Laporan Reporter Tribun Jateng, Hermawan Endra wijonarko
TRIBUNJATENG.COM, PEMALANG - Sudah 29 tahun, Sekedi (50) menjadi pengamat gunung api Slamet. Banyak suka duka yang diperolehnya. Bahkan pria yang akrab disapa Edi itu tahu betul karakter gunung tertinggi di Jawa Tengah tersebut.
Edi mengatakan, menjadi pengamat gunung berbeda dengan pekerjaan yang lain karena ketika gunung bereaksi atau beraktifitas membuat keluarga menjadi nomor dua. Karena setiap hari dirinya bisa dipastikan tak pernah semenitpun kehilangan moment kegiatan gunung.
"Makan sampai tidurpun bersama gunung, dari pagi sampai pagi lagi, paling pulang cuma mampir mandi," katanya kepada Tribun Jateng, Salasa (11/3) malam.
Dalam keadaan gunung normal, lokasi kerjanya yaitu Pos Pengamatan Gunung Api Slamet, di Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang pada jam kerja pukul 07.30 sampai 16.00 diisi oleh 3 karyawan. Mereka yakni Sukedi (50), Sudrajat (52) dan Nuruh Nurcholis (50)
Sementara untuk jadwal piket malam yakni pukul 16.00 sampai 07.30, dari ketiga karyawan itu secara bergiliran setiap orang per-harinya terus mengawasi keadaan gunung Slamet di satu-satunya pos pengamatan gunung slamet tersebut.
"Karena kami setiap hari dituntut laporan ke pusat, PVMBG Bandung, dalam bentuk data yang diperoleh setiap harinya," katanya.
Edi menceritakan, sebelum terjadinya peningkatan aktifitas gunung slamet pada tahun 2014 ini. Sudah dua kali dia mendapati gunung yang memiliki ketinggian 3428 meter (mdpl) menunjukan kegiatan yang signifikan.
Pertama terjadi pada tahun 1988. Pada saat itu kondisi gunung berada di level siaga. Meski letusan hanya berlangsung selama dua hari. Namun di balik itu, dirinya mengaku terus begadang mengamati peningkatan demi peningkatan kegiatan gunung selama dua minggu.
Yang lebih parah terjadi pada tahun 2009, kondisi normal menjadi siaga terjadi selama tiga bulan lamanya. Selama itu juga dia bersama kedua rekannya terus berada di lokasi pemantauan "Karena perubahan aktifitas gunung tak bisa diprediksi secara pasti, sehingga kami terus pantau," katanya.
Tanggung jawab kemanusiaan mendasari Edi bekerja tanpa kenal waktu untuk tetap setia dengan profesinya saat ini. "Karena kita tidak mau kehilangan data aktifitas yang terjadi,kalau kita ingin tahu bahaya gunung api itu sendiri, harus tahu pula tingkah laku gunung itu," tambahnya.
Beruntung keluarganya sudah memahami profesi yang telah lama dijalaninya tersebut. Sehingga meski jarang berada di rumah para anggota keluarga tak merasa keberatan.
Selama bekerja menjadi pengamat gunung Slamet, Edi pun mengaku tahu betul kebiasaan gunung itu.
Edi mengatakan, gunung Api Slamet mempunyai tubuh tinggi dan besar, karena keberadaannya berada di 5 wilayah kabupaten yakni Pemalang, Tegal, Brebes, Purbalingga, dan Banyumas.
Tetapi tinggi besarnya gunung bukan menjadi dasar tingakat aktifitas, dia membandingkan denganGunung Kelud yang memiliki ukuran kecil tapi letusannya begitu dasyat.
Sementara gunung Slamet, punya sifat letusan berbentuk, stromboli, yang memiliki ciri-ciri seringnya terjadi letusan-letusan kecil yang tidak begitu kuat, namun terus- menerus, dan banyak mengeluarkan efflata dan material yang dimuntahkan berupa material padat, gas, dan batu
Gunung Slamet meletus membawa prodak gunung api, pipa magma kebawa ke atas, tapi tak sampai melebar keluar. "Aktifitas gunung Slamet tidak ada hubungannya sama dampak gunung Kelud, karena satu gunung dengan gunung yang lain tidak ada hubungannya, mereka punya dapur magma sendiri-sendiri,"tuturnya. (*)
29 Tahun Jadi Pemantau Gunung Slamet, Ini Suka Dukanya Edi
Penulis: hermawan Endra
Editor: rustam aji
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger