Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Kenaikan Pajak di Pati

PBB Naik 250 Persen di Pati, Guru Besar Unissula: Sah Secara Hukum, Tapi Langgar Keadilan Sosial

Prof. Dr. H. Jawade Hafidz, mengkritisi kenaikan PBB-P2 yang mencapai 250 persen di Kabupaten Pati.

Tribunjateng.com/ f ariel setiaputra
PBB PATI - Prof. Dr. H. Jawade Hafidz, S.H., M.H., akademisi dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang saat bertemu awak media baru-baru ini. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kebijakan Pemerintah Kabupaten Pati yang menetapkan penyesuaian tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen memicu gejolak sosial di kalangan masyarakat.

Kenaikan ini diatur melalui Peraturan Bupati (Perbup) Pati No. 17 Tahun 2025, sebagai tindak lanjut dari keputusan rapat intensifikasi pajak pada 18 Mei 2025.

Pemerintah berdalih penyesuaian tarif ini diperlukan karena tarif PBB-P2 tidak pernah mengalami perubahan dalam 14 tahun terakhir.

Baca juga: Bukan Hanya Batalkan Kenaikan PBB, Bupati Pati Sudewo Hapus Kebijakan 5 Hari Sekolah

Dana tambahan dari peningkatan pajak ini akan digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, revitalisasi RSUD RAA Soewondo, serta penguatan sektor pertanian dan perikanan.

Namun, gelombang penolakan datang dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa.

Pada 3 Juni 2025, puluhan mahasiswa yang tergabung dalam PMII Pati menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati.

Dalam aksinya, mereka membakar ban dan berorasi menuntut pembatalan kebijakan yang dianggap terburu-buru dan tidak berpihak pada masyarakat kecil.

Menanggapi polemik ini, Prof. Dr. H. Jawade Hafidz, S.H., M.H., akademisi dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, menyampaikan pandangan kritisnya.

“Dari aspek legalitas, kebijakan ini sah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk Undang–Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Namun, hukum tidak bisa berdiri sendiri tanpa mempertimbangkan keadilan sosial,” ujar Prof. Jawade.

Menurutnya, pemda memang memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif PBB-P2, sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Namun, dalam pelaksanaannya, kebijakan fiskal daerah tidak boleh semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan.

“Kebijakan yang berdampak langsung pada beban hidup rakyat harus disertai analisis sosial ekonomi yang matang, serta dialog publik yang terbuka. Kenaikan 250 persen, meskipun tidak melebihi tarif maksimal 0,5 % yang diizinkan UU, tetap terasa memberatkan jika tidak dilandasi pendekatan partisipatif,” tambahnya.

Lebih lanjut, Prof. Jawade menyarankan agar pemerintah daerah membuka ruang evaluasi dan koreksi terhadap kebijakan ini, khususnya dengan memberikan skema keringanan, pengurangan, atau penundaan bagi kelompok rentan seperti petani, nelayan, buruh, dan pelaku UMKM.

“Pajak adalah instrumen keadilan dan pembangunan. Tapi ketika pajak ditetapkan tanpa memperhatikan daya tahan ekonomi masyarakat, maka bukan hanya protes yang muncul, tapi bisa jadi kehilangan legitimasi moral,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan agar pemerintah mengutamakan transparansi dalam penggunaan dana pajak tersebut agar kepercayaan publik tidak hilang.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved