Opini ditulis oleh Fathurozi, Staf Balai Penelitian dan Pendidikan Agama Semarang
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Muhadjir Effendy Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbud 23 Tahun 2017 Tentang Hari Sekolah. Permendikbud ini menimbulkan pro kontra di kalangan umat Islam karena dianggap akan mematikan sekolah sore (madrasah diniyah).
Pada Pasal 2 ayat 1, berbunyi, hari sekolah dilaksanakan delapan jam dalam satu hari atau 40 jam selama lima hari dalam satu minggu dan Pasal 5 ayat 1 disebutkan hari sekolah digunakan bagi peserta didik untuk melaksanakan kegiatan intrakulikuler, kokurikuler dan ekstrakulikuler.
Melihat kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Kemudian Muhadjir menggagas pendidikan agama di sekolah dihapus. Pengajaran agama akan dilaksanakan di Masjid, Pura, atau Gereja di sela-sela pelajaran berlangsung, dengan mendatangkan ahli agama. (Republika.co.id,Selasa 13 Juni 2017). Namun, sistem pengajaran ini dinilai kurang bijak karena seakan-akan pendidikan agama hanya pelajaran tambahan.
Sebenarnya penghapusan pendidikan agama pernah dilontarkan oleh Musda Mulia dalam jejaring sosial akun Facebooknya. Dia berpendapat Indonesia yang menjadikan pendidikan agama menjadi pelajaran yang wajib di sekolah, tetapi malah tidak berdampak apapun dan seperti dengan yang diucapkan oleh Lee Kuan Yew bahwa pendidikan agama justru menimbulkan konflik.
Kelihatannya gagasan Muhadjir dan Musda Mulia memiliki tujuan yang sama yakni sama-sama untuk deradikalisasi yang semakin mengkuatirkan. Contohnya teror bom di Medan dilakukan siswa yang masih mengenyam pendidkan di sekolah. Mungkin siswa mendapatkan ilmu perakitan bom dari luar sekolah, sehingga perbuatan ini harus diminalisir dengan cara menghabiskan waktu sekolah. Namun kebijakannya kurang menimbang keberadaan madrasah yang dibangun secara swadaya dan guru juga memiliki peran penting dalam masyarakat. Semisal guru terlibat kegiatan keagamaan seperti jamiiyah atau pengajian biasanya dilaksanakan sekitar jam 14.00.
Akhirnya Presiden mencabut Permendikbud 23 Tahun 2017, namun Muhadjir tetap akan menjalankannya. Ia berdalih, kebijakan lima hari sekolah ditujukan untuk para guru, bukan siswa.
Kebijakan ini diambil karena Mendikbud punya problem besar yakni mengenai beban kerja guru. Perundang-undangan Nomor 74 tahun 2008 disebutkan bahwa beban kerja guru (minimal) 24 jam tatap muka dalam satu minggu (http://nasional.kompas.com, Rabu 12 Juli 2017)
Jika kebijakan lima hari sekolah diterapkan di perkotaan, mungkin tidak akan menimbulkan masalah karena orangtua jam pulang kerja sore. Bahkan orangtua merasa diuntungkan. Jika anaknya tetap di sekolah karena kalau anak pulang cepat mereka lebih memilih nongkrong sangat rentan dengan kenakalan remaja seperti tawuran.
Sebaliknya, jika diterapkan di perdesaan kurang tepat karena orang tua membutuhkan tenaga si anak untuk membantunya di sawah, mencari rumput untuk ternak dan biasanya pelajar SMA di desa mengikuti organisasi pelajar di bawah ormas keagamaan, pelaksanaan kegiatan sering mengambil waktu sore hari.
Di sisi lain, pemerintah harus memikirkan nasib puluhan ribu guru madrasah. Guru madrasah secara ikhlas mengajarkan agama tanpa memikiran besar kecilnya honor yang diterima. Bahkan, tradisi gotong royong yang terjalin di masyarakat dalam mengembangkan madrasah akan sirna.
Madrasah menjadi salah satu alat menanamkan paham keagamaan yang disesuaikan dengan organisasi keagamaan yang menaunginya, seperti NU, Muhammadiyah dan sebagainya. Materi yang diajarkan tak pernah bertentangan dengan ilmu-ilmu umum. Namun konflik yang terjadi antara satu organisasi lain yang berbeda pandangan.
Materi agama yang diajarkan di madrasah mengunakan metode iqra’(ceramah) dan imla’(dikte), sehingga santri lebih mudah menguasai ilmu-ilmu agama, daripada ilmu agama yang diajarkan di sekolah umum. Di Sekolah umum, materi pendidikan agama diberikan kurang lebih 2 jam. Dua jam dianggap kurang cukup untuk membekali peserta didik, maka diperlukan hadirnya madrasah. Madrasah memiliki peran yang sangat penting dalam dunia pendidikan nasional, sehingga madrasah masih dibutuhkan.
Dalam buku “Madrasah Sejarah dan Perkembangannya”, karya Maksun (1999), Tradisi keilmuan di madrasah dapat dibagi menjadi tiga bagian yakni. Pertama, Ilmu yang diajarkan di madrasah masih merupakan kelanjutan dari yang diselenggarakan di masjid, mushola, dan surau. Kedua, Metode yang dominan di madrasah adalah iqra’(ceramah) dan imla’(dikte) sehingga lebih merangsang budaya menghafal daripada memahmi. Ketiga, dari sudut keilmuan, keterlibatan pemerintah dalam madrasah hanya kepada ilmu yang mendukung satu mazhab yaitu mazhab syafi’i dari empat mazhab.
Keberadaan madrasah tak dapat dipisahkan dengan masyarakat yang mayoritas muslim. Di desa-desa di Indonesia terdapat madrasah diniyah dengan berbagai nama dan karakteristiknya. Masyarakat lebih mengenal sebutan sekolah arab daripada madrasah. Keberadaan madrasah kurang mendapat perhatian pemerintah sejak zaman kemerdekaan hingga era reformasi. Namun berkat perjuangan pengurus dan masyarakat pelan-pelan bangkit dan mulai diperhitungkan keberadaannya baik ditingkat daerah maupun nasional dalam membangun karakter bangsa.
Permendikbud 23 Tahun 2017 bertujuan baik untuk kemajuan dunia pendidikan, namun di lain pihak ada yang merasa dirugikan. Kebijakan ini tetap dijalankan tidak akan menimbulkan polemik, jika Mendikbud dan pengelola madrasah berbagi tanggungjawab mengenai pelajaran agama. Hemat penulis ada beberapa poin yang perlu disepakati bersama untuk mengakhirnya yakni. Pertama, saat anak masuk sekolah SD atau MI, salah satu syaratnya memiliki ijazah TPQ/TPA (Taman Pendidikan Al Qur'an). Poin ini memudahkan guru agama dalam mengimplikasikan materi agama yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Kedua memasuki sekolah SMP dan MTs diharuskan menyertakan ijazah MDTA (Madrasah Diniyah Takmiliyah Awwaliyah). Hal ini akan meringankan pihak sekolah dalam mengajarkan sopan satun pada warga sekolah. Selanjutnya, menginjak sekolah SMA dan MA salah satu syaratnya memiliki ijazah MDTW (Madrasah Diniyah Takmiliyah Wustha). Setidaknya akan siap menghadapi pergaulan dikalangan siswa karena tingkat SMA dan MA menjadi penentu tercapainya cita-cita. Terakhir, anak melanjutkan kuliah, syaratkan memiliki ijazahMDTU (Madrasah Diniyah Takmiliyah Ulya). Dengan bekal agama yang diperolehnya akan mentengi dari gerakan-gerakan keagamaan yang merusak persatuan kesatuan bangsa.
Baik sekolah umum dan madrasah memberikan kontribusi yang besar bagi dunia pendidikan. Selain masyarakat membutuhkan ilmu agama, juga membutuhkan ilmu umum sebagai bekal kehidupan di dunia dan di akherat. Jika pembagian peran ini disepakati, para alumni akan menjadi ahli bidang ilmu pengetahuan umum, juga ahli ilmu agama. (tribunjateng/cetak)