Horizzon
Bertanya di Mana Posisi Polisi?
Siapa orang yang melaporkan lima pemain judi online di Yogyakarta yang ditangkap oleh Ditreskrimsus Polda DIY
Penulis: Ibnu Taufik Juwariyanto | Editor: abduh imanulhaq
Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Jateng
JANGAN lagi bertanya siapa orang yang melaporkan lima pemain judi online di Yogyakarta yang ditangkap oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda DI Yogyakarta, pertengahan Juli 2025 lalu. Sudah jelas. Dari register laporan polisi terkait kasus aneh bin konyol ini, pelapornya adalah polisi. Ini bisa dibaca dari nomor laporan polisi dalam kasus tersebut yang jelas menggunakan laporan polisi model A dengan nomor lengkap: LP/A/18/VII/2025/SPKT.Ditreskrimsus Polda DI Yogyakarta.
Pertanyaan besar ini saya temukan ketika berulangkali memutar sejumlah video viral, yang memuat kasus konyol ini. Dari salah satu video, saya menemukan label barang bukti berwarna merah yang mencantumkan nomor laporan polisinya.
Masih ragu, saya kemudian bertanya ke sejumlah kolega polisi terkait penomoran laporan polisi. Beberapa kawan yang berdinas sebagai polisi memastikan bahwa nomor laporan tersebut adalah jenis laporan polisi Model A, yang artinya laporan yang dilakukan oleh anggota kepolisian.
Sampai di sini, tentu tidak ada yang salah dengan kasus ini. Sebab, atas nama penegakan hukum, polisi boleh secara inisiatif menerbitkan laporan model A untuk menindak sebuah tindak pidana. Seperti dalam kasus ini, ketika polisi menemukan ada aktivitas yang kuat diduga sebagai perjudian, maka atas nama negara, polisi memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan.
Yang kemudian menjadi tampak aneh dan barangkali konyol adalah ketika narasi yang dibangun penyidik adalah perbuatan kelima tersangka ini adalah melakukan manipulasi atau menyiasati sistem sehingga merugikan bandar hingga Rp 50 juta per bulan. Narasi ini dengan jelas disampaikan oleh Kasubdit V Siber Ditreskrimsus Polda DIY saat jumpa pers di Mapolda, yang kemudian videonya juga viral.
Keanehan kasus ini, atau lebih jelasnya positioning polisi dalam kasus ini semakin kentara ketika Direskrimsus Polda DIY melakukan klarifikasi seusai kasus ini viral dan menjadi bahan olok-olok publik terhadap korps Bhayangkara. Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda DIY dalam klarifikasinya menegaskan dan berulangkali mengatakan bahwa yang melaporkan kasus ini bukanlah bandar. Ia juga menegaskan bahwa tidak mengenal satu pun bandar judi online. “Sampai sekarang juga belum ada (bandar judi online) yang melobi saya,” katanya dalam beberapa video viral.
Saya sepakat dengan sejumlah wartawan di Jogja yang berusaha mengejar siapa sebenarnnya pelapor kasus ini. Namun lagi-lagi, tidak memperoleh penjelasan lugas bahwa secara formal pelapornya adalah polisi sendiri.
Polda DIY dalam hal ini Ditreskrimsus justru terkesan membuat siapa pelapornya menjadi bias, dengan mengatakan bahwa pelapornya bisa tetangga, masih saudara yang harus dilindungi. Saya melihat, ada upaya untuk mengaburkan siapa pelakunya dengan menyatakan bahwa aktivitas di rumah kontrakan tersangka bisa dilihat dari luar. Dan ini lagi-lagi dibantah oleh ketua RT Plumbon, kampung para tersangka ditangkap, yang menyatakan bahwa mereka tidak tahu aktivitas para tersangka.
Terlepas dari formalitas laporan polisi, sulit bagi saya untuk mengesampingkan syakwasangka terkait sikap sekaligus posisi polisi dalam kasus ini. Logika saya--dan tentu logika awam—mengatakan bahwa penyelenggara, inisiator dan yang paling berkepentingan dengan judi online ini adalah bandar. Sementara pemain harus dimaknai sebagai korban.
Iming-iming menang, sebagaimana yang dilantunkan Rhoma Irama dalam lagu “Judi” adalah candu yang sengaja dibuat oleh bandar untuk meraup keuntungan dari para pemain, yang hingga kini saya tidak menemukan satu pun yang ujungnya menang. Artinya, kunci untuk memberantas judi online, sebagaimana disampaikan Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, satu-satunya adalah menggulung bandarnya atau setidak-tidaknya menutup situsnya.
Apakah itu sulit? Ah, sesungguhnya dengan kewenangan dan kekuatan yang dimiliki polisi, menggulung bandar, atau setidaknya menutup situs judi online, bukan pekerjaan rumit. Apalagi semua tahu, PPATK sudah memberikan sejumlah data terkait ribuan rekening yang diduga menjadi penampungan dari bisnis judi online.
Namun lagi-lagi, kita semua tak pernah melihat langkah nyata ini dilakukan polisi. Saat kita semua putus asa dengan itu, kita justru disuguhi dengan kekonyolan yang tampak di kasus penangkapan lima pemain judol di Jogja, yang sukses mengkali bandar. Bukankah lebih baik kelima tersangka ini dijadikan duta judi online kemudian diberi ruang untuk membagikan ilmunya untuk mengalahkan bandar?
Saya yakin betul, Kapolri merasa dipermalukan dengan kekonyolan yang terjadi di Polda DIY ini. Kasus ini menjadi semakin sulit bagi Kapolri untuk mengelak dari tudingan publik terkait keberpihakan institusi di polemik judi online ini.
Kita semua menunggu langkah Kapolri, Jenderal Listyo Sigit, bersikap dalam kasus ini. Apabila sependapat bahwa kunci dari memberantas judi online adalah menggulung bandar, maka kelima tersangka di Jogja harus dibebaskan. Bahkan, jika perlu, lima tersangka ini harus dinobatkan sebagai duta perang melawan bandar judi online.
Bukankah tugas polisi sebagai penegak hukum tidak hanya sebatas menindak kasus? Bukankah ujung dari penegakan hukum adalah menciptakan rasa keadilan? Untuk itu tak perlu malu satu langkah ke belakang untuk setidaknya memberikan rasa keadilan masyarakat yang kini sudah menjadi barang langka. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.