Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Batang

Cerita Nelayan Roban Timur Batang : Ruang Tangkap Hilang, Melaut Kian Jauh

Nasib nelayan Roban Timur Batang kini harus melaut semakin jauh karena beradu dengan kapal tongkang PLTU Batang.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: raka f pujangga
Tribunjateng/Iwan Arifianto
TARIK JARING - Tukiman dan anaknya Eki sedang menarik bubu sebuah alat tangkap ikan di perairan Roban Timur, Desa Sengon, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Minggu (1/6/2025) pagi. Tak jauh dari mereka tampak aktivitas PLTU Batang. 

TRIBUNJATENG.COM,BATANG - Kenangan menangkap ikan dengan hasil melimpah terpatri kuat di ingatan Hariyadi (33) nelayan pesisir Roban Timur, Desa Sengon, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang.

Hariyadi mengenang, dahulu bersama ayahnya sangat mudah mencari ikan di Karang Preketek yang berada di kawasan pesisir Roban.

Berbagai jenis ikan di antaranya kuniran, belong merah atau kakap merah,  cumi-cumi,  hingga rajungan begitu mudah masuk ke jaring. 

Baca juga: Dukung Program Mageri Segoro, PLTU Batang Kembali Tanam Ribuan Mangrove di Roban Timur

Karang Preketek yang dimaksud Hariyad kini telah berubah menjadi jetty (dermaga batu bara) PLTU Batang

Lokasi tempat itu hanya selemparan batu dari muara sungai Kaliboyo  tempat bersandar para perahu nelayan Roban Timur.

“Semasa kecil dulu saat melaut bersama bapak di Karang Preketek begitu mudah memperoleh ikan karena di situ merupakan area karang yang menjadi sarang  ikan bertelur. Kini, tempat itu tinggal kenangan karena sudah jadi jetty PLTU Batang,” kata Hariyadi kepada Tribun, Minggu (1/6/2025).

Nostalgia nelayan Roban Timur terkait Karang Preketek dialami pula oleh hampir semua nelayan di kawasan tersebut.

Hal itu diungkapkan Sarmuji (45) yang mengaku Karang preketek menjadi tempat pertama belajar melaut. 

Pria ini sudah melaut sejak lulus SMP atau sejak usia sekira  15 tahun.

“Kawasan Karang Prektek banyak ditemui kepiting. Bisa disebut di situ rumahnya kepiting, belum lagi jenis ikan lainnya juga banyak bersarang di situ,” tuturnya.

Selepas kawasan itu dibangun PLTU Batang berbahan bakar batu bara dengan menghasilkan listrik kapasitas 2x 1.000 Mega Watt (MW), dia pun terpaksa melaut lebih jauh hingga 12 mil dari pesisir Roban Timur atau waktu perjalanan sekitar selama 2 jam. 

Dulu, dia melaut di Karang Preketek maksimal  butuh waktu 30 menit

“Saya melaut sekarang lebih jauh sampai pesisir ke Pekalongan (barat) atau ke arah pesisir Gringsing (timur),” terangnya.

Dia memilih mencari ruang tangkap sampai ke wilayah yang lebih jauh karena ketika mencari ikan di dekat kawasan PLTU Batang akan beradu dengan kapal tongkang.

Dengan kondis itu, di takut jaringnya rusak terkena bongkahan batu bara yang terjatuh dari kapal. 

Hal itu pernah dialaminya berulang kali berupa jaring rusak terkena batu bara. 

“Di sana (dekat kawasan PLTU Batang ) masih ada ikannya tapi risiko jaring rusak juga lebih besar,” ucapnya.

Hampir seluruh nelayan di Roban Timur harus melaut lebih jauh.  

Data dari Paguyuban Nelayan Roban Timur jumlah nelayan di kawasan tersebut terdapat sekitar  250 orang dengan jumlah  perahu  sebanyak 150 unit.

Nelayan Roban Timur, Wahyudi Hidayat (44) menerangkan,  terpaksa melaut lebih jauh sekitar 12 mil atau perjalanan selama 1 jam 30 menit menggunakan perahu berkapasitas mesin 23 Paard Kracht (PK). 

“Sebelum adanya PLTU Batang, kita mencari ikan tidak terlalu jauh. Paling perjalanan setengah jam langsung bisa tabur jaring. Nah, setelah adanya PLTU Batang dampaknya ke nelayan harus melaut lebih jauh sampai 1,5 jam,” katanya. 

Berhubung melaut  lebih jauh, nelayan juga harus merogoh kocek lebih dalam untuk memodifikasi perahu dan perangkat alat tangkap.

Wahyudi mengaku, membutuhkan modal awal kurang lebih Rp20 juta untuk memodifikasi perahu, membeli alat tangkap baru dan mesin perahu.

“Ya saya harus memodifikasi mesin dan alat tangkap karena kalau tangkap di daerah pinggir sudah susah dikarenakan akses mencari ikan sudah dibangun jetty  itu. Jadi kita semakin menjauh cari ikannya,” tuturnya.

Persoalan yang dialami oleh Wahyudi belum usai. 

Dia harus merogoh kantongnya kembali untuk biaya operasional melaut yang bertambah.  

Wahyudi merinci, sebelum ada PLTU Batang maka melaut cukup menempuh jarak dekat dengan kebutuhan bahan bakar sebanyak  10 liter solar.

Kini, jumlah itu meningkat empat kali lipat yakni di angka 40 liter.

“Jam kerja juga bertambah, dulu berangkat melaut berangkat jam 5 pagi  lalu jam 9 pagi pulang, sekarang berangkat jam 5 pagi bisa pulang jam 2 siang baru pulang,” katanya.

Mengenai penghasilan, Wahyudi menyebut mengalami penurunan meski tidak terlalu jauh. 

“Kalau sebelum ada PLTU Batang penghasilan mungkin kalau dibandingkan sekarang tidak terlalu banyak sih. Sekarang bersih  dapat Rp250 sehari. Dulu tak jauh dari angka tersebut,” paparnya.

Meskipun hampir seluruh nelayan Roban Timur memilih melaut lebih jauh ada lima nelayan di kawasan itu yang tetap memilih melaut di dekat PLTU Batang. Alasan mereka karena sudah tidak kuat melaut lebih jauh.

Dari kelima nelayan itu satu di antaranya adalah Tukiman. 

“Saya tidak bisa melaut lebih jauh karena keterbatasan alat seperti jaring dan gardan. Ujung-ujungnya butuh biaya lagi, paling tidak sampai Rp1,5 juta,” terangnya.

Untuk melaut jarak dekat saja dia membutuhkan solar sebanyak 10 liter yang bisa digunakan paling tidak selama dua hari.  

Aktivitasnya menjaring ikan di kawasan dekat PLTU Batang itu, dia hanya mendapatkan kepiting, rajungan, keong macan dan lainnya.

“Ya hasil jual ikan hari ini sebesar Rp250 ribu. Dipotong solar Rp100 ribu. Bersihnya Rp150 ribu. Tadi berangkat sama anak jadi dibagi dua sama anak,” terangnya.

Tukiman mengakui, sejak adanya PLTU Batang beroperasi pada tahun 2022,  ruang tangkapnya dalam melaut kian sempit.

“Sebelum ada PLTU Batang lebih enak hasilnya lebih banyak ikan. Penghasilan dulu bisa sampai RP300 ribu sampai Rp500 ribu sehari, Sekarang ikan makin jarang malah jaring seringkali tersangkut batu bara,” bebernya.

Penurunan tangkapan nelayan wilayah pesisir Roban Timur akibat dampak dari beroperasinya PLTU Batang sesuai dengan data dari Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan Kabupaten Batang

Bersumber dari dinas tersebut, hasil tangkapan nelayan yang dihimpun di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Roban Timur sebelum PLTU Batang beroperasi pada tahun 2019-2021 tercatat tahun 2019 mencatat tangkapan nelayan mencapai 208.517 kilogram, tahun 2020 mencapai 230.654 kilogram, tahun 2021 mencapai 243.948 kilogram.

Sementara, selepas PLTU Batang beroperasi, hasil tangkapan nelayan tahun 2022  mencapai 74.051 kilogram, tahun 2023 tangkapan nelayan mencapai 67.113 kilogram, dan tahun 2024 hanya mencapai  kilogram 86.637 kilogram. 

Krisis Iklim Tambah Derita Nelayan Roban Timur

Selain ruang tangkap yang semakin menyempit, nelayan Roban Timur semakin kesulitan melaut akibat krisis iklim. Hal itu dikeluhkan oleh para nelayan Roban Timur di antaranya Sarmuji. 

Ia menyebut, pembabakan musim tangkapan laut semakin buyar atau susah ditebak dalam beberapa tahun terakhir.

“Biasanya pada bulan Januari-Februari musim hujan ombak datang dibarengi dengan musim udang, sekarang susah ditebak,” kata Sarmuji.

Begitupun pada bulan berikutnya yakni Maret hingga April.  

Menurut Sarmuji, pada bulan tersebut waktu yang tepat untuk panen cumi-cumi. 

Namun, dalam praktiknya cumi-cumi semakin langka tak semelimpah dulu.  

