Berita Semarang
Trans Semarang Perlu "Obat" Serius: Peremajaan Armada hingga Restrukturisasi Manajemen
BRT Trans Semarang perlu pembenahan serius, mulai dari struktur kelembagaan, peremajaan armada, hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: raka f pujangga
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pembangunan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai pengelolaan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang perlu pembenahan serius, mulai dari struktur kelembagaan, peremajaan armada, hingga peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Saat ini ada sekitar 92 armada bus yang dikelola oleh Pemkot, beberapa diantaranya sudah berusia dan harus dilakukan peremajaan.
Seperti pada bus Koridor I yang masih beroperasional berasal dari bantuan Kemenhub 2015, kemudian Koridor V bantuan Kemenhub 2016 dan 2018 juga Koridor VII bantuan Kemenhub 2016 dan 2017.
Baca juga: Keluhan Warga soal BRT Trans Semarang: Mogok, Penuh, dan Bikin Terlambat
Djoko mengusulkan agar Trans Semarang berada langsung di bawah kendali Wali Kota Semarang, seperti pengelolaan rumah sakit daerah.
Tujuannya, anggaran operasional BRT tidak terganggu alokasi untuk Dinas Perhubungan.
“Perlu ada peremajaan armada. Masih banyak bus Trans Semarang yang berusia 10 tahun. Sebaiknya bus yang beroperasi maksimal 7 tahun saja,” ujarnya.
Ia juga menyoroti kualitas SDM yang dinilainya perlu diganti dengan tenaga profesional.
"Juga pegawainya terlalu banyak, maka perlu dilakukan efisiensi. Mereka juga pusing itu. Kalau dikurangi nanti pengangguran juga bertambah," sindirnya.

Menurutnya jumlah pegawai saat ini masih bisa dipertahankan namun perlu adanya penambahan koridor.
Selain pada jumlah SDM, kelemahan utama pengelolaan Trans Semarang terletak pada lemahnya pengawasan operasional, baik terhadap armada ataupun organisasi perusahaan.
“Harus ada badan pengawasan khusus yang transparan. Pengawasan sekarang lemah sekali, baik pengawasan terhadap armada ataupun badan organisasi perusahaannya,” tegasnya.
Selain itu Djoko mengungkapkan, gaji sopir BRT masih jauh dari standar yang ideal.
Untuk bus besar, kata dia, seharusnya sopir menerima take home pay 2,5 kali Upah Minimum Regional (UMR), sedangkan bus sedang 1,5 kali UMR.
“Saya juga pengguna BRT, sering tanya dengan sopir bus besar dia bilang kalau pendapatannya sama (UMR) kalau hanya UMR, itu kelasnya setara sopir angkot,” katanya.
Berdasarkan data yang ia sebutkan, pembiayaan operasional BRT Trans Semarang menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia.
APBD Rp 6,4 Triliun Kota Semarang Disorot: Akademisi dan DPRD Minta Anggaran Lebih Pro Rakyat |
![]() |
---|
Hendi Mantan Walikota Semarang Diganti, Kepala LKPP Dijabat Sarah Sadiqa: Terima Kasih |
![]() |
---|
PT KIW Semarang Tambah Fasilitas Baru, Usung Seaside View untuk Nilai Tambah bagi Mitra |
![]() |
---|
Jalan Terjal Mbah Surati, Nenek 80 Tahun Berjuang Membuka Warkah Yang Ditolak BPN |
![]() |
---|
Pemerintah Bergerak Cepat, Akses Jalan Gisikdrono Kembali Dibuka Pasca Rumah Roboh |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.