan dengan prinsip due process of law yang merupakan bagian dari jaminan konstitusional (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) dan juga asas perlindungan hak-hak tersangka dalam sistem peradilan pidana modern.
"Dari perspektif Hukum Tata Negara, ini bisa dikategorikan sebagai kemunduran dalam demokrasi konstitusional (constitutional democracy), karena hukum tidak lagi melindungi warga dari potensi penyalahgunaan kekuasaan, melainkan justru memberi legitimasi kepada negara untuk menekan suara-suara kritis," katanya.
Jika ini dibiarkan, lanjut Theo, maka aktivisme yang sejatinya menjadi bagian dari partisipasi warga negara dalam kehidupan berbangsa akan terancam dibungkam melalui prosedur hukum yang tampak sah, padahal secara substansi bertentangan dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
"Dengan kata lain, pengesahan RKUHAP dalam bentuknya yang sekarang berpotensi menciptakan _chilling effect_ terhadap kebebasan berekspresi dan aktivisme di Indonesia, dan itu merupakan sinyal bahaya bagi kualitas demokrasi dan perlindungan konstitusional warga negara," paparnya.
Pada akhirnya, Theo menilai transparansi dan akuntabilitas masih lemah. RUU KUHAP belum mengatur dengan baik soal pengawasan pengadilan terhadap penyidikan, rekaman CCTV, atau mekanisme pengaduan masyarakat.
"Padahal, keterbukaan dan pengawasan publik adalah bagian penting dari prinsip negara hukum yang demokratis," bebernya.
Dia menyarankan, perlu partisipasi yang sangat luas diperlukan sehingga mengakomodasi kebutuhan dan kekhawatiran masyarakat luas, terutama meningkatkan rasa memiliki terhadap UU ini. Sebab, menurutnya sejauh ini RUU KUHAP memang terkesan dilakukan di ruang tertutup.
"Jika tidak, maka RUU KUHAP ini rawan sekali untuk tidak mendapatkan legitimasi," tandasnya. (Iwn)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.