“Kami seharusnya panen cumi tiap bulan Maret-April tapi sekarang beda. Kondisi ini mungkin karena cuaca tak menentu yang mana seharusnya musim panas sekarang malah hujan dan sebaliknya,” ungkapnya.

Nelayan Roban Timur, Tukiman juga mengeluhkan hal serupa.

Dahulu, cuaca bisa berpatokan pada ilmu titen. 

Dia menyebut, ilmu titen itu di antaranya pada bulan Juli ketika langit timur bercorak merah pada pukul 06.00 pagi sebagai tanda memasuki panen rajungan. 

“Itu pertanda akan ada angin timur. tanda bagi kami bakal panen  rajungan,” terangnya. 

Kondisi para nelayan di Roban Timur selaras dengan Laporan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dalam tajuk  Rembuk Iklim Pesisir 2023.

Dalam laporan itu, KNTI menyebutkan, program Rembuk Iklim Pesisir 2023 yang melibatkan basis nelayan di 31 Kabupaten/Kota di antaranya Pekalongan, Kendal dan Semarang dilakukan pada November-Desember 2023 menghasilkan kesimpulan krisis iklim telah berdampak ke para nelayan tradisional dan warga pesisir. 

Dampak tersebut di antaranya ketidakpastian cuaca dan musim, gelombang tinggi, angin kencang, curah hujan tinggi, kenaikan air laut, dan abrasi.

“Akibat krisis iklim terjadi krisis sosial-ekonomi yang berpengaruh pada berkurangnya pendapatan nelayan kecil,” tulis laporan itu yang dinukil dari laman resmi KNTI. 

Sub Divisi Informasi dan Analisis di Direktorat Perubahan Iklim, Deputi Klimatologi BMKG, Dian Nur Ratri mengatakan, dampak perubahan iklim tidak hanya terasa di daratan melainkan pula sangat nyata terjadi di laut. 

“Kondisi itu pastinya berdampak pula pada kehidupan jutaan masyarakat pesisir,” paparnya  saat diskusi online dengan tema Menjaga Laut dan Aksi Iklim Kementerian Lingkungan Hidup, Rabu (9/7/2025).

Dampak perubahan iklim di wilayah perairan laut di  Indonesia berupa alami kenaikan suhu laut rata-rata 0,15-0,30 derajat celcius per dekade.

Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata  global yaitu 0,15-0,25 derajat celcius perdekade.

Kenaikan suhu laut terjadi karena dampak perubahan iklim sehingga lebih dari 90 persen panas akibat pemanasan global diserap lautan. 

Dampak lanjutannya terjadi pemuaian air laut karena suhu laut semakin panas. 

Secara global laju kenaikan sekitar 4,7 milimeter  pertahun sedangkan Indonesia di angka  4,2 milimeter pertahun.  Kenaikan di Indonesia di angka tersebut terjadi secara konsisten selama 30 tahun terakhir.

20250731_perempuan Roban Timur Batang_1
BELAJAR BERSAMA - Para perempuan Roban Timur sedang belajar membuat produk dari hasil tangkap ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Roban Timur, Desa Sengon, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jumat (23/5/2025).

Perempuan Roban Timur Tak  Berpangku Tangan

Para perempuan Roban Tmur tak ingin berpangku tangan saat suami mereka kesulitan melaut akibat ruang tangkap yang semakin sempit ditambah dampak krisis iklim. 

Para perempuan nelayan Roban Timur kini sedang mengupayakan berdikari secara ekonomi dengan cara mengolah ikan agar lebih memiliki nilai jual.

“Saya ingin hasil tangkapan suami tak hanya sekedar diolah sebagai ikan asin tapi produk olahan seperti keripik. 

Harapannya,  ada nilai tambah ekonomi,” ungkap perempuan Roban Timur,  Erviana (35).

Ikhtiar para perempuan Roban Timur tersebut dimulai dengan belajar bersama dengan kelompok Pusat Informasi dan Jaringan Pemasaran  (Pijarmas) yakni sebuah komunitas nelayan perempuan dari Kabupaten Demak di TPI Roban Timur,  Jumat (23/5/2025).

Menurut Erviana, perempuan Roban Timur selama ini hanya mengolah hasil tangkapan menjadi ikan asin. 

Penghasilan dari penjualan ikan asin ini mencapai Rp400 ribu sampai Rp500 ribu per minggu.

Resiko pengolahan ini yaitu ikan bisa busuk ketika selama empat hari tidak dijemur di bawah sinar matahari.  Kondisi ini biasanya terjadi pada musim penghujan. “Maka dari itu,kami ingin ikan bisa diolah agar bisa lebih awet dan menambah penghasilan,” tuturnya.

