Horizzon
Pesan dari Tyler Robinson
TYLER Robinson, pemuda berusia 22 tahun tentu tengah menjalani pemeriksaan panjang oleh kepolisian Amerika Serikat
Penulis: Ibnu Taufik Juwariyanto | Editor: abduh imanulhaq
Oleh: Ibnu Taufik Juwariyanto, Pemimpin Redaksi Tribun Jateng
TYLER Robinson, pemuda berusia 22 tahun asal Negara Bagian Utah, Amerika Serikat, ini tentu tengah menjalani pemeriksaan panjang oleh kepolisian, seusai aksinya menembak Charlie Kirk, pada Rabu, 10 September 2025, lalu. Tyler ditangkap setelah ayahnya berhasil membujuknya untuk menyerahkan diri kepada polisi, yang secara maraton mencoba mengidentifikasi penembak aktivis sayap kanan yang juga sekutu Donald Trump, Charlie Kirk, di tengah debat terbuka di kampus Utah Valley University.
Terlepas dari penyidikan yang tengah dilakukan kepolisian, Tyler menyebut berulang kali bahwa kehadiran Kirk ke Utah membawa misi kebencian dan menebar kebencian. Untuk itulah empat jam sebelum acara dimulai, Tyler sudah menyiapkan diri untuk mengeksekusi Kirk dengan menggunakan senapan bolt-action Mauser 30-06 impor. Setelah menggunakannya, Tyler membuang senjata tersebut ke sebuah taman, tak jauh dari kampus, dengan terbungkus handuk.
Saya membaca dan menerjemahkan sejumlah tulisan terkait kasus ini dan menemukan sejumlah pesan yang sengaja ditulis Tyler dalam selongsong peluru untuk menembak Kirk. Kesimpulannya, perilaku nekat Tyler ini tak lepas dari aktivitasnya di sosial media. Entah dia bagian dari aktivis trolling daring atau korban, yang jelas provokasi yang ada di sosial media terbukti efektif untuk menggerakkan sesuatu.
Kirk merupakan sekutu Trump yang ada di garis konservatif, yang salah satunya merupakan pengagung budaya Barat, yang harus dilindungi dari ancaman komunisme, islamisme, dan relativisme sosial. Saya tak mau terjebak terlalu jauh untuk menganalisis ini. Yang jelas, misi yang dibawa Tyler adalah misi melawan kebencian, yang menurutnya, dibawa oleh Charlie Kirk.
Saya lebih tertarik pada cara yang dilakukan oleh Tyler Robinson untuk memperjuangkan pikirannya. Ia tidak melakukan aksi perlawanan dengan unjuk rasa terbuka atau aksi-aksi massa. Ia memilih untuk secara senyap dan sendirian menuntaskan pikirannya.
Menembak Charlie Kirk pada saat melakukan dialog tentu bukan tanpa alasan. Saya rasa, itu sengaja dilakukan Tyler untuk menunjukkan bahwa yang ia musuhi dari Kirk bukan orangnya, melainkan pemikirannya.
Jika yang dilakukan Tyler Robinson dilandasi motif pribadi, barangkali ia tidak perlu bersusah payah memilih lokasi dan momentum yang memiliki faktor kesulitan berlipat ganda. Selain itu, apa yang dilakukan oleh Tyler juga bentuk kampanye atas pemikirannya yang berseberangan dengan Kirk.
Lagi-lagi, saya tidak bermaksud untuk mendukung atau menyalahkan aksi Tyler Robinson terhadap Charlie Kirk. Saya hanya ingin mengatakan bahwa peristiwa tersebut adalah peristiwa ideologis, yang bisa terjadi kapan dan di mana saja.
Dalam catatan yang saya rangkum, aksi-aksi nekat--yang dalam istilah saya—merupakan sebuah silent revolution, atau upaya membuat perubahan yang dilakukan oleh ‘serigala-serigala sendiri’, ini sudah sering terjadi di Amerika.
Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS merupakan daftar pertama korban pembunuhan bermotif politik kali pertama yang terjadi di AS. Pada 14 April 186, Lincoln ditembak oleh aktor dalam pertunjukan teater yang tengah disaksikan oleh Lincoln di Washington DC.
Daftar berikutnya, Presiden Ke-20 AS, James Garfield, pada 2 Juli 1881; lalu Presiden Ke-25 AS, William McKinley, pada 6 September 1901; dan yang tak bisa dihilangkan dari catatan, yakni penembakan Presiden Ke-25 AS, John F Kennedy, AS pada 22 November 1963.
Agar tampak fair, aksi ini juga pernah menimpa Martin Luther King Jr, pada 1968, yang menjadi simbol pejuang hak-hak sipil yang dilakukan oleh aktivis pendukung supremasi kulit putih, James Earl Ray.
Donald Trump juga pernah nyaris menjadi korban aksi-aksi ‘a lone wolf’, pada 2024, saat ia berkampanye. Tidak sekali, Trump bahkan dua kali menjadi sasaran penembakan dan percobaan pembunuhan.
Saya kemudian juga teringat dengan kasus serupa yang terjadi di Tanah Air, pada 10 Oktober 2019, yang menimpa Jenderal (Purn) Wiranto yang saat itu menjabat Menko Polhukam. Peristiwa yang terjadi sepuluh hari menjelang pelantikan Presiden Jokowi untuk periode kedua ini terjadi di Alun-alun Menes, Pandeglang, Banten. Wiranto ditikam pisau oleh sepasang suami istri, yang belakangan diketahui terafiliasi ke kelompok radikalis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.