Perempuan Roban Timur, Sri Mulyo (50) mengungkapkan, ingin mengolah berbagai macam hasil tangkapan suaminya menjadi produk yang lebih bermanfaat karena selama ini ada beberapa hasil laut dibuang pecuma semisal cumi-cumi yang berukuran kecil.  

Padahal, sebenarnya ketika diolah bisa dijual kembali, “Padahal kalau dibikin krispi bisa dijual,” katanya.

Isrofah (50) Ketua Koperasi Pemasaran Pijarmas Kabupaten Demak menyebut, kawasan Roban Timur memiliki banyak potensi tak sekedar produk olahan ikan asin yang sudah menjadi turun temurun di antara para perempuan nelayan.  

Hasil tangkapan berpotensi dialihkan ke produk yang lebih menguntungkan.  

Salah satunya dengan mengemas produk dengan bentuk makanan ringan. 

Upaya itu, kata Isrofah, perlu dilakukan sebagai gerakan kelompok perempuan yang berpotensi dengan tujuan menjadi tumpuan ekonomi alternatif di tengah adanya proyek PLTU Batang yang berdampak pada penghasilan nelayan.

“Harus semangat jangan kendor,” pesannya.

20250731_Direktur Walhi Jateng, Fahmi Bastian tidak masuk Amdal_1
AMDAL - Direktur Walhi Jateng, Fahmi Bastian (kiri) menjelaskan kawasan Roban Timur tidak masuk AMDAL PLTU Batang, Kamis (19/6/2025).

Roban Timur Tak Masuk AMDAL

Direktur  Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah, Fahmi Bastian mengungkap, kawasan Roban Timur jaraknya hanya selemparan batu dari kawasan PLTU Batang.

Namun, kawasan tersebut tak masuk dalam Adendum AMDAL atau  perubahan atau penyesuaian terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang disusun oleh PT  Bhimasena Power Indonesia (BPI) yang mengelola PLTU Batang.

Fahmi mengungkap, dalam dokumen AMDAL terbaru yang disusun oleh PT BPI, wilayah terdampak PLTU Batang hanya menarasikan perairan Roban tanpa secara eksplisit menyebut  perairan Roban Timur.

Padahal, lanjut Fahmi, kawasan Roban Timur menjadi wilayah yang paling terdampak. 

Terdapat ratusan nelayan kehilangan ruang tangkap akibat aktivitas kapal tongkang pengangkut batu bara dan pembangunan jetty.

"Seharusnya roban Timur  masuk ke wilayah terdampak karena mereka terganggu transportasi tongkang dan pembangunan jetty yang menjorok ke laut sepanjang 2 kilometer yang menyebabkan banyak nelayan Roban Timur tak bisa mengakses wilayah tangkap seperti dulu," katanya.

Menurut Fahmi masyarakat bisa menggugat AMDAL tersebut melalui adendum AMDAL yang baru. 

“Iya warga bisa mengajukan  bisa menggugat terkait PLTU Batang terutama izinnya dan AMDAL. Sebab warga merasa terdampak,” bebernya.

Menanggapi hal itu, Pemerintah Kabupaten Batang berdalih tak masuknya Roban Timur ke dokumen AMDAL PLTU Batang bukan berarti pihaknya abai. 

“Roban Timur dan Roban Barat tidak masuk AMDAL bukan berarti PLTU tidak ada tanggung jawab,” papar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batang, Achmad Handy Hakim, Selasa (29/7/2025).

Menurut Hakim, sudah mewanti-wanti kepada PLTU Batang agar aktivitas PLTU di antaranya lalu lalangnya kapal batu bara tidak mengganggu ruang tangkap para nelayan dalam menangkap ikan. 

“Kami ingin adanya lalu lintas kapal batu bara tidak mengganggu ikan-ikan hasil tangkapan nelayan ini,” ucapnya.

Oleh karena itu, Hakim juga mengklaim telah mendapatkan laporan dari PLTU Batang yang sudah menanam terumbu karang buatan Artificial Patch Reef (APR) sejak tahun 2020. 

Baca juga: Dukung Ekosistem Laut, PLTU Batang Berikan Ribuan Mangrove di Hari Lingkungan Hidup

“Terumbu karang buatan ini sebagai rumah ikan agar ada aktivitas PLTU jangan sampai ikan pergi,” paparnya. 

Tribun telah mengkonfirmasi ke PT BPI terkait persoalan tersebut. 

Hingga berita ini ditulis, perusahaan yang mengelola PLTU Batang tersebut masih mendiskusikannya. (Iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved